Beberapa hari lagi, kita akan memperingati hari spesial, yaitu Hari Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia. Biasanya dalam perayaan-perayaan hari spesial kita sering menikmati suguhan nasi tumpeng.
Ya, nasi tumpeng sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Tumpeng adalah sajian nasi kuning berbentuk kerucut dengan berbagai macam lauk seperti tempe orek, telur balado, ayam goreng, suwiran daging, dan lain-lain.
Sebagai sajian kuliner dengan nilai kearifan lokal, nasi tumpeng memiliki sejarah dan filosofi tersendiri.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa nasi tumpeng pada awalnya merupakan tradisi untuk memuliakan gunung-gunung yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya para Hyang atau arwah leluhur.
Pada saat penyebaran agama Hindu mulai masif di Pulau Jawa, bentuk nasi tumpeng dibuat mengerucut seperti Gunung Mahameru yang dianggap sebagai tempat suci bersemayamnya para dewa dan dewi.
Setelah agama Islam masuk ke pulau Jawa, makna pembuatan nasi tumpeng pun bergeser, berubah menjadi perwujudan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nasi tumpeng sendiri umumnya disajikan selepas pengajian lalu dibagikan dan dimakan bersama-sama.
Selain mengandung sejarah, nasi tumpeng juga memiliki filosofi yang erat kaitannya dengan nilai toleransi, keikhlasan, kebesaran jiwa, dan kekaguman atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Aneka lauk di sekeliling nasi tumpeng melambangkan isi alam dan ekosistem kehidupan.
Biasanya, jumlah lauk nasi tumpeng adalah sebanyak tujuh macam. Dalam Bahasa Jawa, tujuh berarti “pitu” yang merupakan akronim dari “pitulungan” atau pertolongan.
Sementara, bentuk nasi tumpeng yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Sang Pencipta. Warna nasi tumpeng yang didominasi oleh warna kuning, mirip dengan warna emas, memiliki makna megah, kekayaan, dan moral yang luhur.
Demikianlah sejarah dan filosofi nasi tumpeng. Semoga kita bisa memaknai–nya dengan baik. (A49)