Berbagai pihak menilai upaya kudeta Partai Demokrat yang melibatkan pejabat aktif pemerintah adalah cermin dari kemunduran demokrasi. Mungkinkah, itu memiliki irisan dengan tren kemunduran demokrasi dunia yang dimulai pada pertengahan tahun 2000-an?
“Today, there is a broad consensus that democracy is under attack or in retreat in many parts of the world.” – Francis Fukuyama, dalam Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko benar-benar sosok menarik. Betapa tidak, kendati Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat berjasa menempatkannya sebagai Panglima TNI, Ia justru tengah berusaha merebut kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat dari kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Saat ini, Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, Sumatera Utara tengah melengkapi berkas pendaftaran pengurusan di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menariknya, SK Kemenkumham disebut sebagai jawaban atas berbagai desas-desus terkait pelibatan Istana atau partai penguasa di balik kudeta partai mercedes.
Ini misalnya dikemukakan oleh pengamat politik Universitas Nasional Andi Yusran. Menurutnya, jika Kemenkumham menolak pengesahan Partai Demokrat versi KLB, itu akan membantah dugaan pelibatan Istana atau partai penguasa.
Baca Juga: Moeldoko adalah Dalang atau Hanya Wayang?
Di luar perdebatan terkait ada peran Istana atau partai penguasa, terdapat analisis yang penting direfleksikan terkait upaya kudeta tersebut. Dengan fakta Partai Demokrat ingin direbut oleh orang di luar partai dan merupakan pejabat pemerintah, Peneliti Utama Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani melihatnya sebagai indikasi kemunduran demokrasi.
Mengacu pada Francis Fukuyama dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right bahwa saat ini demokrasi global tengah berada di bawah serangan, mungkinkah kemunduran demokrasi seperti yang disinggung Saiful Mujani adalah bagian dari tren kemunduran demokrasi global?
Selain itu, ini juga berdekatan dengan rilis data Economist Intelligence Unit (EIU), di mana skor indeks demokrasi Indonesia pada 2020 hanya menyentuh angka 6,30. Itu adalah skor paling rendah dalam 14 tahun terakhir.
Lemahkan Oposisi?
Pernyataan Saiful Mujani sekiranya sangat beralasan. Dengan fakta saat ini hanya PKS dan Partai Demokrat yang konsisten menjadi oposisi pemerintah, tentu mudah dipersepsikan oleh publik bahwa ada upaya melemahkan suara oposisi.
Tidak hanya soal Moeldoko yang merupakan orang Istana, Ketua Organizing Comitte (OC) KLB Demokrat Deli Serdang, Ilal Ferhard bahkan telah melempar sinyal bahwa pihaknya bersedia masuk ke dalam koalisi pemerintah. “Jika seandainya diberi kepercayaan dan mandat oleh presiden, itu lain urusan. Namanya diberikan kesempatan, amanah, kita silakan kepada Ketum. Bagaimana Ketum menyikapinya,” begitu tandasnya.
Lebih menarik lagi, kasus yang saat ini menimpa Partai Demokrat dapat kita temukan komparasinya dengan manuver Recep Tayyip Erdogan di Turki. Presiden karismatik tersebut disebut menerapkan strategi melemahkan oposisi untuk melanggengkan kekuasaannya.
Menjelang perubahan konstitusi Turki pada tahun 2017, misalnya, saat itu banyak kekuatan oposisi yang melemah. Ini juga sejalan dengan tindakan keras pemerintah setelah terjadinya upaya kudeta pada tahun 2016.
Berbagai upaya dipercaya dilakukan, yang umumnya membuat banyak anggota partai oposisi harus berurusan dengan hukum. Mulai dari penangkapan 11 anggota parlemen Peoples’ Democratic party (HDP) dengan tuduhan terorisme, hingga kader Republican People’s Party (CHP) yang mengaku mendapat intimidasi karena bersikap keras pada proses voting.
Hasilnya, parlemen meloloskan rencana referendum konstitusi Turki. Itu membuat Erdogan dapat maju sebagai Presiden Turki untuk periode ketiga.
Baca juga: Moledoko dan Misi Pemerintah ala Turki?
Ngomong-ngomong soal presiden tiga periode, saat ini juga tengah ramai kembali soal wacana amendemen UUD 1945 agar presiden dapat terpilih sebanyak tiga periode. Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari juga telah menggunakan kaos “Jokowi-Prabowo 2024”. Menarik bukan?
