HomePolitikAmerica First ala Trump Kala Corona

America First ala Trump Kala Corona

Oleh Giftson Ramos Daniel, Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Indonesia

Kecil Besar

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kerap menggalakkan kebijakan America First dalam politik luar negerinya. Namun, di tengah pandemi virus Corona (Covid-19), kebijakan ini tampaknya perlu dievaluasi kembali.


PinterPolitik.com

Kebijakan America First bukanlah gagasan yang pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Gagasan ini, awalnya diinisiasi oleh Pat Buchanan, yaitu seorang politikus asal Amerika Serikat.

Munculnya gagasan America First berawal dari penolakan dari America First Committee  terhadap keputusan militer AS untuk terlibat dalam Perang Dunia II. Secara garis besar, kebijakan ini lebih menekankan bahwa kepentingan AS berada di atas segala kepentingan lain.

Namun, bukan berarti kebijakan America First identik dengan makna isolasi, melainkan lebih kepada upaya untuk mendapatkan keuntungan yang hanya ditujukan untuk kepentingan AS. Posisi AS sebagai hegemoni hingga saat ini tentunya juga tidak lepas dari keterlibatan AS dalam menjalin hubungan dengan negara lain atau lembaga internasional.

Pengaruh dari kekuatan Barat yang digambarkan oleh AS menjadikan negara tersebut mendominasi sejak pecahnya Uni Soviet, serta didukung dengan adanya  negara-negara lain yang mendukung pergerakan AS dengan menyebarkan nilai-nilai ideologi demokrasi.  Kondisi inilah yang juga mempengaruhi AS semakin kuat pengaruhnya di sistem internasional. Terlebih, kekuatan ekonomi dipadukan dengan kekuatan militer semakin memperkokoh posisi AS.

Meski demikian, Donald Trump yang menjadi Presiden AS yang ke-45 menegaskan kebijakan America First dalam setiap pengambilan kebijakan luar negeri. Selama pemerintahan Trump berlangsung, AS mulai melakukan manuver terhadap organisasi internasional.

Seperti misalnya, Amerika yang memiliki kontribusi ekonomi cukup besar dalam militer dibandingkan negara anggota lainnya di NATO.  Hal ini membuat AS memiliki andil besar dalam upaya mengamankan national interest-nya melalui aliansi NATO, dan ini terlihat dari berbagai keterlibatan negara anggota lainnya di Timur Tengah.

Selain itu, terdapat juga hubungan unilateral dengan Israel yang berujung pada keputusan Trump untuk mendukung Israel menganeksasi wilayah Palestina. AS sebagai negara yang memiliki kontribusi besar di PBB berupaya menekan negara-negara yang tidak mendukung keputusannya terhadap Palestina.

Salah satu bentuk tekanan yang diberikan yaitu ketika AS menahan bantuan dana sebesar 65 juta dollar AS kepada Palestina. Amerika juga memutuskan untuk tidak mematuhi kesepakatan Nuklir Iran dan keluar dari kesepakatan Paris Climate Agreement.

Bahkan, pandemi Covid-19 tidak mengendurkan Trump dalam merealisasikan America First, yakni untuk mengedepankan kepentingan negaranya. Tindakan konkret yang dilakukan Trump adalah berencana menahan bantuan dana ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Baca juga :  Multiverse Variants: Bongbong Prabowo Trump

Trump menilai bahwa WHO terlalu China-centric, serta tidak mampu mencegah terjadinya penyebaran virus Corona. Padahal, AS diketahui merupakan negara dengan total sokongan dana terbesar di WHO, yaitu 400 juta dollar AS. Tindakan ini mendapatkan respons dari Uni Eropa karena dianggap bisa menghambat bantuan untuk mengatasi penyebaran virus Corona.

Penahanan dana bantuan kepada WHO merupakan puncak dari kekecewaan Trump karena AS sebagai penyokong dana terbesar justru saat ini mengalami cobaan berat akibat penyebaran virus Corona yang cukup masif di negaranya. Menurut data dari World Meters, AS menempati urutan pertama sebagai negara yang paling terdampak virus Corona dibandingkan negara lainnya.

Sementara, rencana Trump memutuskan untuk menahan bantuan dana kepada WHO dinilai banyak pihak bisa berdampak pada upaya WHO dalam mengantisipasi penyebaran virus Corona. Uni Eropa menilai keputusan Trump untuk menahan dana bantuan ke WHO sangat disesalkan karena seharusnya permasalahan penyebaran virus Corona diselesaikan dengan bekerja sama.

