Jalannya demokrasi Indonesia di tengah pandemi Covid-19 harus melalui tantangan dan aral yang semakin banyak. Bukan tidak mungkin, bayang-bayang post-demokrasi akan menghantui demokrasi Indonesia di masa depan.
Di tengah perayaan hari kemerdekaan yang ke-75 negeri kita yang lalu, kktq masih terjebak dalam pusaran masalah yang kian mengkhawatirkan. Merebaknya wabah Covid-19 yang telah menginfeksi lebih dari 100.000 orang diikuti dengan melemahnya berbagai sektor penopang kehidupan berbangsa dan bernegara yang kian menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Kabinet Indonesia Maju yang baru seumur jagung mendapat ujian pemerintahan “Maha Dahsyat” saat kasus pertama Covid-19 diumumkan. Pemerintah dipaksa memutar otak dan bertindak cepat untuk menghadapi wabah ini tetapi belakangan kritik hingga cacian dari rakyat terlampir ke istana.
Banyaknya polemik hingga blunder yang dilakukan para pembantu presiden menunjukkan tingkat kepuasan terhadap pemerintah semakin menurun. Sebuah survei juga memaparkan siapa menteri yang dinilai gagal oleh publik dan harus dipecat yang kini marak diperbincangkan di media sosial.
Para ilmuwan dari berbagai bidang mencoba untuk memetakan dampak yang akan muncul pasca Covid-19. Di bidang ekonomi, para ekonom memprediksi datangnya resesi ekonomi berkepanjangan yang akan menginfeksi seluruh negara dan berdampak lebih parah pada negara dengan sistem kapitalistik.
Di bidang pangan dan agrikurtural ‘sirine’ krisis pangan telah digaungkan oleh Badan Pangan dan Agrikultur sedunia milik PBB yang mengindikasikan parahnya konsekuensi dari kebijakan lockdown yang diberlakukan oleh negara-negara penghasil pangan seperti Vietnam dan Thailand – mengurangi ekspor pangan mereka demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini membuat penanganan Covid-19 semakin kompleks.
Di bidang politik, isu pelemahan demokrasi di seluruh belahan dunia yang menganut sistem ini menjadi diskursus hangat para sarjana politik. Belakangan, istilah “post-demokrasi” menyeruak untuk menggambarkan situasi pemerintahan berkedaulatan rakyat tersebut pasca Covid-19. Lalu apa itu post-demokrasi?
Post-demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah kondisi dimana terjadi pelemahan sendi-sendi demokrasi di berbagai dimensi yang menunjukkan kecenderungan-kecenderungan lemahnnya partisipasi publik dan pemerintahan yang menuju otoritarianisme. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh pengamat demokrasi, Colin Crouch.
Crouch menjabarkan lima kondisi yang menjadi pertanda bahwa post-demokrasi turut menginfeksi suatu negara. Pertama, rendahnya partisipasi rakyat dalam kehidupan politik dan penentuan kebijakan, elit menjadi dominator utama demi kepentingan mereka dan sekutunya.
Kedua partai politik benar-benar tidak lagi menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat, kebijakan partai politik ditentukan oleh elite masing-masing. Ketiga kecenderungan untuk menggunakan artificial move dan isu populis dalam berpolitik.
Keempat, berkurangnya antusiasme masyarakat dalam memaknai dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Terakhir dan yang paling berbahaya, hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses, dan nilai-nilai demokrasi.
Lalu, apakah negeri dengan sistem demokrasi terbesar kedua di dunia saat ini telah memasuki fase stagnasi demokrasi yang dirumuskan oleh pengamat politik asal Inggris tersebut? Tulisan ini bertujuan untuk membedah post-demokrasi di Indonesia – utamanya pada kondisi keempat dan kelima sesuai rumusan Crouch.
Ke depannya kami akan memaparkan fakta politik yang timbul sebagai imbas dari kacaunya manuver-manuver dari para elit politik yang membawa kita pada era post-demokrasi. Di sisi lain, pandemi berkepanjangan semakin memperlihatkan kepada kita pembusukan demokrasi di negeri ini yang sedikit lagi menjatuhkan kita pada era otoritarian lagi.
