Site icon PinterPolitik.com

Belenggu Korporatisasi BUMDes di Ciptaker

Belenggu Korporatisasi BUMDes di Ciptaker

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) memberikan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan untuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). (Foto: Majalah Agraria)

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan elemen penting bagi ekonomi kerakyatan tingkat desa. Namun, perlukah masyarakat khawatir dengan korporatisasi BUMDes yang disebut dimudahkan pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) atau omnibus law?


PinterPolitik.com

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) adalah instrumen untuk memastikan rotasi ekonomi pedesaan tetap berputar dan keberlanjutan. Dalam konteks otonomi, BUMDes menjadi manifestasi dari prinsip self-autonomy desa. Geliat BUMDes untuk mengurus potensi lokal, menguatkan kemandirian dan kelembagaan desa menjadi pembuktian kapasitas desa menjalankan otonominya.

Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan sederhana bahwa nyawa desa ada di BUMDes. Otonomi desa tak dapat berjalan tanpa BUMDes, dua komponen ini adalah kata kunci dari agenda penguatan desa sebagai institusi terdepan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Peningkatan keberadaan BUMDes memang sangat signifikan. Jika pada 2014 BUMDes di Indonesia hanya 1.022 unit, awal 2017 jumlahnya telah mencapai 18.446 unit dan meningkat signifikan di tahun 2019 mencapai 50.199 unit. Jumlah ini pun diyakini akan terus meningkat karena salah satu amanah dalam penggunaan dana desa, selain untuk pembangunan infrastruktur, juga untuk peningkatan perekonomian masyarakat.

Nilai strategis ribuan BUMDes yang tersebar di penjuru nusantara menjadi penanda dari kesadaran masyarakat desa untuk bergerak pada sektor riil. Di titik inilah keberadaan BUMDes dipahami sebagai pengejawantahan gagasan tentang ekonomi kerakyatan.

Jika kita telisik lebih dalam, data menunjukkan bahwa kontribusi UMKM yang di dalamnya termasuk BUMDes terhadap PDB nasional pada tahun 2020 sebesar Rp 8.573,89 triliun, atau 61,07% dari total PDB. Ini adalah bukti bahwa keberadaan sektor ekonomi kerakyatan telah menjadi penyangga penting ekonomi Indonesia sekaligus sebagai katup penampung masalah tenaga kerja di pedesaan.

Ekonomi kerakyatan yang ditampilkan oleh BUMDes sebetulnya adalah anti-tesis dari ekonomi kolonialis-kapitalis. Makna kerakyatan di sini menempatkan rakyat sebagai konsepsi politis – bukan konsep aritmatis statistik belaka – yang bisa berarti siapa saja dapat dikategorikan sebagai rakyat.

Rakyat di sini mengandung arti kolektivitas dari kepentingan orang banyak (public needs) – bukan kepentingan orang per orang dan bukan akumulasi dari preferensi atau kepentingan individu, melainkan preferensi sosial yang relevan dengan hajat hidup orang banyak.

Ekonomi kerakyatan juga mengandung makna bahwa sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya penguatan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Ekonomi kerakyatan harus ditopang dari bawah, di mana rakyat secara partisipatif memiliki kesempatan aktif dalam kegiatan ekonomi yang dapat menghidupi diri sendiri (self sufficient), membangun dirinya sendiri (self-empowering), bersumber dari rakyat dan dikelola oleh rakyat atau masyarakat sendiri untuk meraih nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial.

Namun, baru-baru ini, BUMDes didorong untuk bergabung menjadi korporasi besar atau superholding. Simplifikasi dari gagasan pembentukan superholding BUMDes adalah langkah pemerintah untuk melakukan ‘korporatisasi’ BUMDes.

Dalam pembentukannya, tidak tergantung pada jumlah desa tapi bersandar pada besaran produktivitas. Sebuah kabar baik sekaligus menjadi kabar yang mengkhawatirkan.

Langkah ini bagai pedang bermata dua yang artinya memiliki dampak positif dan negatif dalam implementasinya. Di satu sisi, korporatisasi BUMDes dapat menjadi stimulus meningkatkan pendapatan dan memperkuat kemandirian masyarakat desa, disisi lain korporatisasi dapat mendistorsi semangat ekonomi kerakyatan yang ditampilkan BUMDes.

Penyeragaman BUMDes dalam RUU Cipta Kerja

Sejarah kelam pembangunan koperasi tampaknya ingin diulangi oleh pemerintah dalam pengembangan BUMDes. Selain agenda superholding, pemerintah melalui RUU Cipta Kerja akan memudahkan BUMDes untuk beralih sebagai badan hukum. Kebijakan ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang termasuk dalam kluster kemudahan berusaha.

