Pancasila sedari awal telah disepakati sebagai dasar atas negara-bangsa Indonesia. Lantas, bagaimanakah aktualisasi dari nilai-nilai Pancasila dalam fiqih Islam?
Relasi antara Islam dan negara di Indonesia seolah tidak pernah selesai. Meski para pendiri bangsa ini telah sepakat satu suara mengenai dasar dan bentuk negara, pada kenyataannya sampai sekarang perdebatan seputar agama dan negara masih saja mengemuka.
Pasca berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998, kita menyaksikan sendiri bagaimana ruang publik kita diramaikan oleh wacana dan narasi yang ingin membuka kembali kotak pandora bernama Piagam Jakarta. Ujung dari wacana dan narasi itu bisa ditebak, yakni upaya mengubah ideologi Pancasila dan menggantinya dengan khilafah.
Wacana itu kian mendapat angin segar ketika gerakan Islam trans-nasional mulai mendominasi ruang publik dengan corak keislamannya yang politis-ideologis. Gerakan Islam trans-nasional itu lantas bermetamorfosis menjadi jaringan ekstremisme dalam Islam yang sepak terjangnya mengancam keutuhan NKRI.
Kini, keberadaan kelompok-kelompok yang secara terbuka menentang Pancasila benar-benar membuat pemerintah kewalahan. Gerakan mereka tidak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan secara terang-terangan. Bahkan, meski sejumla organisasi yang dinilai gencar mengampanyekan khilafah sudah dibubarkan, wacana tentang negara Islam tetap nyaring terdengar.
Beruntung, bangsa ini masih memiliki dua ormas Islam besar yang setia menjadi benteng bagi tegaknya NKRI, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah, sebagaimana kita tahu, selalu memegang teguh komitmen untuk setia pada Pancasila, NKRI dan UUD 1945.
Haedar Nashir, Ketua Umum Muhammadiyah dalam bukunya Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia menyebut bahwa konsep negara-bangsa (nation-state) dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 yang saat ini diterapkan di Indonesia merupakan representasi dari ajaran Islam, khususnya mengenai fiqih siyasah (fikih politik).
Sementara, NU seperti kita tahu selalu menunjukkan aksi nyata dalam menjaga NKRI dari penetrasi kelompok radikal, baik radikal kiri maupun kanan. Komitmen NU untuk menjaga NKRI agaknya tidak perlu diragukan lagi.
Sejak era awal kemerdekaan hingga sekarang di era Reformasi, NU tidak pernah lelah menjaga dan merawat nasionalisme. Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siraj dalam sebuah pidatonya pernah menyampaikan bahwa menjaga perdamaian dan keamanan negara merupakan bagian dari syiar Islam. Adalah mustahil untuk memperjuangkan tegaknya Islam jika negara dan masyarakat berada dalam kondisi kacau dan dilanda konflik.
Mengedepankan Kepentingan Kolektif
Argumen Muhammadiyah dan NU ihwal menjaga keutuhan negara itu sejalan dengan konsep fiqih prioritas yang dikemukakan oleh Yusuf al Qardlawi dalam kitabnya Fiqh al Awlawiyat. Dalam kitab fenomenalnya itu Syekh Qardlawi menekankan pentingnya mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan privat dan mengutamakan kepentingan kolektif di atas kepentingan individual.
Menurut Al Qardlawi, menjaga negara merupakan bagian dari urusan publik dan menjadi kewajiban kolektif. Menjaga negara, sebagaimana dikemukakan oleh Qardlawi berarti berpartisipasi dalam menegakkan kemakmuran dan kedamaian umat manusia. Hal itu merupakan ajaran pokok dalam agama Islam yang tidak boleh diabaikan.
Dalam konteks inilah, gagasan mengenai fiqih prioritas patut dikembangkan dalam konteks Indonesia yang belakangan didera krisis nasionalisme akut. Fiqih prioritas tidak membedakan atau memisahkan antara urusan agama dan negara sebagaimana paham sekulerisme.
Namun demikian, fiqih prioritas juga tidak lantas sama dengan paham teokrasi yang menganggap negara sebagai representasi dari kehendak Tuhan. Fiqih prioritas mengajarkan cara pandang yang progresif dalam melihat relasi agama dan negara.
Dalam gagasan fiqih prioritas, negara adalah induk utama kehidupan berbangsa – di mana semua entitas atau kelompok menempati posisi yang setara serta memiliki hak sekaligus tanggung jawab yang sama. Sementara, agama ialah salah satu varian yang membuka jalan menuju kerahmatan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Agama dalam hal ini bisa menjadi salah satu variabel yang memperkuat konsolidasi kebangsaan.
Maka, ditinjau dari perspektif fiqih prioritas, menjaga negara ialah bentuk kewajiban kolektif yang harus ditunaikan oleh seluruh elemen bangsa. Jika ada kelompok masyarakat yang mengingkari kewajibannya menjaga negara, maka sejatinya ia tengah menodai identitas keislamannya.
Di dalam Islam, diajarkan bahwa kecintaaan pada tanah air adalah bagian dari iman (hubbul withan minal iman). Sebagai kaum beragama, kita wajib merawat bangsa dan negara dengan baik. Dalam konteks ini, setidaknya ada tiga langkah yang bisa kita upayakan untuk menjaga negara (hizfud daulah).
Pertama, sebagai individu kita harus berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang pluralistik. Pola pikir inklusif dalam menyikapi perbedaan agama dan budaya harus terus-menerus dikembangkan sebagai spirit dan laku hidup. Al Quran sendiri menegaskan bahwa Allah sengaja menciptakan manusia dengan beraneka macam jenis kelamin, suku, bangsa dan ras agar manusia bisa saling mengenal satu sama lain.
Kedua, sebagai kaum beragama, kita wajib menempatkan agama sebagai alat pemersatu bangsa bukan sebaliknya menjadi penyebab perpecahan dan konflik. Agama idealnya diposisikan sebagai kekuatan yang bisa memperkuat sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan keberadaan agama, diharapkan masyarakat dapat hidup sesuai dengan norma dan etika yang menjunjung tinggi sikap moderat, seimbang dan adil.
Ketiga, sebagai bagian dari bangsa kita wajib mempraktikkan perilaku beradab serta mengedepankan prinsip kewargaan multikultural dalam kehidupan. Masyarakat perlu membangun sebuah jejaring intelektualisme dan gerakan sosial yang bertujuan mewujudkan relasi sosial yang sehat dan solid. Jejaring sosial ini akan berfungsi meminimalisir potensi gesekan yang mungkin terjadi di tengah kondisi masyarakat yang plural.
Dalam konteks inilah, Pancasila yang merupakan saripati dari ajaran para leluhur Nusantara bisa dijadikan sebagai modal sosial untuk menggerakkan individu maupun kelompok untuk mencapai tujuan kolektif. Tujuan kolektif inilah yang akan menyatukan kita dalam satu komitmen bersama untuk menjaga negara sekaligus agama dalam satu tarikan nafas.
Tulisan milik Rendy Merta Rahim, Penulis Lepas.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.