Keinginan saya untuk membahas secara komprehensif untuk poin keempat dan kelima sesuai rumusan Crouch tentang kondisi post-demokrasi yakni ketidakpercayaan rakyat terhadap politik dan runtuhnya institusi serta nilai-nilai demokrasi, bukan tanpa dasar. Poin-poin tersebut sangat krusial dalam menentukan runtuh atau tidaknya demokrasi di suatu negara. Di lain, hal para ilmuwan politik di Indonesia belum melihat probabilitas bahwa poin-poin tadi mulai menginfeksi negeri ini.
Jujur saja, keruntuhan demokrasi berada di ambang pintu. Argumen-argumen dan fenomena politik yang akan saya paparkan akan membuktikan hipotesa saya jelang keruntuhan demokrasi di negeri ini. Namun, untuk memperkuat argument-argumen lainnya poin pertama hingga ketiga juga wajib kita uraikan terlebih dahulu secara singkat dikarenakan kondisi-kondisi tersebut telah terjadi dan dilakukan secara terang-terangan oleh pemerintah.
Untuk poin pertama, Crouch menyatakan kondisi dimana partisipasi rakyat dalam menentukan kebijakan sangatlah minim, elit politik, dan oligarki memegang kuasa penuh atas proses dan arah tujuan kebijakan tersebut. Contoh kasus, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa rasa bersalah dan secara “sembunyi-sembunyi” di tengah kondisi pandemi telah berhasil mengesahkan RUU Minerba yang penuh polemik.
Undang-Undang tersebut berpotensi merusak lingkungan secara massif sebagai akibat dari dimudahkannya izin usaha pertambangan (IUP). Peneliti INDEF Abra Talattov menyesalkan hal ini, menurutnya “kolonialisme model baru dengan perampasan lahan melalui UU, secara ekonomi politik hal ini akan menimbulkan ketimpangan antar generasi.”
Belakangan, setelah UU ini diloloskan oleh para “terhormat” di Senayan, istilah Oligar-Coal-State menjadi ungakapan bahwa negeri kita dicengkeram oligarki, sebagai konsekuensi dari para “terhormat” yang harus menghormati pemilik tambang, sialnya rakyatlah yang harus diinjak-injak saat dampak ekologisnya mulai mendera.
Kedua, pengkhianatan partai-partai politik terhadap konstituennya, kita tidak akan lupa dengan rekonsiliasi “Nasi Goreng” antara Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang juga menjadi rival Jokowi di Pilpres lalu dengan mengadakan pertemuan bersama mantan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri. Pertemuan ini menjadi titik awal masuknya kubu oposisi ke pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Rekonsiliasi ramai di tentang oleh Cebong dan Kampret yang telah berseteru panas di Pilpres kemarin, rekonsiliasi tadi sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan rumusan kedua Crouch. Pada pembahasan selanjutnya isu rekonsiliasi ini akan saya paparkan lebih dalam perihal implikasinya yang lebih parah di poin keempat dan kelima.
Ketiga, isu populis menjadi alat utama para politikus untuk meraup dukungan dan massa hingga penentuan kebijakan-kebijakan publik. Pilpres 2019 digadang-gadang menjadi Pilpres terpanas sejak sistem pemilihan umum langsung diperkenalkan pasca-Orde Baru. Populisme hingga ekstremisme adalah trademark dari pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Dampaknya yang paling terasa adalah polarisasi masyarakat yang memicu disintegrasi bangsa seperti munculnya kubu cebong dan kampret sebagai bukti nyata. “Gorengan” isu populis para Capres beserta tim pemenangan dari kedua kubu menjadi senjata utama untuk meraup pemilih, mereka tidak lagi sibuk untuk menjual ide dan program-program unggulan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, melainkan dengan menyebarkan kebencian bermuatan sentimen agama dan aliran.
Strategi ini turut diperkeruh dengan massifnya penyebaran mis- dan disinformasi yang turut memanaskan suhu politik. Puncaknya, kerusuhan 22 Mei pecah setelah Jokowi ditetapkan sebagai pemenang. Sembilan orang peserta aksi tewas akibat bentrokan tersebut.
