Giring Ganesha eks-Nidji mengumumkan pencalonannya sebagai calon presiden (capres) untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Apakah manuver ini hanya persoalan sandiwara dan “badut” politik?
“Politik adalah buah dari akar rasionalitas, bukan buah dari kedangkalan berpikir keserakahan individu/golongan.”
“Dunia ini panggung sandiwara…” berikut adalah cuplikan lagu lawas yang dibawakan oleh God Bless. Dalam lagu ini, grup band kawakan tersebut seperti ingin membawakan pesan, bahwa setiap kejadian dalam hidup adalah sebuah dramaturgi.
Sebuah drama pastinya memerlukan komponen-komponen penting – sutradara, aktor, naskah drama, dan lain-lain – untuk menjalankan pementasan. Tak lupa, penonton adalah sasaran utama sebagai objek yang dihibur melalui pementasan tersebut. Kepuasan dari penonton dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan dari pementasan drama selama berlangsung.
Sama halnya dengan pementasan-pementasan drama yang lainnya, sebuah pementasan yang apik sangat sarat akan seni dan penjiwaan. Akan tetapi, pementasan kali ini sangat sarat akan kenaifan dan kemunafikan, pementasan itu bernama kontestasi politik.
Agenda setting penuh dengan kelembutan, yang dibalik itu tersimpan motif liar politik tingkat atas para cukong-cukong kekuasaan. Siapa saja – tua, muda, laki-laki, perempuan, oposisi, ataupun petahana – boleh berlaga di atas panggung dramaturgi politik, dengan satu syarat, yaitu cuan dan keberpihakan.
Memandang terminologi politik dari masa lalu hingga masa kontemporer, hal ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan filsuf Jerman Friederich Nietzche, yang memaknai politik sebagai usaha untuk meraih kekuasaan bahkan teknik mengelola kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan adalah esensi kehidupan.
Kehidupan adalah kehendak untuk berkuasa (willpower). Dari pandangan Nietzche, ambiguitas politik dapat diberangus lewat makna sempit bahwa politik adalah “kekuasaan”, “penguasaan”, dan “menguasai”. Who gets what? (Siapa yang mendapatkan apa?)
Berkaca pada politik Indonesia kontemporer, pemaknaan di atas dapat diilhami bahwa politik adalah kekuasaan. Setiap orang ingin berkuasa, setiap golongan ingin berkuasa lewat panggung dan lewat drama yang sudah di-setting sendiri ataupun oleh istana se-apik mungkin meskipun hanya dijadikan badut politik/tumbal kekuasaan.
Kembali pada konteks awal, yang punya cuan dan keberpihakan akan selalu di dukung dengan dalih untuk mengurangi konflik politik dan tekanan politik. Lalu, apakah hubungannya antara badut politik dan kekuasaan?
Badut Politik dan Kekuasaan
Panggung “sandiwara” politik di Indonesia sangatlah masih luas dan megah, banyak sekali individu ataupun golongan yang menginginkan panggung itu. Sudah banyak sekali sutradara berseliweran, menggonta-ganti naskah drama, mengganti pemeran karena tidak layak, dan sebagainya.
Badut-badut politik sudah terlihat dan mulai mengumbar janji manis. Padahal, seperti biasanya, janji manis tersebut hanya sekadar untuk memenangkan mereka, dan pada ujungnya rakyat hanya dijadikan komoditas politik.
Pada dasarnya, semua yang mengumbar janji di atas panggung politik merupakan badut dalam gelaran drama politik. Padahal, politik adalah buah dari akar rasionalitas, bukan buah dari kedangkalan berpikir keserakahan individu/golongan.
Dalam bukunya yang berjudul Politik Lokal: Aktor, Problem, dan Konflik dalam Arus Demokratisasi, Erving Goffman menjelaskan mengenai dramaturgi politik. Bagi Goffman, dunia lebih merupakan sebuah panggung daripada realitas yang selama ini dipahami.
Panggung tersebut adalah ruang yang digunakan untuk menampilkan atau memerankan peran-peran tertentu dalam kehidupan. Namun, dunia di atas panggung bukanlah kehidupan yang sesungguhnya melainkan imitasi dan replika dari kehidupan di luar panggung.
