HomeRuang PublikAnies dan “Tangan Dingin” Surya Paloh

Anies dan “Tangan Dingin” Surya Paloh

Oleh Alfitra Akbar

Ketua Umum (Ketum) Partai Nasdem Surya Paloh sempat disebut-sebut bakal menjadi king maker bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Bagaimana kehebatan “tangan dingin” Surya Paloh pada tahun 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

Rabu siang tepatnya tanggal 27 Juli 2019, suasana di kantor DPP Partai Nasdem mendadak ramai beberapa fungsionaris dan petinggi Partai Nasdem – termasuk sang ketua umum (ketum) – yang tampak sudah berada di kantor tersebut sejak pagi. Sementara, di halaman kantor partai, para wartawan pun sudah terlihat berdatangan ke lokasi.

Beberapa saat kemudian, tamu yang ditunggu pun datang. Tamu spesial di kantor DPP Partai Nasdem hari itu adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dijadwakan, hari itu, sang gubernur akan bertemu dengan Ketum Partai Nasdem Surya Paloh.

Beberapa hari sebelum pertemuan – bahkan pasca-pertemuan ini berlangsung – terjadi banyak spekulasi tentang maksud dan tujuan pertemuan antar kedua tokoh tersebut. Banyak pengamat menilai pertemuan tersebut secara simbolik adalah bentuk perlawanan dari Partai Nasdem kepada koalisi partai pemerintah dan presiden Jokowi pasca mencuatnya kabar masuknya partai oposisi Gerindra di jajaran kabinet.

Terkait hal tersebut, Partai Nasdem adalah salah satu partai yang secara tersirat menolak masuknya Gerindra di kabinet. Jika dianalisis lebih lanjut pertemuan antara Nasdem dan Anies Baswedan ini bisa dikatakan adalah sebuah “simbiosis mutualisme” dalam politik.

Bagi Nasdem seperti yang telah dijabarkan di atas, pertemuan ini secara simbolik merupakan bentuk perlawanan sekaligus ekspresi kekecewaan terhadap koalisi atas masuknya Gerindra di kabinet di sisi lain pertemuan ini bisa jadi juga dalam rangka meningkatkan nilai tawar Nasdem di koalisi. Bagi Anies Baswedan, jelas pertemuan dengan Nasdem secara politis akan meningkatkan kepercayaan dirinya dalam memimpin ibu kota.

Sebagai Gubernur yang terpilih dari proses politik, tambahan dukungan partai politik akan sangat bermanfaat di parlemen misalnya dukungan tambahan dari Fraksi Nasdem akan sangat berguna untuk menyeimbangkan kekuatan kursi partai oposisi gubernur di DPRD DKI Jakarta yang mayoritas. Kemudian, sebagai politisi dukungan dari Nasdem bisa diartikan sebagai sebuah “kode” atau karpet merah bagi karier politik Anies Baswedan ke depannya.

Namun, apapun spekulasi itu kita semua sepakat bahwa pertemuan ini adalah sejarah bagi lembaran baru perpolitikan nasional bahkan bukan tidak mungkin pertemuan ini akan mengubah konstelasi perpolitikan di tingkat nasional.

Nasdem, Pelabuhan Bagi Anies?

Bagi Anies, jika suatu saat harus memilih partai politik untuk menjadi pelabuhan bagi kareir politiknya tentu bergabung dengan Nasdem merupakan langkah yang sangat tepat sekaligus realistis.

Pertama, faktor sejarah Anies sendiri bukanlah orang yang baru di Nasdem. Sejarah mencatat Anies merupakan deklarator organisasi masyarakat (ormas) Nasional Demokrat yang merupakan cikal bakal dari Partai Nasdem. Anies juga dinilai punya kedekatan dengan sang Ketum, Surya Paloh.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Kedua, faktor market pemilih – dengan bergabung dengan Partai Nasdem yang berlatar belakang partai nasionalis, segmentasi market pemilih bagi Anies Baswedan akan lebih luas dibanding dengan, misal, Anies bergabung dengan partai Islam seperti PKS yang mempunyai basis pemilih yang sama dengan pemilih Anies Baswedan saat ini.

Ketiga adalah faktor Surya Paloh. Dibandingkan dengan ketum partai lain yang sibuk mem-branding dirinya menjadi calon presiden/wakil presiden, Surya Paloh diyakini tidak akan maju sebagai calon presiden/wakil presiden. Oleh karena itu, peluang Anies Baswedan untuk di calonkan menjadi presiden jika bergabung dengan Nasdem akan terbuka lebar tanpa harus bersaing dengan sang ketua umum partai.

Surya Paloh, King Maker?

Tangan dingin Surya Paloh sebagai king maker atau orang di belakang layar dalam suatu pencalonan dianggap lumayan sukses terbukti dalam Pilpres 2014. Nasdem merupakan partai koalisi pertama yang menyatakan mendukung Jokowi di Pilpres 2014 (di luar PDIP sebagai partai yang mencalonkan Jokowi).

