Pada awal Maret 2023 lalu, Silicon Valley Bank (SVB) yang kerap memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan start-up mengalami kebangkrutan. Di tengah banyaknya persoalan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), mungkinkah bangkrutnya SVB menjadi pertanda suramnya bisnis start-up?
Pada 10 Maret 2023, seluruh nasabah Silicon Valley Bank (SVB) berbondong-bondong menarik deposit mereka yang mengakibatkan bangkrutnya bank tersebut. Ini terjadi setelah SVB mengumumkan bahwa mereka telah menjual banyak sekuritas dengan harga miring dan mengumumkan akan menjual saham baru sebesar 2,25 miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk menutupi permasalahan keuangannya.
SVB tercatat sebagai bank terbesar ke-16 di AS berdasarkan aset sebesar 220 miliar dolar AS yang dimilikinya. Ini adalah kegagalan terbesar setelah Washington Mutual bangkrut di tahun 2008. Pada saat itu, kebangkrutan tersebut memicu krisis keuangan yang melumpuhkan perekonomian selama bertahun-tahun.
Keuangan SVB melonjak pesat apabila dilihat dari 2020 sampai dengan 2022 dengan total asetnya yang terus bertambah. Pada 2020, keuangan SVB mencapai 115,511 miliar dolar AS – meningkat sebesar 62,68 persen dari 2019.
Angka ini kemudian meningkat lagi tahun 2021 sebesar 211,308 miliar dolar AS – mengalami kenaikan sebesar 82,93 persen dari tahun 2020. Terakhir, di akhir tahun 2022, total aset yang dimiliki SVB adalah sebesar 211,793 miliar dolar AS – dengan kenaikan 0.23 persen dari tahun 2021.
Lantas, mengapa dengan pertumbuhan SVB yang pesat ini dan terlihat bonafid ini bisa runtuh seketika? Padahal, dunia yang terus berkembang dan kebutuhan efisiensi meningkatkan digitalisasi di segala lini.
Dari sini, SVB meraup keuntunga, dengan banyak memberikan pinjaman kepada perusahaan rintisan atau biasa disebut start–up. Namun, apa penyebab bank ini menjadi gagal?
Kisah Bangkrutnya SVB
Bisnis yang dilakukan oleh SVB itu banyak membeli obligasi negara dan utang jangka panjang lainnya. Memang aset ini cenderung memiliki jumlah pengembalian yang relatif rendah tetapi juga dengan risiko yang relatif rendah. Langkah ini dipandang oleh manajemen SVB sebagai langkah yang baik.
Namun, karena Federal Reserve AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebagai kebijakan moneter untuk menekan inflasi, pada akhirnya, obligasi milik SVB menurun.
Sesuai dengan prinsip ekonomi, di mana suku bunga acuan naik, harga obligasi akan menurun. Sebaliknya, apabila suku bunga acuan turun, harga obligasi akan naik.
Sejalan dengan suku bunga acuan yang terus meningkat, beberapa nasabah dari SVB mengalami kesulitan finansial dan banyak yang menarik dana dari SVB. Pada akhirnya, setelah kerugian tersebut dan penarikan dana yang masif dari para nasabahnya, SVB pun bangkrut.
Apakah kebijakan ini sekiranya sudah menjadi kebijakan yang paling tepat untuk diambil oleh The Fed?
Merujuk kepada teori inflasi, untuk menekan laju inflasi, terdapat dua cara, yaitu pertama melalui kebijakan moneter dan kedua ialah kebijakan fiskal. Kebijakan moneter adalah manipulasi suplai uang dan tingkat suku bunga untuk menstabilkan atau menstimulasi ekonomi. Sementara, kebijakan fiskal berfokus kepada anggaran belanja negara dan pajak.
Dengan itu, maka The Fed harus menaikkan suku bunga acuan agar inflasi tersebut bisa menurun.
Lantas, dengan dampak kebijakan The Fed kepada SVB ini, mengapa bisa berdampak lebih lanjut kepada iklim bisnis start-up? Mungkinkah dampak kebangkrutan SVB ini berlanjut dan berdampak pada bisnis start-up di Indonesia yang beberapa waktu lalu juga mengalami sejumlah masalah seperti sejumlah pemutusan hubungan kerjaa (PHK)?
Berdampak ke Start-up Indonesia?
Boleh jadi, bangkrutnya SVB ini tidak sebegitu besar dampaknya di Indonesia. Hal ini dikarenakan fundamental makro ekonomi domestik yang ditetapkan masih bisa bertahan (sustainable) untuk menopang pertumbuhan kredit.
Kolapsnya SVB memang menggemparkan pasar tetapi tidak terlalu berpengaruh di Indonesia. Ini disebabkan oleh exposure keuangan antara Indonesia dan SVB yang minim.
Layaknya bisnis start-up di AS, perusahaan-perusahaan start-up di Indonesia pun mengandalkan dana pinjaman agar bisa beroperasi dengan baik. Meski begitu, terlepas dari bangrkutnya SVB, perusahaan start-up di Indonesia banyak mengandalkan angel investor dan venture capital.
Adapun langkah-langkah persiapan juga telah diambil Indonesia untuk mengamankan situasi ini. Beberapa di antaranya adalah langkah Bank Indonesia (BI) yang berencana untuk memperkuat langkah stabilitas nilai tukar rupiah untuk memitigasi ketidakpastian pasar keuangan global tersebut.
Indonesia setelah krisis keuangan tahun 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan. Infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilient, dan stabil.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.