Pisau Bermata Dua
Banyak sekali epos yang menceritakan dua pemimpin yang awalnya saling bermusuhan tetapi akhirnya bersatu untuk melawan musuh yang kuat. Salah satu yang termahsyur adalah sejarah Perang Paderi di Sumatera Barat.
Awalnya kaum paderi yang beranggotakan para anak muda taat agama harus berperang melawan kaum adat yang menolak berbagai ajaran Islam yang di dakwahkan oleh mereka, Belanda dengan politik devide et Impera mulai mendukung kaum adat dan semakin menyulut api kebencian diantara pribumi di tanah Minang.
Di tengah-tengah konflik, kesadaran kolektif kedua kedua kaum tersebut muncul. Kaum paderi dan kaum adat akhirnya bersepakat untuk menyerang kedudukan Belanda.
Sampai saat ini, kisah-kisah rekonsiliasi dalam tradisi politik dunia selalu dikenang sepanjang masa. Lalu, bagaimana masa depan mengenang rekonsiliasi nasi goreng?
Steven Lepitsky dan Daniel Ziblatt menulis buku How Democracies Die yang kiranya dapat menggambarkan bagaimana masa depan politikus dan demokrasi di negeri kita saat ini. Buku tersebut berisi sejarah keruntuhan demokrasi di berbagai negara modern di masa lalu yang akhirnya runtuh disebabkan oleh ulah “konyol” para pejabat, elite parpol dan berbagai institusi politik lainnya.
Sebut saja Jerman di tahun 1930 yang harus memasuki masa kelam di tangan Kanselir Adolf Hitler dengan gaya fasisme Nazi, atau di tahun 1960-an ada Ferdinand Macros dari Filipina yang berubah menjadi otoriter dengan mencurangi hasil pemilu hingga memperpanjang masa jabatannya dengan menerapkan Martial Law.
Buku tersebut juga mencap demokrasi paling mapan di muka bumi, yakni Amerika Serikat sedang menuju keruntuhannya. Dua professor Harvard University tersebut melihat negeri Paman Sam sedang menuju kediktatoran dibawah Presiden Donald Trump, seorang pengusaha yang belum pernah sekalipun menduduki kursi pemerintahan dalam karir politiknya malah berhasil menjadi orang nomor satu di negeri adikuasa.
Kemenangannya di Pilpres 2016 melawan Hillary Clinton cukup membuat rakyat Amerika ketar ketir. Sebelumnya, Trump dikenal oleh publik sebagai sosok yang rasis dan menghalalkan segala cara untuk memuluskan bisnisnya. Watak itu benar-benar terbawa setelah dia dilantik menjadi presiden.
Dalam buku tersebut, Trump dituding telah meruntuhkan “pagar lembut” demokrasi Amerika Serikat. Lalu, apa material yang menyusun “pagar lembut” tersebut? Jawabannya adalah aturan-aturan tak tertulis.
Levitsky dan Ziblatt memaparkan urgensi dari kepatuhan terhadap aturan-aturan tak tertulis di perpolitikan Amerika Serikat yang saat ini Trump dan partai penyokongnya Republik secara pelahan meruntuhkan pagar tersebut. Istilah “Trumpisme” bahkan digunakan oleh mereka untuk menggambarkan perilaku Trump yang melanggar aturan-aturan tersebut secara frontal.
Sikap menahan diri dan toleransi dalam berpolitik adalah nilai-nilai dalam aturan tak tertulis tersebut. Trump dan koleganya belakangan benar-benar tidak mematuhi aturan, sebut saja ketika Trump berjanji akan memenjarakan Hillary Clinton jika terpilih menjadi Presiden. Seperti yang kita tahu, Hillary adalah capres dari Partai Demokrat yang menjadi pesaingnya di Pilpres.
Atau, yang lebih parah dengan mencaci media arus utama sebagai “pembohong” dan “musuh rakyat” yang terbaru Donald Trump berupaya untuk mengundur jadwal pemilihan presiden di tahun 2021.
