Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) semakin memanas. Apakah situasi ini dapat berujung pada Perang Dunia III atau tetap damai tapi panas?
PinterPolitik.com
Persaingan Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memang telah lama menjadi perhatian dunia internasional. Terlebih, kedua negara saat ini menduduki peringkat pertama dan kedua ekonomi dunia jika ditinjau dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau GDP.
Digdaya kedua negara sebagai adidaya baik secara global maupun kawasan Indo-Pasifik juga tidak mengenai ekonomi saja, melainkan juga secara militer dan bidang-bidang lain yang berkorelasi.
Berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini sebagaimana diberitakan oleh berbagai media asing menunjukkan eskalasi yang memanas antar keduanya: mulai dari persaingan blok kerja sama perdagangan, perang dagang yang tidak berkesudahan, sengketa Laut China Selatan (LCS), pandemi Covid-19, intervensi urusan Hong Kong dan Taiwan, hingga wacana pecahnya Perang Dunia III.
Tentunya menjadi sangat riskan ketika dampak memanasnya hubungan antar kedua negara ini pada stabilitas kawasan Indo-Pasifik di berbagai sektor. Lantas, apa artinya bila hubungan AS dan Tiongkok kini semakin memanas?
Rivalitas Blok Dagang: RCEP vs TPP
Kawasan Indo-Pasifik, yang meliputi lingkar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik menjadi medan pertaruhan yang sengit antar kedua negara – terutama di Samudra Hindia yang saat ini memiliki proporsi 35,5 persen dari perekonomian global.
Untuk itu, RRT bersama dengan negara-negara ASEAN+6 kecuali India (negara-negara ASEAN, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru) membentuk blok dagang yang disebut sebagai Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tahun 2012 pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kamboja. Negeri Tirai Bambu berharap banyak bahwa akan dapat bisa mendominasi perdagangan di kawasan yang strategis ini.
Peluang ini tidak disia-siakan oleh pemerintahan Beijing, karena kelima belas negara yang sedianya menandatangani kerja sama dagang ini mewakili 30 persen dari populasi di dunia dan 30 persen dari PDB dunia. Kendati belum ditandatangani, RCEP berpotensi mengancam eksistensi AS yang juga berkepentingan dalam perekonomian Indo-Pasifik.
AS pun tidak mau kalah dengan membuat draf perjanjian kerja sama ekonomi yang kemudian disebut sebagai Trans-Pacific Partnership (TPP) pada 5 Oktober 2015 bersama dengan 11 negara yang terdiri atas Australia, Brunei Darussalam, Cili, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.
Sayangnya, kesepakatan dagang TPP tidak berlangsung lama. Ketika Pemilu AS pada tahun 2016 memenangkan Donald Trump sebagai presiden, TPP yang merupakan warisan dari Presiden Barack Obama ini dibatalkan ketika AS mulai memperkenalkan doktrin America First di bawah kepemimpinannya.
Saat AS mulai menarik diri dari TPP, RRT tetap mengeksekusi agenda ekonomi globalnya dengan meneruskan proyek ekonomi yang berbeda: proyek investasi infrastruktur transportasi dan energi masif di bawah nama Belt and Road Initiative (BRI).
Indonesia menjadi salah satu di antara sekitar 130-an negara yang terlibat dalam kerja sama yang mencoba menjadi alternatif dari Washington Consensus ini, yang mana dana investasi disalurkan melalui Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB). AIIB meniru pola ADB dengan memberikan pinjaman dana untuk pembangunan bagi negara-negara anggotanya.
Fase Berikutnya: Perang Dagang
Memang langkah Washington terlihat kontras apabila dibandingkan dengan kebijakan Presiden Obama sebelumnya untuk menempuh langkah yang damai dengan RRT melalui kebijakan pivot-to-Asia. Karena setelah keluar dari TPP, Trump justru memulai Perang Dagang dengan RRT.
Perang Dagang ini dimulai dari kenaikan tarif impor pada barang jadi seperti panel surya dan mesin cuci, hingga barang setengah jadi seperti baja dan aluminium. Hal ini dianggap Trump untuk memberikan keseimbangan dagang yang lebih adil dengan berdasarkan pada pasal 301 Trade Act tahun 1974. Trump mengklaim RRT melanggar properti intelektual.
