socioloop.co
Angkringan adalah salah satu ikon khas budaya Jawa, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Solo. Saat malam hari, angkringan yang biasanya berbentuk tenda kecil dengan tikar dan kursi panjang kayu bisa kita temui hampir di setiap sudut kota.
Sebagai tempat yang menyajikan berbagai makanan khas seperti nasi kucing, sate, dan gorengan, serta minuman seperti kopi dan teh, angkringan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat setempat. Sebenarnya, sulit untuk menentukan kapan dan dari mana tepatnya angkringan pertama kali muncul.
Namun, menurut sejarawan dan tokoh budaya setempat, angkringan muncul sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat urban yang membutuhkan makanan cepat saji yang murah dan bisa dinikmati kapan saja.
Pada masa kolonial, banyak penduduk desa yang ber migrasi ke kota mencari pekerjaan. Mereka membutuhkan makanan murah yang bisa memberi energi setelah berhari-hari bekerja. Dari sinilah angkringan mulai bermunculan sebagai solusi.
Kata “angkringan” berasal dari kata “angkring” dalam bahasa Jawa, yang berarti duduk santai atau bersandar. Ini mencerminkan suasana angkringan itu sendiri, yaitu tempat untuk duduk bersantai sambil menikmati hidangan dan berbincang dengan teman atau keluarga.
Di balik kesederhanaan angkringan, tersembunyi filosofi yang mendalam tentang kehidupan masyarakat Jawa, diantaranya:
Kesederhanaan
Dari segi penampilan dan menu yang disajikan, angkringan sangat sederhana. Ini mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak harus datang dari kemewahan. Kadang, sebuah cangkir teh panas dan gorengan di malam hari sudah cukup untuk membuat hati kita senang.
Keterbukaan
Di angkringan, semua lapisan masyarakat bisa datang dan duduk bersama tanpa memandang status sosial. Ini adalah cerminan dari prinsip egalitarian masyarakat Jawa, di mana semua orang dianggap sama dan saling menghormati.
Kebersamaan
Meskipun banyak pengunjung datang sendiri, mereka sering berakhir dengan berbincang dengan pengunjung lain. Ini menunjukkan bahwa angkringan adalah tempat di mana silaturahmi dibina dan persaudaraan diperkuat.
Ketahanan
Banyak penjaja angkringan yang mulai berjualan dari sore hari hingga larut malam, meskipun cuaca tidak mendukung. Ini mencerminkan semangat ketahanan dan kerja keras masyarakat Jawa dalam menghadapi tantangan hidup.
Sebagai penutup, angkringan bukan sekadar tempat makan. Ia adalah representasi dari budaya, sejarah, dan filosofi masyarakat Jawa yang mendalam.
Dalam kesederhanaannya, angkringan mengajarkan kita tentang arti kebersamaan, kesetaraan, dan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana dalam kehidupan.
Sebagai bagian dari warisan budaya, kita harus menjaga dan melestarikan keberadaan angkringan agar generasi mendatang juga dapat menikmati kehangatan dan kebersamaan di sana. (A49)