Hal ini bukan tanpa sebab. Partai Republik yang saat ini tengah menguasai parlemen sedang bekerja keras untuk meningkatkan syarat dan ketentuan pemilih bagi kaum minoritas dan imigran yang merupakan basis pemilih partai Demokrat tetapi terhalang dengan habisnya masa pemerintahan Trump di bulan Desember. Hal ini benar-benar telah merusak keseimbangan sistem antara dua partai besar.
Di sisi lain, pembatasan wajib pilih yang coba dilakukan bersifat sangat populis dan mencederai nilai demokrasi. Ketiga contoh tadi sudah lebih dari cukup untuk menyatakan keruntuhan “pagar lembut” demokrasi Amerika Serikat. Lalu, bagaimana dengan Indonesia dan apa korelasi antara teori Levitsky dan Ziblatt terhadap rekonsiliasi nasi goreng?
Sekilas, rekonsiliasi tersebut laksana air yang memadamkan api kebencian diantara kampret dan cebong, banyak pihak utamanya para politisi dari kedua kubu yang berpendapat bahwa rekonsiliasi tersebut akan membawa keseimbangan politik dimasa pemerintahan Jokowi. Jelas, angin segar bagi kepentingan pribadi dan koalisi partai mereka.
Prabowo misalnya setelah rekonsiliasi dengan merapatkan partainya ke pemerintahan yang telah menjadi oposisi selama 10 tahun pada akhirnya takluk karena nasi goreng yang ditaburi bumbu kepentingan pribadi dan partai. Berkat kursi menteri tersebut hal ini mempermudah Prabowo dan partainya untuk tetap menjaga kas bendahara tetap terisi dan aman, termasuk menjaga kepentingan-kepentingan elektoral di daerah.
Belakangan, partai koalisi pemerintah saling bersatu di pilkada serentak Desember nanti untuk mengusung calon kepala daerah. Contoh yang paling ironis Dewan Perwakilan Cabang Solo Partai Gerindra menyatakan akan mendukung Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra Presiden Joko Widodo di Pilwakot Solo Desember nanti.
Lalu, secara personal, dengan kursi menteri plus pengaruh di pemerintahan cukup membantu elektabilitas Prabowo tetap tinggi di Pilpres 2024 nantinya. Survei terbaru dari IndoBarometer dan Cyrus Network menyatakan Prabowo masih yang paling tinggi dalam hal elektabilitas dibanding calon lain seperti Anies Baswedan dan Erick Thohir.
Sementara, PDIP akhirnya kekurangan “musuh” di parlemen. Setidaknya tinggal PKS yang masih setia memakai lambang oposisi. Dengan bergabungnya Gerindra membuat koalisi Pemerintahan Jokowi menguasai 87% kursi di parlemen, koalisi tergendut pasca orde baru.
Lalu, bagaimana rakyat menilai rekonsiliasi tersebut? Bahasan ini mungkin akan membuka mata kita tentang kondisi demokrasi negeri kita ke depannya.
Demokrasi tanpa demos (rakyat) adalah otokrasi. Rekonsiliasi tersebut jika disesuaikan dengan “aturan-aturan tak tertulis” Levitsky dan Ziblatt memanglah sangat sesuai, mungkin kita dapat merumuskannya seperti ini, “Prabowo dan Megawati menunjukkan itikad baik dalam perpolitikan di negeri ini dengan saling menahan diri, rekonsiliasi diantara keduanya menjadi bukti manifestasi sikap kenegarawanan mereka.”
Kembali ke rumusan Crouch di poin keempat dan kelima, dengan argumentasi yang jelas, menurutnya, rakyat akan mempeyorasikan politik dengan munculnya sikap anti-partisan dalam berpolitik hingga mencapai tahap “political hateness” dan pada puncaknya yakni terjadinya keruntuhan nilai-nilai, proses, dan institusi-institusi demokrasi.
Jika kita cermati rumusan Crouch, di poin keempat dan kelima secara gamblang menjelaskan tentang dampak dari post-demokrasi itu sendiri. Dalam analisis saya, “dampak” yang Crouch paparkan tinggal menunggu waktu saja. Lalu, di mana akar masalahnya? Jelas, ulah Rekonsiliasi Nasi Goreng.