Barulah kemudian RRT membalas dengan menerapkan tarif impor bagi produk-produk yang diimpor dari AS, meliputi pesawat, mobil, daging babi, dan kedelai yang memiliki tarif 25%. Juga buah, kacang, dan pipa baja yang bertarif 15%. Retaliasi atau saling berbalas tarif ini diperbolehkan oleh WTO yang kemudian membuat dinamika perdagangan antar keduanya tidak kunjung berhenti.
Barulah pada 15 Januari 2020, fase pertama kesepakatan dagang AS-RRT ditandatangani di Gedung Putih oleh Presiden Trump dan Wakil Perdana Menteri RRT Liu He yang memberikan kelonggaran tarif terutama menyangkut produk-produk yang berkaitan dengan penanganan wabah virus Corona (Covid-19).
Covid-19: Trump Salahkan RRT
Ketika sebagian besar belahan dunia dilanda pandemi Covid-19 yang dimulai dari RRT, AS memang negara yang tergolong terlambat bereaksi dalam penyebaran virus ini. Pasalnya, hingga saat ini AS menjadi negara dengan jumlah terkonfirmasi terbanyak di dunia yakni sebesar 1,85 juta orang dengan jumlah sembuh 412 ribu dan meninggal 107 ribu.
Penanganan yang berjalan di tempat di AS tidak disertai dengan kesediaan warga AS untuk tetap melakukan kegiatan sesuai dengan protokol kesehatan, melainkan justru turun ke jalan berdemonstrasi mengenai penerapan kebijakan lockdown pada sejumlah negara bagian yang dipimpin oleh Gubernur dari partai Demokrat.
Kepentingan politis yang masuk dalam ranah penanganan pandemi ini justru direspons Trump dengan berkicau melalui akun Twitter resminya seolah memberikan dukungan. Uniknya, Presiden Trump justru menuding RRT pada 29 Mei 2020 dalam pernyataan resminya di halaman Gedung Putih.
Ia berujar “The world is now suffering as a result of the malfeasance of the Chinese government.” Yang mana artinya Trump sepenuhnya menyalahkan Beijing atas pandemi Covid-19 yang sudah menjadi fenomena global ini.
Tidak berhenti sebatas menyalahkan RRT, Trump juga menyalahkan WHO karena dalam setiap pernyataan pers yang dibuat oleh dr. Tedros, Dirjen WHO, dianggap telah menyembunyikan fakta sesungguhnya mengenai jumlah korban pandemi COVID-19 di RRT.
Hong Kong, Taiwan, dan LCS
Persoalan demonstrasi di Hong Kong terjadi buntut kekecewaan masyarakat negara eks-jajahan Inggris tersebut terhadap kebijakan RRT yang hendak meniadakan garis istimewa yang membatasi kedua negara, serta revisi terhadap Hukum Hak Asasi Manusia dan Demokrasi yang akan memutar 180 derajat tatanan one country two systems yang diterapkan pula di Makau.
Hal ini kemudian memicu AS di bawah Trump untuk intervensi pada isu bilateral yang sedang diterpa keduanya, melalui hukum yang disebut “Hong Kong bill” yang dapat memberikan sanksi kepada RRT atas pelanggaran HAM terhadap masyarakat Hong Kong.
Begitu pun dengan kasus Taiwan. Negara yang selalu memiliki pandangan yang berbeda terhadap kebijakan One China Policy di setiap partai yang berkuasa ini sedang dalam tensi yang cukup panas dengan Beijing. Pemerintahan partai Democratic Progressive Party yang dipimpin oleh Presiden Tsai-Ing Wen yang menegaskan bahwa Taiwan tidak mengenal one country two systems sebagaimana yang diterapkan di Hong Kong dan Makau.
Ia lebih cenderung mendukung kedua negara untuk hidup berdampingan. CNN, Asia Times, dan Foreign Policy bahkan memprediksi bahwa RRT “bisa saja” menginvasi Taiwan secara militer meskipun tidak dalam waktu dekat berhubung masih terjadi pandemi virus Covid-19.