Penjelasan di atas seakan-akan memberikan pencerahan bahwa politik hari ini adalah sebuah panggung pertunjukkan para badut untuk menunjukkan kemampuan retorika, kemampuan berjanji, dan kemampuan financial. Siapa yang punya banyak cuan akan menang.
Kekuasaan dijadikan berhala tunggal demi meraup untung sebanyak-banyaknya. Apa pun akan ditempuh demi mendapat jatah kuasa, tak lain juga mendekati istana secara terang-terangan.
Contohnya yang baru-baru ini mendeklarasikan diri sebagai calon presiden meski kontestasi sangatlah masih lama. Lantas, berpengaruhkah deklarasi tersebut dan apa maknanya?
Giring: Manuver Political Over-Confidence?
Jagad dunia maya dikejutkan dengan penampakan video Giring Ganesha atau akrab dipanggil Giring “Nidji” yang sedang berkampanye mencalonkan diri sebagai Presiden RI 2024. Betapa tidak? Gelaran pemilihan umum sangatlah masih jauh dipandang mata, akan tetapi semangat dan gelora api kekuasaan sudah menggebu-gebu sejak dini dalam diri Plt Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tersebut. Dalam video tersebut, Giring seolah tampak menjanjikan angin baru, perubahan dan juga restrukturisasi kepemimpinan—bahwa yang muda bisa memimpin.
Konsep kampanye dini yang hari ini ditampilkan seolah akan membangkitkan keinginan para pemuda untuk mengambil tongkat estafet kepemimpinan dari yang tua. Nyatanya, hari ini rakyat tampaknya sudah jeli melihat bahwa apa yang sekarang tampak disiarkan oleh media adalah bentuk political framing/self-framing yang semu.
Pengaplikasian dari janji-janji politik tidak akan sepenuhnya dijalankan karena geliat kekuasaan, baik di dalam diri maupun kepentingan partai dan kolega. Seakan percaya diri, setelah didapuk menjadi Plt Ketua Umum PSI, Giring seperti menjadikan jabatan tersebut sebagai posisi tawar untuk melenggang ke Istana 2024.
Padahal, faktanya, hari ini PSI merupakan partai minor dengan minimnya prestasi. Pada pemilu 2019 yang lalu, PSI hanya meraup 2% suara nasional, yang hal ini sebetulnya tidak akan bisa langsung mengantarkan Giring sebagai calon Presiden akibat terkendala presidential threshold.
Dalam sebuah publikasi yang berjudul Political Parties and Confidence in Government, Arthur Miller menjelaskan bahwa di dalam sebuah partai politik cenderung semuanya memiliki prinsip political confidence yang dalam kondisi ini kepercayaan diri PSI maupun Giring seolah-olah tinggi dan harus dijadikan pertimbangan partai-partai lain yang ada dalam arena kontestasi politik. Bermodal dengan restu Presiden Jokowi dan pengalaman memimpin band, menjadi pakem bagi PSI untuk mengusung giring menjadi calon presiden.
Padahal, seyogianya dalam berpolitik, haruslah mempertimbangkan segala aspek dan tidak melakukan manuver over-confidence agar tidak hanya dijadikan badut politik semata. Usaha dan upaya penjegalan dini pun harusnya dapat dianalisis lebih jauh, ketika calon-calon dari partai-partai “besar” yang lain belum diumumkan.
Pada akhirnya Giring “Nidji” hanya dijadikan sebagai pemanis dalam panggung “sandiwara” politik saat ini. Penulis juga melihat upaya PSI sedang mendongkrak popularitas partai dengan sedini mungkin berkampanye mengenai isu-isu populis-kerakyatan.
Padahal, nyatanya, Giring pastilah sudah mengetahui perannya saat ini hanya dijadikan badut politik/tumbal kekuasaan karena secara kemampuan dan elektabilitas partai yang minim sangatlah tidak memungkinkan bekas pemimpin band tersebut melangkah ke Istana. Menarik dinantikan kelanjutan drama politik kali ini.
Tulisan milik Maulana Malik Ibrahim, Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Negeri Jakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.