Rekonsiliasi tersebut menghancurkan harapan rakyat terhadap partai sebagai saluran politik mereka, ketidakpercayaan timbul dalam benak para simpatisan yang telah berjuang memenangkan partai dan calonnya di pemilu 2019.
Ungkapan “beli 01 gratis 02” merupakan sebuah satire yang mengungkapkan kekonyolan Pilpres 2019, ketika akhirnya dua kubu kembali membentuk satu poros dalam koalisi pemerintah yang dua bulan sebelumnya mereka menggiring rakyat untuk saling serang dan benci dengan jualan isu populis.
Rekonsiliasi politik yang terlalu dini tidak menghasilkan rekonsiliasi sosial yang berpihak pada demokrasi. Saya melihat rekonsiliasi adalah sebuah keharusan ditengah konflik horizontal antar pendukung pasca Pilpres sebagai sarana untuk mendinginkan tensi diantara para pendukung, tetapi masuk menjadi bagian pemerintahan dan melenyapkan suara-suara oposan yang telah mendukungnya adalah bentuk nyata pembusukan etika politik.
Nilai “menahan diri” yang dimaksud Levitsky dan Ziblatt bukanlah masuk dan menjadi bagian dari pemerintahan, melainkan menjadi oposisi konstruktif untuk mengawal jalannya pemerintahan. Saya sangat mengapresiasi langkah PDIP setelah melawan Partai Demokrat di Pemilu 2004 dan 2009 yang setia menajadi oposisi, begitu pula dengan Partai Demokrat di 2014 yang memutuskan menjadi partai netral dengan bermain ‘dua kaki” untuk menjaga konsituen mereka dari sikap anti-partisan.
Rekonsiliasi nasi goreng membawa preseden yang sangat buruk bagi kelangsungan demokrasi di negeri ini. Di masa depan, para elit politik akan turut mengambil jalan seperti rekonsiliasi nasi goreng dan “dinormalisasi” dalam rangka mencapai kepentingan pribadi dan partai mereka.
Pandemi: Pupuk Post–Demokrasi
Giorgio Agamben merupakan seorang filsuf demokrasi paling radikal dalam membahas berbagai problem-problem yang berpotensi meruntuhkan demokrasi. Agamben menilai jalan paling mulus meruntuhkan demokrasi adalah dengan memanfaatkan “krisis”.
Menurutnya, penetapan status kedaruratan oleh negara selalu berujung pada perampasan hak-hak masyarakat secara luas yang terlegitimasi secara legal-formal, selain itu dimasa krisis penumpukan kekuasaan akan berada di tangan eksekutif demi penanganan krisis yang lebih cepat. Namun, yang menjadi fokus keresahan dalam status darurat adalah proses normalisasi berbagai aturan-aturan dimasa krisis yang masih tetap berlaku walau krisis telah usai.
Krisis adalah pisau bermata dua bagi demokrasi, dan runtuh tidaknya demokrasi di suatu negara pasca krisis selalu ditentukan oleh pemimpin negara itu sendiri. Hal ini dikarenakan pemusatan kekuasaan ditangan eksekutif di masa krisis seperti yang terjadi sekarang yaitu krisis kesehatan, pandemi Covid-19.
Dalam sejarah, krisis ekonomi dunia di tahun 1920-an mengajarkan kita pada dua jenis pemimpin ketika dihadapkan pada krisis, pemimpin pro-demokrasi atau para demagog hingga yang mencoba menjadi otokrat. Pemimpin yang pro-demokrasi kala itu dan tidak menyalahgunakan wewenang besar ditangannya adalah Franklin Delano Roosevelt, Presiden ke-33 Amerika Serikat.
Dengan kebijakan New Deal yang tersohor kala itu, Roosevelt telah berhasil membawa keluar Amerika Serikat dari resesi hingga menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia tanpa harus melecehkan hak asasi para warganya dan tetap menjaga kestabilan politik pasca-krisis.
