Nawacita menjadi dukacita bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat tidak akan pernah terjadi jika kepentingan politik lebih didahulukan dibanding keadilan hukum.
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat masa lalu merupakan luka di Indonesia yang hingga kini belum disembuhkan. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut kebanyakan terjadi pada saat rezim Orde Baru berkuasa dan jelang bergulirnya Reformasi di tahun 1998-1999.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu awalnya menjadi prioritas di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan tertuang di dalam Nawacita atau 9 program prioritas yang ia kampanyekan.
Dalam nawacita tersebut Jokowi berjanji akan menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM berat antara lain kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, kasus penghilangan orang secara paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok dan Tragedi 1965. Namun kini, Nawacita menjadi dukacita yang hanya menjadi janji politik yang kini sulit untuk ditepati.
Pasalnya di periode pertama kekuasaannya, Jokowi mengangkat Jenderal TNI (Purn) Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Hal ini tentu jadi persoalan karena berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, Wiranto diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM pada tahun 1998 dan di Timor Timur pada saat ia menjabat sebagai Panglima ABRI.
Sementara, di periode kedua, Jokowi mengangkat lawan politiknya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Padahal berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, Prabowo diduga terlibat kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Dugaan tersebut dikuatkan dengan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk penyelidikan kasus penculikan aktivis pada 21 Agustus 1998 yang berujung pada keputusan pemecatan Prabowo dari militer.
Tidak hanya itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu, juga menyatakan bahwa Peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan kasus pelanggaran HAM berat, sekalipun kemudian dibatalkan oleh putusan PTUN Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT yang memutuskan bahwa Jaksa Agung melawan hukum terkait pernyataannya itu.
Dari pengangkatan Wiranto dan Prabowo sebagai menteri hingga pernyataan Jaksa Agung tersebut sesungguhnya merupakan bukti tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Janji politik dalam Nawacita akhirnya tak menjadi sukacita untuk para korban pelanggaran HAM berat. Melihat kondisi politik saat ini, jalan apa yang akan ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini?
Rekonsiliasi Tanpa Pengadilan Merupakan Impunitas
Wacana penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dimulai oleh Wiranto sebagai Menkopolhukam pada periode pertama kekuasaan Jokowi dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Sementara di periode kedua, Mahfud MD sebagai Menko Polhukam merencanakan pembentukan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mana sebelumnya sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006.
Penyelesaian melalui DKN maupun pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan mekanisme non-judisial dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Hal ini penting untuk dilihat karena penyelesaian melalui mekanisme non-Judisial tanpa melakukan mekanisme judisial merupakan bentuk impunitas yang dilakukan oleh negara. Pada hakikatnya, rekonsiliasi yang bersifat non-judisial haruslah komplementer (menjadi pelengkap) terhadap mekanisme pengadilan (judisial) dan bukannya bersifat subtitutif (pengganti) dalam hal langkah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam persoalan HAM, terdapat “Prinsip Joinet” yang menyatakan bahwa korban pelanggaran HAM memiliki beberapa hak, di antaranya: a) hak untuk mengetahui; b) hak atas keadilan; c) hak atas reparasi; d) dan jaminan ketidakberulangan.
Dalam konteks hak atas keadilan dinyatakan bahwa impunitas tidak dapat diberikan kepada pelaku pelanggaran HAM berat sebelum korban mendapatan keadilan melalui pengadilan yang efektif.
Fiat Justitia et Pereat Mundus
Rekonsiliasi yang pernah terjadi salah satunya adalah dalam kasus pelanggaran HAM berat di Afrika Selatan dalam kasus Politik Apartheid antara kaum kulit putih dan kulit hitam. Diskriminasi diterapkan pada saat pembentukan Uni Afrika Selatan pada tahun 1910 dan pada tahun 1948 kata Apartheid mulai di kenal di Afrika Selatan.
Dampak dari Apartheid itu sendiri adalah hilangnya hak politik dan hak lainnya bagi kaum kulit hitam di Afrika Selatan. Bahkan pada tahun 1960 terjadi pembantaian Sharpeville yang memakan banyak korban jiwa.
Dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tersebut, Nelson Mandela membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan tugas antara lain pengungkapan kebenaran, merekomendasikan amnesti bagi para pelaku yang merasa bersalah, adanya perdamaian antara pelaku dan korban, adanya reparasi bagi korban, dan merekomendasikan negara untuk melakukan reformasi legislasi dan institusional.
Di Indonesia, pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi mungkin bisa dimulai dari kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Perjanjian damai atau MoU yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, merekomendasikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh. Namun komisi yang dibentuk haruslah mengutamakan pemulihan bagi para korban sebagai pemenuhan hak asasi manusia.
Asas Fiat Justitia et Pereat Mundus yang artinya “meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan” juga berlaku pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Meskipun banyak kepentingan politik yang menghalanginya, penegakan hukum melalui pengadilan HAM merupakan hal yang wajib dilakukan.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang menerangkan bahwa pelanggaran HAM berat dapat diadili melalui mekanisme Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam kasus di Indonesia, pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok pernah menggunakan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc, sementara pelaggaran HAM berat Abepura menggunakan mekanisme Pengadilan HAM.
Apabila ketiga kasus tersebut sudah pernah ada penyelesaian melalui mekanisme judisial, mengapa kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya belum juga diselesaikan, sebagaimana Nawacita Jokowi pada saat berkampanye dahulu?
Pada akhirnya, hal ini memang akan terus menjadi pertanyaan besar, terkait posisi Jokowi sebagai presiden yang justru terlihat mengingkari janjinya sendiri hanya untuk kepentingan politik belaka. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.