Tidak hanya menahan bantuan dana kepada WHO, Donald Trump juga menahan bantuan berupa masker N95 yang diproduksi perusahaan manufaktur 3M ke Kanada dan negara-negara Amerika Latin. Keputusan Donald Trump ini ditanggapi oleh Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang secara garis besar menegaskan bahwa AS bergantung pada tenaga medis serta alat-alat kesehatan dan bahan baku untuk alat kesehatan yang berasal dari Kanada.

Pada isu ini, Trump secara tegas menegaskan bahwa siapapun yang tidak bisa memenuhi kebutuhan AS, maka pihak itu pun tidak akan mendapatkan sesuatu dari AS. Pernyataan ini berimplikasi pada keputusan Kanada untuk mendapatkan bantuan dari Tiongkok, yaitu berupa masker N95.

Realisasi America First terutama pada masa momentum pandemi Covid-19 ini sepertinya dimanfaatkan betul oleh Tiongkok. Negara Tirai Bambu yang telah lebih dulu pulih selama perang melawan Covid-19 aktif dalam membantu negara-negara yang terdampak termasuk negara โ€œsekutuโ€ AS di Eropa.

Upaya AS untuk tetap mengedepankan kebijakan America First seolah me-nomorduakan upaya kerja sama internasional yang menjadi upaya paling penting dalam menghadapi perang melawan โ€œmusuhโ€ yang tidak terlihat ini. Kebijakan Trump yang mayoritas cenderung membatasi kerja sama dengan negara lain dan organisasi internasional berimplikasi pada kedudukan AS dalam sebuah aliansi dengan negara lain terutama negara-negara ekonomi yang kuat.

Baca juga :  Tiangong, โ€œIstana Surgawiโ€ Tiongkok

Kebijakan America First yang direalisasikan Trump selama pandemi Covid-19 berbanding terbalik dengan pernyataan dari para pimpinan negara-negara maju  yang tergabung dalam G7. G7 merupakan kumpulan negara-negara maju yang terdiri dari Amerika, Inggris, Jepang, Italia, Kanada, Jerman, dan Perancis.

Organisasi G7 secara garis besar memberikan pernyataan bahwa organisasi ini mengedepankan kerja sama internasional untuk melawan pandemi Covid-19. Tidak hanya itu, organisasi ini juga memberikan dukungan penuh terhadap WHO sebagai penggerak bagi negara-negara untuk menghadapi pandemi Covid-19.

Ternyata, kebijakan America First yang bertujuan untuk mengedepankan kepentingan AS semata, mayoritas tidak mendapatkan tanggapan yang selaras dari negara-negara lain, seperti yang berada dalam organisasi G7. Banyak anggapan bahwa penerapan kebijakan America First merupakan bentuk upaya dari Trump untuk membawa AS menjadi negara superpower satu-satunya di dunia.

Namun, prinsip Trump untuk mengutamakan kepentingan AS  ini mengganggu roda ekonomi global. Negara-negara di dunia harus merasa tidak tenang dengan posisi AS yang menjelma menjadi negara unilateral.

Dalam situasi penyebaran pandemi Covid-19, Trump belum mengubah โ€œgayaโ€ Amerika dalam bernegosiasi dengan negara lain. Kemunculan Tiongkok yang telah pulih dari wabah Covid-19 membantu negara-negara Eropa, terutama Italia, yang mendapatkan bantuan medis dari China.

Maka, upaya Trump melalui kebijakan America First tidak menjamin timbulnya ketergantungan yang absolut  terhadap AS karena kemunculan Tiongkok juga harus diperhitungkan.

Terlebih, pada masa sulit seperti saat ini, solidaritas antarnegara sangat dibutuhkan untuk bahu-membahu untuk mewujudkan kondisi dunia yang lebih baik. Alangkah baiknya apabila saat ini kepentingan untuk tujuan bersama menjadi prioritas, terutama dalam upaya penemuan vaksin supaya korban jiwa tidak terus berjatuhan.

Sementara itu, terjadinya kontraksi ekonomi dan melonjaknya jumlah pengangguran menyebabkan implikasi dari wabah ini semakin kompleks.  Oleh karena itu, selama pandemi Covid-19 masih belum mereda, upaya kerja sama yang sifatnya multilateral sudah sepatutnya  lebih diutamakan.

Tulisan milik Giftson Ramos Daniel, Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Indonesia.

โ€œDisclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.โ€

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau โ€œHiperbolaโ€? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos โ€œHantu Dwifungsiโ€, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik โ€œPerangโ€? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...