Di sisi yang berseberangan, Adolf Hitler dengan partainya juga berhasil mengembalikan industri Jerman yang porak-poranda pasca-Perang Dunia 1 lengkap ditambah dengan resesi ekonomi sesudahnya. Walau berhasil secara ekonomi, kisah Jerman sebagai negara demokrasi tinggal kenangan, Hitler memerintah dengan tangan besi, memulai Perang Dunia II dan meghancurkan negerinya sendiri setelah dihabisi sekutu di bulan mei 1945.
Menurut Levitsky cara paling mainstream yang dilakukan oleh para otokrat-otokrat kondang di masa lalu seperti Mussolini sang pemimpin fasis asal Italia, Hugo Chavez pemimpin beraliran sosialis Venezuela, dan Alberto Fujimori Otokrat dari Peru memiliki pola yang sama.
Lalu, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Sebelum kita menilai, mari kita lihat faktanya terlebih dahulu.
Ketiga tokoh tadi meruntuhkan demokrasi di negerinya ketika terjadi krisis dan keterpurukan demokrasi di mata rakyat dengan melakukan “penyerangan secara konstitusional” terhadap segala hal yang menghalangi dia untuk memerintah secara absolut. Penyerangan pertama biasanya menerpa oposisi baik itu partai, media, dan para kritikus.
Di negeri ini, kepolisian melakukan penangkapan terhadap ahli kebijakan publik Ravio Patra yang ditangkap dengan tuduhan menghasut kebencian dan pengrusakan menjadi salah satu bukti kriminalisasi pemerintah terhadap para kritikus. Ravio yang sebelumnya mengaku akun pesan singkat WhatsApp-nya dibobol dua hari sebelumnya mengaku tidak tahu apa-apa soal hasutan kebencian itu di media sosial.
Setelah itu, penyerangan kedua akan dilancarkan kepada lembaga-lembaga negara yang juga mengahalangi kepentingan otokrat. Faktanya, beberapa waktu lalu, Presiden resmi mengeluarkan PP No. 41 Tahun 2020 yang mengangkat seluruh pegawai KPK menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Pengangkatan ini secara terselubung membuat KPK semakin lemah karena menempatkan KPK berada dibawah Kemenpan-RB yang membawahi seluruh PNS di negeri ini. Hal ini mempertegas komitmen lemah Jokowi terhadap pemberantasan korupsi.
Presiden bisa saja mengekang para pegawai KPK dengan status pengangkatan tersebut dikarenakan regulasi-regulasi yang mengatur PNS haruslah menjadi sesuatu yang wajib dipatuhi pegawai KPK nantinya. Para penghukum anti-rasuah yang harusnya senantiasa fleksibel dalam menangkap koruptor yang semakin hari semakin cerdas menyembunyikan uang curiannya harus dihadapkan dengan regulasi rumit dari Kemenpan-RB.
Yang terakhir dan menjadi penentu keberhasilan para calon otokrat, yakni menyerang sang wasit, “Mahkamah Konstitusi”. Mungkin, lembaga inilah yang masih belum disentuh oleh pemerintahan Jokowi, para otokrat yang berhasil menempatkan orang-orang pilihannya untuk menduduki kursi MK akan mampu mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya atau mengangkat dirinya menjadi pemimpin seumur hidup.
Dari semua fakta politik dan klaim historis sebagai landasan saya dalam memaparkan tulisan diatas, tantangan terhadap keberlangsungan demokrasi di negeri ini sedang berada dalam titik nadirnya. Kita sebagai demos yang sejatinya pemilik kuasa atas negeri ini harus tetap menjaga kekuasaan kita.
Demokrasi laksana pohon yang senatiasa bertumbuh bukan tidak mungkin pohon tersebut akan diserang silih berganti oleh hama dan penebang liar yang ingin membunuh pohon tersebut. Terakhir, saya akan mengutip nasihat George Washington bagi mereka yang masih mendamba Demokrasi, “Jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam kita akan membawa kita seperti domba ke tempat pembantaian.”
Tulisan milik Muh. Wahyu Hasbullah, Mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.