Muatan substansi badan hukum BUMDes dalam RUU Cipta Kerja ditujukan untuk memberikan kesempatan luas kepada BUMDes dalam mendapatkan akses pembiayaan dan memudahkan pemerintah untuk mendorong korporatisasi BUMDes.

BUMDes ditempatkan dalam kerangka swastanisasi. Dasar pemerintah mengembangkan BUMDes dalam RUU Cipta Kerja adalah produksi berskala besar, bukan mengacu pada kesadaran kolektif masyarakat dalam penguatan ekonomi desa.

Yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah BUMDes memiliki karakteristik tersendiri, yang tidak dapat langsung ditentukan atau distandarisasi sebagai Badan Hukum. Hal ini terlihat dari mekanisme pendiriannya yang partisipatif, melibatkan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan unsur masyarakat.

Semangat BUMDes adalah semangat ekonomi kerakyatan. Penyeragaman BUMDes akan membatasi prinsip self-autonomy desa. Aktivitas perekonomian yang seharusnya berorientasi kepada potensi lokal dan karakteristik khusus di desa akan mengalami perubahan orientasi ke arah ekonomi kapitalistik. Desa justru akan menjadi penyuplai kebutuhan ekonomi perusahaan berskala besar.

Sejarah mencatat kegagalan negara menjalankan agenda pembangunan koperasi berbasis masyarakat. Awalnya, koperasi didorong sebagai “soko guru perekonomian” Indonesia, di mana perekonomian diharapkan tumbuh dari bawah dengan kekuatan sendiri. Sayangnya, kondisi sosial politik tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, dan pembangunan koperasi berbasis rakyat tidak berjalan. Korporatisasi koperasi justru berujung pada peminggiran peran ekonomi rakyat.

Pengembangan BUMDes harus belajar dari sejarah kegagalan koperasi. Niat besar untuk melakukan korporatisasi koperasi ternyata harus menghadapi dua tantangan besar; pertama, monopoli akses pasar oleh segelintir usaha berskala besar dan kedua, privatisasi koperasi.

Dua tantangan ini harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan. Jika agenda korporatisasi BUMDes belum diiringi dengan penguatan kelembagaan BUMDes, maka yang terjadi adalah privatisasi.

Memperkuat BUMDes

Pada tahun 2019, ada 1.670 BUMDes yang telah beroperasi, namun belum memberikan kontribusi kepada pendapatan desa. Kondisi tersebut saling kait-berkelindan dengan kapasitas kelembagaan BUMDes yang belum maksimal untuk membangun usaha.

Dalam hal lain, setiap pengembangan jenis usaha yang didirikan tidak disertai dengan analisis usaha yang komprehensif. Kondisi tersebut mengakibatkan BUMDes belum bisa memperhitungkan pendapatan yang diperoleh.

Di tengah situasi serba terbatas, langkah untuk melakukan korporatisasi BUMDes justru akan mendistorsi konsep ekonomi kerakyatan. BUMDes justru akan hanyut terbelenggu dalam monopoli sektor-sektor swasta besar.

Yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah penguatan tata kelola kelembagaan BUMDes yang meliputi: kapasitas pemetaan potensi dan pemilihan usaha, penyusunan renstra BUMdes, dan penatausahaan. Hal yang tak kalah penting lainnya adalah membangun jejaring antar sesama BUMDes dalam usaha penguatan produksi.

Agenda mendorong badan hukum BUMDes akan berlangsung efektif jika aspek-aspek perbaikan di atas telah dilakukan dengan maksimal, sebab landasan hukum diperlukan jika tata kelola kelembagaan BUMDes telah optimal dan tentu akan mempermudah mereka mengakses pinjaman modal dan membangun jaringan usaha yang lebih besar.

Model ini sudah dilakukan di lima desa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kelima desa yaitu Panggungharjo, Guwosari, Ngestiharjo, Sriharjo, dan Wirokerten, membentuk konsorsium bernama PT Pasar Desa Indonesia.

Konsorsium tersebut berbasis BUMDes setiap desa yang memiliki produk unggulan dan khas desa. Sejak April 2020, omzet penjualan pun mencapai Rp 960 juta dengan ragam produk sebanyak 3.800 jenis dari lima desa anggota konsorsium. Adapun jumlah transaksi mencapai 4.000 transaksi yang melibatkan 157 warung atau toko yang ada di lima desa tersebut.

Model konsorsium desa di atas merupakan model menarik yang dapat dijadikan acuan pembangunan dan pengembangan BUMDes. Konsep konsorsium desa sekaligus memberikan kita gambaran bahwa konsep pengembangan BUMDes tak hanya melulu soal agenda korporatisasi, melainkan juga dipengaruhi oleh aspek sosial-kolektif yang sebetulnya mempengaruhi dinamika ekonomi di pedesaan.


Tulisan milik Yayan Hidayat, Peneliti.


“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version