Pandemi global yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19) telah merongrong Indonesia. Meski begitu, pemerintah pada awalnya malah merespons dengan dagelan dan terlalu berfokus pada dimensi ekonomi dan politik.
PinterPolitik.com
“Awan hitam menyelimuti dengan pekat langit dunia beberapa bulan terakhir, bukan perkara dunia ingin kiamat, karena dunia belum menghendaki hal itu. Juga bukan perkara adanya perang besar, seperti perang Bharatayudha – pandawa melawan kurawa – yang dinisbihkan sebagai peperangan kebaikan melawan keburukan. Akan tetapi, dunia menantikan keruntuhannya sendiri, yang ditengarai oleh makhluk berukuran nanometer”
Sebuah tragedi kemanusiaan pada abad ke-21 telah mencapai titik puncak ketika merebaknya ketakutan massal yang diproduksi baik oleh media cetak ataupun elektronik sudah tak terhindarkan. Dunia ramai-ramai memberikan sinyal bahwa di tiap-tiap bagian negaranya kini sedang melakukan isolasi besar-besaran untuk menutup kemungkinan penyebaran tragedi besar lainnya dalam sejarah umat manusia.
Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) kini menjadi sebuah penyakit yang sedang menjangkit hampir keseluruhan populasi masyarakat dunia. Penyakit ini disebabkan oleh virus Corona baru yang dapat menyebabkan infeksi serius – layaknya virus Corona pada umu,nya seperti sindrom pernapasan akut (SARS) yang disebabkan oleh SARS-Cov pada tahun 2002 dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) yang disebabkan oleh MERS-Cov pada tahun 2012.
Tidak pandang bulu, virus ini menghinggapi negara-negara besar dan adidaya. Awal pertumbuhan virus ini berkembang di Wuhan, Hubei, Tiongkok, di mana virus tersebut ditularkan pertama kali lewat hewan-hewan liar – seperti ular, kelelawar, dan sebagainya – yang sudah menjadi hidangan setiap hari bagi warga Tiongkok.
Setelah terjangkitnya masyarakat Tiongkok oleh virus Corona, seakan alarm dunia dibunyikan dengan cepatnya. Betapa tidak? Karena wisatawan dan orang-orang yang berdatangan dari Tiongkok ke negara-negara lain sangatlah banyak dan belum ada pendeteksi khusus saat itu, virus Corona pun akhirnya merebak.
Pada pertengahan bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) akhirnya menyatakan bahwa Covid-19 merupakan pandemi global yang hingga sekarang belum ada obat untuk menghentikan secara menyeluruh virus tersebut. Jika dilihat dan dicermati, terdapat dua aspek yang sangat disoroti dengan adanya virus Corona ini, yaitu aspek kebijakan publik dan ekonomi politik sebuah negara.
Ekonomi Politik Terdampak Corona
Kegiatan perekonomian sebuah negara sangat disoroti ditengah pandemi global ini. Bukan tidak mungkin suatu aktivitas ekonomi politik membutuhkan situasi kondusif untuk mempertahankan tren positif perekonomiaannya.
Supply arus barang dan jasa sangat dipertaruhkan apabila negara-negara terdampak Corona mengambil suatu sikap kebijakan proteksionis – artinya sebuah negara tidak bisa sembarangan melakukan geliat perdagangan.
Dari beberapa kebijakan suatu negara, tren kebijakan yang paling banyak diambil adalah kebijakan lockdown (karantina wilayah). Lockdown[1] merupakan sebuah paket kebijakan publik yang bertujuan untuk mengamankan negara terhadap sebuah ancaman.
Kebijakan ini dibarengi dengan adanya bantuan dari pemerintah, seperti ketersediaan bahan makanan, kesehatan, dan lain-lain. Semua hal tersebut menjadi bentuk tanggungjawab pemerintah terhadap masyarakatnya yang sedang diisolasi.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh negara maju dan berkembang dalam menerapkan lockdown nyatanya belum efektif dan bekerja dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya tren pasar dan perekonomian global yang tentunya kerugian dari itu semua belum bisa dihitung angka pastinya hingga sekarang.
Sektor moneter, fiskal, hingga struktural runtuh total akibat pandemi Covid-19 global ini. Tidak main-main, selain membawa dampak sosial (social dan physical disctancing), virus Corona juga membawa dampak ekonomi politik.