Hal yang sama dilakukan Surya Paloh ketika jauh-jauh hari sebelum Pilpres 2019 digelar – tepatnya pada tahun 2017, Partai Nasdem sudah mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019 dengan tagline, “Jokowi Presidenku Nasdem Partaiku.” Partai Nasdem merupakan partai pertama yang mendukung presiden Jokowi untuk periode kedua.

Kedua manuver politik tersebut terbukti berhasil. Pada Pileg 2014, Nasdem sebagai partai baru berhasil lolos ke parlemen. Di saat yang sama, juga berhasil memenangkan Jokowi sebagai Presiden dan menempatkan kadernya di jabatan strategis di kabinet.

Kemudian, pada Pemilu Serentak 2019, selain berhasil mengantarkan Jokowi menjadi Presiden untuk kedua kalinya, Nasdem juga diklaim berhasil mendapat “efek ekor jas” paling tinggi dari Jokowi dibanding partai koalisi lainya – bahkan dari PDIP sebagai partai pengusung utama.

Dalam Pemilihan Legislatif 2019, walaupun secara de jure suara Nasdem di bawah PDIP, Gerindra, dan Golkar, secara de facto Nasdem adalah “pemenang” Pileg 2019. Hal ini didasarkan pada melesatnya jumlah suara Partai Nasdem sebesar 2,33% yang merupakan peningkatan elektoral tertinggi dan paling signifikan dari semua partai politik Bahkan, angka ini melebihi PDIP (0.38%) dan Gerindra (0.76%) – dua partai yang secara langsung mendapat coattail effect dari kadernya yang maju dalam pilpres.

Di tingkat lokal, pada Pilkada Serentak, Nasdem dengan tagline “politik tanpa mahar” berhasil memenangkan calon-calon potensial yang diusung dalam Pilkada, seperti Ridwan Kamil di Jawa Barat dan Khofifah di Jawa Timur. Bahkan, di beberapa provinsi, Nasdem berhasil menempatkan kader internalnya dalam posisi gubernur seperti di NTT dan Sumatera Selatan.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Nasdem Butuh Anies?

Rangkaian kesuksesan Nasdem tersebut berhasil mengantarkan partai itu masuk ke jajaran partai elite di Indonesia. Akan tetapi, untuk masuk ke jajaran partai besar dan memenangkan Pemilu di 2024 masih ada satu kepingan puzzle yang harus dimiliki Nasdem, yaitu sosok calon presiden. Kehadiran Anies Baswedan diyakini dapat menjadi jawaban dari kepingan puzzle itu.

Dibanding partai besar lain, seperti PDIP yang digadang-gadang akan mencalonkan Ganjar Pranowo atau Puan Maharani sebagai kandidat capres, Gerindra dengan Prabowo Subianto, dan Partai Golkar bersama Airlangga Hartarto, kehadiran Anies Baswedan akan memberi warna tersendiri dari para kandidat yang telah ada di atas.

Hal ini dikarenakan pasca-masuknya Gerindra bersama sang Ketum Prabowo dalam kabinet pemerintah praktis. Maka dari itu, satu-satunya tokoh yang bisa dianggap representasi yang kuat dari kubu oposisi pemerintah adalah Anies Baswedan. Dengan hadirnya Anies Baswedan di tubuh Partai Nasdem, satu hal yang pasti adalah memberikan efek peningkatan elektoral bagi Partai Nasdem.

Anies sendiri datang tidak sebagai gerbong kosong di belakangnya. Dia membawa basis pemilih yang loyal. Dilihat dari segi elektabilitas dari survei beberapa lembaga, nama Anies Baswedan selalu masuk tiga besar elektabilitas tertinggi bersama dengan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Hal yang menarik di sini adalah, dari tiga nama tersebut, hanya Anies yang bukan merupakan kader partai. Hal ini mengindikasikan pemilih dari Anies sendiri relatif tidak atau belum berafiliasi dengan partai manapun. Maka, jika Anies bergabung, Partai Nasdem diprediksi akan mendapat coattail effect.

Coattail effect yang dimaksud di sini – mengutip dari penjabaran Djayadi Hanan – adalah adanya hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.

Namun, kemungkinan inipun belum pasti akan terjadi pada tahun 2024 nanti. Sejumlah manuver politik yang dilakukan oleh pihak Istana dinilai oleh para pengamat akan membuat Nasdem berpikir ulang untuk mengambil posisi yang berseberangan dengan pemerintah. Menarik untuk diamati bagaimana nanti dinamika hubungan antara Anies dan Surya Paloh.


Tulisan milik Alfitra Akbar, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia .


Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.

Banner Ruang Publik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...