Meninggalnya enam laskar FPI memberikan tanda tanya besar terkait dengan fakta yang sebenarnya terjadi di lapangan. Kronologi yang beredar di masyarakat memang memiliki perbedaan sudut pandang dari setiap kubu. Pembentukan tim independen diperlukan untuk mengumpulkan puzzle yang tersebar agar dapat mengungkap kasus kematian tersebut secara transparan dan akuntabel.
Semenjak kembalinya Rizieq Shihab ke Indonesia pada tanggal 10 November 2020 dari pengasingannya di Arab Saudi, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu tak henti-hentinya menjadi sorotan publik di Indonesia.
Kembalinya Rizieq Shihab ternyata memiliki pengaruh yang besar bagi pergerakan politik di Indonesia, sehingga setiap pergerakan Rizieq Shihab selalu mengundang komentar dari masyarakat luas.
Mulai dari penjemputannya di Bandara Soekarno-Hatta hingga acara pernikahan putri keempatnya, apapun yang dilakukan Rizieq Shihab selalu mengundang perhatian yang luar biasa dari masyarakat dan para pengikutnya, sehingga menciptakan kerumunan yang tidak terkendali di masa pandemi seperti ini.
Tidak hanya mengundang kerumunan massa saja yang menjadi pusat perhatian, tetapi sejumlah kasus pun terus menimpa FPI. Di antaranya adalah perseteruan FPI dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurrachman terkait penurunan baliho di sekitar Petamburan. Yang terbaru, tentu saja adalah penembakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap 6 laskar FPI.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pepatah ini sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi Rizieq Shihab saat ini. Pasalnya sudah kehilangan 6 laskar setia yang mengawal dirinya, Rizieq Shihab juga ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kerumunan yang terjadi pada saat menggelar resepsi pernikahan putrinya di Petamburan.
Hingga saat ini, fakta-fakta atas meninggalnya enam laskar FPI itu masih belum menemukan titik terang. Hal ini diakibatkan adanya saling klaim kronologi dari pihak kepolisian dan pihak FPI.
Ketidakpastian fakta-fakta tersebut mengharuskan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM untuk mengumpulkan puzzle yang tersebar.
Lalu, akankah hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut dapat mengungkap fakta yang sebenarnya dari kasus penembakan yang terjadi di km 50 Tol Cikampek tersebut?
Kronologi Polisi vs Kronologi FPI
Tewasnya 6 Laskar FPI di jalan tol km 50 memunculkan tanda tanya besar. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kronologi yang diungkapkan oleh pihak kepolisian maupun pihak FPI. Ini memunculkan dugaan extra–judicial killing yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam penembakan 6 laskar FPI tersebut.
Extra–judicial killing atau pembunuhan di luar proses hukum menurut Institute Criminal Justice Rerform (ICJR) seolah menunjukkan aparat penegak hukum menggunakan jalan pintas dalam menanggulangi suatu kejahatan.
Penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap terduga pelaku tindak pidana menjadi pola tersendiri yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Menurut Amnesty International Indonesia, extra–judicial killing pernah terjadi terhadap terduga pelaku begal menjelang Asian Games pada 2018 lalu, di mana sebanyak 70 orang ditembak mati oleh aparat kepolisian.
Pembunuhan di luar hukum jelas dilarang keras oleh ketentuan HAM internasional maupun Undang-Undang di Indonesia. Semestinya apabila terdapat orang yang diduga melakukan tindak pidana, mereka berhak untuk diadili melalui mekanisme pengadilan yang adil dan jujur (fair trial).
Dalam menjalankan tugasnya, Kepolisian RI diharuskan untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.
Namun, dalam keadaan mengancam jiwanya, aparat kepolisian yang bertugas diberikan kewenangan diskresi di mana petugas dapat melakukan penembakan balasan untuk melindungi dirinya. Walaupun demikian diskresi harus tetap sesuai aturan hukum yang berlaku. Hal ini demi menjaga kepastian hukum dan menjaga profesionalitas institusi kepolisian.
Kenneth Culp Davis dalam The Encyclopedia of Police Science mendefinisikan diskresi sebagai: “…the capacity of police officer to select form among a number of legal and illegal courses of action or inaction while performing their duties”. Jadi, polisi dapat menentukan tindakan dari sejumlah pilihan tindakan, baik legal maupun illegal.
Diskresi bagi aparat kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi:
- Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
- Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polisi memang di berikan kewenangan untuk menggunakan senjata api, namun kewenangan tersebut harus disertai tanggung jawab yang besar dan diikuti prosedur yang ketat. Hal ini sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang berbunyi:
- Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dilakukan ketika:
- tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
- anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
- anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
- Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
- Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.
Penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum. Dalam hal penembakan yang dialami oleh 6 laskar FPI, perlu dibentuk tim pencari fakta yang bersifat independen dengan melibatkan lembaga negara independen seperti Komnas HAM.
Komnas HAM Sebagai Kunci?
Apabila terdapat dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat negara dalam hal ini TNI maupun polisi, peran Komnas HAM sebagai lembaga negara yang independen dan merupakan ujung tombak dari penegakan hak asasi manusia dinilai sangat penting.
Komnas HAM memiliki peran untuk dapat melakukan proses investigasi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Hal ini sebagaimana yang sudah diatur di dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“ Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.”
Dalam kasus kematian 6 laskar FPI ini, peran Komnas HAM dapat diwujudkan dengan melakukan penyelidikan secara langsung untuk menemukan bukti-bukti terkait ada atau tidaknya dugaan pelanggaran hak asasi manusia di km 50 Tol Cikampek tersebut.
Hasil dari penyelidikan Komnas HAM nantinya dapat dijadikan rujukan oleh pihak kepolisian untuk melakukan proses penegakan hukum apabila terdapat anggotanya yang terbukti melakukan penembakan secara sewenang-wenang.
Hak hidup merupakan non-derogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini senada dengan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Maka dari itu, negara harus menjamin hak atas hidup setiap orang sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, pengungkapan kasus penembakan tersebut dapat menaikkan citra kepolisian di mata masyarakat dan dapat menjadikan polisi lebih profesional lagi.
Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terkait kasus tersebut. Lalu, akankah hasil penyelidikan itu dapat mengungkap kebenaran fakta yang menewaskan enam laskar FPI? Menarik untuk kita tunggu perkembangan kasusnya.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.