Fenomena Pendulum?
Well, kita kembali ke pertanyaan inti dalam tulisan ini. Bertolak dari indikasi adanya pelemahan oposisi, apakah ini merupakan indikasi kemunduran demokrasi di Indonesia dan bahkan bagian dari tren kemunduran demokrasi global?
Untuk menjawabnya, sebelumnya perlu diperjelas pertanyaan tersebut. Apakah maksudnya kemunduran demokrasi dalam artian seperti pendulum, yang terkadang naik, dan terkadang turun? Atau kemunduran demokrasi dalam artian sistem politik ini akan ditinggalkan?
Bertolak pada sejarah perjalanan panjang demokrasi yang dipetakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, ini kemungkinan hanyalah fenomena pendulum.
Menariknya, dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1991 tersebut, di mana saat itu tengah terjadi tren peningkatan demokrasi global, Huntington justru memprediksi kemungkinan gelombang balik demokratisasi ketiga.
Dalam bukunya, Huntington memetakan gelombang demokratisasi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama terjadi sejak tahun 1828 – 1926. Gelombang kedua dan ketiga terjadi pada tahun 1943 – 1962 dan 1974 – (unknown). Huntington melihat terdapat gelombang balik setelah terjadinya gelombang demokratisasi. Gelombang balik pertama terjadi pada tahun 1922 – 1942, dan gelombang balik kedua pada tahun 1958 – 1975.
Dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama tampaknya memberikan afirmasi terhadap prediksi gelombang balik ketiga Huntington. Dalam temuan Fukuyama, gelombang demokrasi global terjadi pada pertengahan tahun 1970-an. Pada tahun 1970, hanya ada sekitar 35 negara demokrasi. Pada awal tahun 2000-an, jumlahnya meningkat menjadi hampir 120 negara.
Namun, sejak pertengahan tahun 2000-an, tren demokratisasi telah berbalik dan negara demokrasi jumlahnya telah menurun. Lalu, ada pula faktor kemajuan Tiongkok yang disebut membuat negara-negara otoriter tampil lebih percaya diri. Melihat momentum waktunya, tidak berlebihan sekiranya untuk mengatakan ini persis seperti pendulum.
Dalam tulisannya Silvio Berlusconi and the Decline of Western Civilization, Fukuyama juga menyinggung kemunduran demokrasi Barat terjadi karena terpilihnya pemimpin demagog seperti Donald Trump di AS, Silvio Berlusconi di Italia, dan Erdogan di Turki.
Lantas, jika ini hanyalah fenomena pendulum, bagaimana demokrasi dapat kembali ke puncak seperti sebelumnya? Fukuyama memberikan jawaban tersirat dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right.
Baca Juga: Pemerintahan Jokowi Alami “Pembusukan” Demokrasi?
Menurutnya, liberalisme yang saat ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari demokrasi tengah menghadapi ketidakpuasan, yang mungkin telah menciptakan persepsi untuk meninggalkan demokrasi. Akan tetapi, Fukuyama sulit membayangkan terdapat sistem politik lain yang dapat menerima keberagaman dan memberikan hak politik yang setara selain demokrasi – tepatnya demokrasi liberal.
Singkatnya, masyarakat dunia akan kembali ke demokrasi apabila mereka merasakan kebebasannya telah terlalu terusik. Konteks itu dapat kita lihat di Myanmar saat ini. Setelah militer melakukan kudeta, gelombang demonstrasi terus terjadi.
Lalu, AS yang saat ini dipimpin oleh Joe Biden tampaknya akan kembali menjadi penjaga demokrasi dunia. Ini jelas menunjukkan resistensi terhadap tren kemunduran demokrasi.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa upaya kudeta Partai Demokrat adalah bagian dari dinamika demokrasi yang memang selalu berada di atas gelombang. Terkadang di atas, terkadang juga di bawah.
Selain itu, jika mengacu pada fenomena dualisme parpol di Indonesia, kasus yang menimpa Partai Demokrat sebenarnya adalah dinamika biasa. Seperti yang disebutkan oleh Jusuf Kalla (JK) setelah dikunjungi AHY, kudeta ini bermula dari masalah internal.
Artinya? Jika nantinya Partai Demokrat benar-benar berhasil direbut oleh Moeldoko, itu menunjukkan kepemimpinan AHY tidak mencukupi dalam mengonsolidasi internal partai. (R53)