Belum lagi sengketa Laut China Selatan (LCS) yang masih belum surut. Klaim atas kepulauan karang Spratly dan Paracel atas dasar Nine-Dashed Line (NDL) membuat geram negara-negara yang tergolong claimant seperti Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam.
Negara-negara ini telah menempuh jalan yang mulai dari yang tergolong damai melalui KTT Asia Timur, atau bahkan mengajukan banding ke IMO dan saling mendaftarkan perairan yang tergolong hak berdaulat mereka ke PBB. Langkah yang terakhir sempat ditempuh Indonesia dalam kasus Laut Natuna Utara yang dianggap bersinggungan dengan NDL.
Pemerintahan Trump tidak diam dengan mengirim beberapa kapal perang AS di bawah US Indo-Pacific Command dengan alasan berpatroli atau sekadar melakukan latihan perang. Hal ini tentunya memicu RRT melakukan hal yang sama dengan meningkatkan kehadiran AL-nya di LCS.
Pada tahun 2018, kapal perang AS dan RRT hampir saling bertabrakan. Dan, kehadiran kapal AS terus berdatangan menggunakan asas freedom of navigation dari UNCLOS sebagaimana RRT masih menempatkan deretan kapal perusaknya pada kedua kepulauan yang diklaim atas dasar NDL.
Potensi Perang Dunia III atau Hot Peace?
Dari sejumlah isu yang disebutkan di atas, tampak kedua negara saling menebar ketegangan satu dengan yang lain. Sejumlah pakar internasional menyebut sejumlah skenario yang akan terjadi: pengulangan peristiwa sejarah yang besar apakah itu berujung pada Perang Dunia III atau Perang Dingin.
Pihak-pihak yang menyebut akan potensi pecahnya kedua perang ini berargumen bahwa AS dan RRT telah menyiapkan sumber daya untuk berperang sebagaimana yang ditunjukkan pekan lalu di mana kedua negara saling meningkatkan anggaran militernya. Meskipun kemudian belum teruji apakah langkah untuk mengirimkan tentara ke wilayah sengketa di dekat RRT akan benar-benar dilakukan.
Namun, menarik untuk melihat pandangan alternatif sebagaimana yang diajukan oleh Michael McFaul, mantan dubes AS untuk Rusia dan guru besar ilmu politik di Stanford University. Baginya, fenomena memanasnya hubungan AS dengan Rusia saat ini dapat dikategorikan sebagai hot peace.
Pasalnya, kondisi yang terjadi saat ini tidak mengarah pada bahaya perang laten sebagaimana pada Perang Dingin yang berkutat pada penggunaan senjata pemusnah massal seperti nuklir. Namun memicu pada sejumlah “hot war” yang berskala lebih kecil. Level friksi yang ditimbulkan justru jauh lebih sempit daripada perang dingin yang memecah dunia pada dua blok yang berbeda.
Hot peace antara kedua negara ini dapat dibuktikan dalam beberapa indikasi. Pertama, AS di bawah kepemimpinan Donald Trump secara pribadi (atau sebagai presiden) terus menebar ujaran bernada konfrontatif terhadap RRT.
Kedua, dalam tataran implementasi, kebijakan Indo-Pasifik tidak secara tegas memosisikan RRT apakah sebagai mitra ataupun rival. Sangat kontras dengan era kepresidenan Obama yang mengutamakan solusi damai melalui pivot–to-Asia.
Ketiga, gertakan untuk perang baru dalam level kedua negara saling mengirimkan angkatan laut untuk berlayar di dalam perairan yang menjadi objek sengketa, semacam tindakan bully atau perundungan.
Keempat, belum ada pernyataan resmi dari Beijing untuk menantang keberadaan AS dengan bersiap untuk perang. Sejauh ini bahasan yang dikeluarkan kementerian luar negeri kedua negara bernada normatif.
Tulisan milik Probo Darono Yakti, Asisten Peneliti di Emerging Indonesia Project dan Alumnus S2 Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.