Beberapa negara, termasuk Tiongkok, mengalami defisit neraca perdagangan yang serius. Pada kuartal I tahun 2020, Tiongkok harus rela mengalami defisit impor-ekspor sebesar 17,2%[2]. Apa yang terjadi di negara itu belum termasuk kalkulasi untung-rugi dari beberapa aspek yang lainnya.
Fakta di atas merupakan gambaran parsial dari keadaan negara seperti Tiongkok. Bagaimana keadaan negara lain yang telah mengalami lockdown? Negara-negara seperti Italia, Prancis, Polandia, Denmark, El Salvador, dan Belgia sudah memberlakukan lockdown semenjak bulan Maret ini.
Risiko tinggi pun diambil, dari resesi ekonomi hingga kehancuran di sector finansial. Risiko yang terparah adalah kerusuhan yang terjadi di negara India selang melakukan lockdown di negara dengan penduduk Hindu terbanyak itu.
Dengan banyaknya negara yang mengambil langkah kebijakan lockdown untuk mengatasi Covid-19, maka hal ini praktis akan membelenggu segala bentuk perdagangan internasional – arus barang dan jasa – dalam spketrum ekonomi politik. Dari apa yang kita lihat diatas, apakah Indonesia merupakan salah satu negara yang perlu menerapkan lockdown sebagai langkah solutif pemerintah dalam menghadapi bahaya Corona ini?
Kebijakan yang Diambil: Tidak Ada?
Indonesia – seperti biasanya – dikenal sebagai negara dengan tempat-tempat wisatanya yang indah hingga suatu ketika saat pandemi global Covid-19 masuk ke Indonesia dan petinggi-petinggi pemerintahan hanya menertawai virus tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia tidak akan terkena virus Corona “karena orang Indonesia makan nasi kucing”, “Indonesia dilindungi oleh alim ulama”, “Izin yang berbelit-belit mengakibatkan virus Corona enggan masuk ke Indonesia”, dll. Semua kelakar para petinggi tersebut mengisyaratkan satu hal pada publik, yakni bahwa pemerintah Indonesia tidak siap dalam menghadapi virus “ganas” ini.
Per tanggal 11 April 2020, yang dinyatakan terjangkit sudah mencapai angka 3.842 kasus, dan meninggal sebanyak 327 orang. Dilihat dari angka ini belum sekalipun terlihat adanya itikad baik dari pemerintah untuk membuat suatu penetrasi kebijakan yang dirasa hal tersebut mampu secara signifikan dalam memutus mata perseberan virus tersebut.
Dalam hal ini, sepertinya pemerintah dinilai dan dilihat takut untuk mengambil keputusan, padahal institusi negara mempunya otoritas untuk menentukan arah kebijakan yang memegang teguh prinsip-prinsip kemanusiaan dan kesejahteraan. Menurut James S. Coleman dalam Teori Pilihan Rational (The Rational Choice), pemerintah mempunyai banyak opsi untuk menentukan kebijakan public yang dinilai dapat menyelamatkan rakyat, yang berfokus pada urusan paling kecil (mikro) tatanan kemasyarakatan, dengan upaya lockdown lokal ataupun lockdown sebagian wilayah yang paling berdampak Covid-19. Hal ini dilakukan untuk sebagai salah satu syarat investasi kemanusiaan.
Jika hanya menimbang suatu kebijakan hanya dilihat dari kacamata ekonomi, hal itu tentu saja merugikan. Karena kerugian materiil sangat jauh memberikan efek yang nyata, apabila hal tersebut diambil, langkah yang paling tepat adalah memberikan dukungan berupa stimulus modal kepada perusahaan atau pegiat UMKM yang terkena imbas kebijakan itu nantinya.
Dalam situasi ini pula, pemerintah diminta untuk tegas dan mengurangi kelakar yang akhirnya dapat menimbulkan masalah baru ditengah-tengah permasalahan yang sedang bangsa ini hadapi. Mungkin inilah saatnya para pemimpin negeri ini belajar bagaimana dan mengapa penting memahami psiologi publik, agar semua yang dikatakan oleh mereka dapat di filter terlebih dahulu untuk meredam kepanikan masyarakat.
Tulisan milik Maulana Malik Ibrahim, mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Negeri Jakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.