HomeRuang PublikBanjir Kalsel, Mungkinkah Negara Digugat?

Banjir Kalsel, Mungkinkah Negara Digugat?

Oleh Falis Aga Triatama

Kecil Besar

Penyebab utama banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) disebut-sebut karena hilangnya hutan akibat masifnya aktivitas tambang dan perkebunan yang terjadi di Pulau Kalimantan. Hal ini ditengarai merupakan kesalahan pemerintah dalam memberikan kebijakan yang tidak ramah lingkungan dengan penerbitan izin tambang dan perkebunan di Kalsel.


PinterPolitik.com

Tim tanggap darurat bencana Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasioanal (LAPAN) mengatakan banjir besar yang terjadi pada tanggal 20 Januari 2021 lalu di Kalimantan Selatan diakibatkan oleh hilangnya hutan primer dan skunder dalam 10 tahun terakhir. Hal ini juga dikatakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyebutkan bahwa antara tahun 1990-2019 terdapat penurunan signifikan luas hutan alam di daerah aliran Sungai Barito.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersikap cepat dan turun langsung ke tanah Borneo untuk melakukan pemantauan secara langsung pada tanggal 18 Januari 2021. Atas temuan di lapangan, Presiden Jokowi mengatakan penyebab banjir di Kalimantan dikarenakan tingginya curah hujan yang terjadi hampir selama 10 hari berturut-turut, sehingga Sungai Barito tidak mampu menampung banyaknya air yang turun dan menyebabkan banjir.

Namun, sejumlah ahli mengatakan bahwa bencana banjir tersebut penyebab utamanya bukanlah semata-mata karena curah hujan, melainkan dikarenakan masifnya aktivitas tambang dan perkebunan monokultur di daerah sekitar aliran sungai.

Alih fungsi lahan hutan hujan menjadi lahan tambang dan perkebunan sawit dan karet ditengarai menjadi alasan air tidak dapat meresap dengan baik ke dalam tanah, sehingga menimbulkan banjir.

Menurut pakar Hukum Lingkungan dan Pertambangan Kalimantan Selatan Nurul Listiyani dalam tulisannya berjudul Dampak Pertambangan Terhadap Lingkungan Hidup di Kalimantan Selatan dan Implikasinya Bagi Hak-hak Warga Negara, secara umum dampak pertambangan yang terjadi di Kalimantan Selatan terhadap lingkungan adalah penurunan produktivitas lahan, kepadatan tanah bertambah, terjadi erosi dan sedimentas, terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat serta berdampak terhadap perubahan iklim mikro.

Sedangkan dampak paska tambang yang terjadi adalah perubahan morfologi dan topografi lahan, perubahan bentang alam, lahan menjadi tidak produktif dan rawan longsor.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di awal tahun 2021 bencana alam ini tidak terjadi di Kalimantan saja. Walhi setidaknya mencatat terdapat 168 kejadian bencana hidrometeorologi berupa banjir dan tanah longsor. Walaupun demikian, bencana terbesar memang yang terjadi di Kalimantan Selatan.

Salah satu penyebabnya adalah negara mengabaikan perlindungan lingkungan hidup melalui produk politik ekologi sosial yang dibuat melalui kebijakan dan aturan yang cenderung pro investasi dan mengabaikan infrastruktur sosial ekologi yang ada.

Masifnya kerusakan alam yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia serta minimnya perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup, membuat banyak pihak bertanya-tanya, mungkinkah pemerintah digugat karena hal ini?

Baca juga :  Bekasi: Kota yang Seharusnya Tak Ada?

Gugatan Class Action atau Citizen Lawsuit

Banjir yang melanda 11 Kabupaten di Kalimantan Selatan ini tentu berdampak terhadap kondisi perekonomian warga. Berdasarkan data dari Pos Komando Tanggap Darurat Banjir Provinsi Kalimantan Selatan, terdapat 90.885 unit rumah warga yang turut terendam. Bahkan kerugian ekonomi yang dialami oleh warga mencapai Rp 1,5 triliun.

Atas kerugian yang dialami oleh masyarakat Kalimantan Selatan tersebut, sejumlah warga bersama dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat berencana akan mengajukan gugatan class action atas apa yang mereka alami. Gugatan ini dilakukan karena tidak adanya peringatan dini yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan terhadap banjir yang terjadi di bulan Januari 2021 lalu.

Gugatan class action atau gugatan perwakilan pertama kali diperkenalkan oleh Inggris dan berkembang di negara-negara penganut sistem common law. Mekanisme ini kemudian dianut oleh Indonesia dengan aturan gugatan class action mulai diberlakukan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1997, UU Nomor 8 Tahun 199 dan UU Nomor 41 Tahun 1999.

Lalu pada tahun 2002 dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 (PERMA 1/2002). Pasal 1 PERMA 1/2002 ini mendefinisikan gugatan class action sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Dalam kasus banjir, masyarakat Jakarta sebelumnya pernah mengajukan gugatan class action kepada pemerintah DKI Jakarta.  Pada tahun 2020 gugatan yang diajukan terdaftar dengan Nomor 27/Pdt.G/2020/PN.JKT.Pst menuntut pemerintah DKI Jakarta membayar kompensasi kerugian sebesar Rp 42.334.600.149 (empat puluh dua miliar tiga ratus tiga puluh empat juta enam ratus ribu serratus empat puluh sembilan rupiah).

Pada 12 Januari 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa gugatan tidak dapat diterima dengan alasan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara a quo. Pengadilan juga menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 5.810.000 (lima juta delapan ratus sepuluh ribu rupiah).

Selain gugatan class action, terdapat upaya hukum lain yang juga dapat dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Selatan sebagai upaya pencegahan agar bencana banjir tidak kembali berulang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan citizen lawsuit.

Citizen law suit atau action popularis adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut.

Baca juga :  Gibran The Last Waterbender?

Perubahan Kebijakan yang Lebih Ramah Lingkungan

Konteks persoalan ketentuan tentang lingkungan bersumber dari Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi:

โ€œSetiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.โ€

Ditambah lagi ada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam UU nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup didasari pada tata kelola pemerintahan yang baik atau asas good governance. Hal ini dikarenakan setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan turut andil dalam upaya pencegahan serta penanggulangan bencana yang terjadi di Indonesia.

Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa negara bertanggungjawab untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat termasuk perlindungan dari bencana bajir.

Secara lebih jelas lagi diatur di dalam Pasal 5 yang berbunyi:

โ€œPemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi tanggungjawab dalam penyelenggaan penanggulangan bencanaโ€.

Lebih lanjut di Pasal 6 berbunyi:

โ€œTanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:

a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;

b. pelindungan masyarakat dari dampak bencana;

c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;

d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;

e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai;

f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan

g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. โ€œ

Maka dari itu, pembuatan kebijakan yang ramah lingkungan sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara dalam hal hak asasi manusia di bidang ekonomi, kesehatan, sosial dan lingkungan hidup. Selain itu perlu adanya kepastian agar bencana banjir dapat diatasi dengan jauh lebih baik lagi.    

Rencana gugatan class action yang akan dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Selatan haruslah memiliki materi yang kuat, agar kasus serupa dalam gugatan class action di Jakarta tidak kembali berulang. Lalu apakah gugatan di Kalimantan bisa dimenangkan oleh masyarakat? Menarik untuk kita tunggu kelanjutannya.


Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Banner Ruang Publik
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...