Foto pre-wedding telah menjadi tren yang semakin populer di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pasangan yang akan menikah menghabiskan waktu, tenaga, dan uang untuk mengabadikan momen-momen indah mereka sebelum pernikahan melalui serangkaian foto yang diambil di berbagai lokasi menarik.
Pre-wedding photoshoot sering kali memerlukan anggaran tambahan yang signifikan. Pasangan harus menyewa fotografer profesional, membeli atau menyewa gaun dan jas, serta membiayai perjalanan dan akomodasi jika lokasi pemotretan berada di luar kota.
Dalam upaya untuk menciptakan foto-foto yang sempurna, banyak pasangan terjebak dalam budaya konsumsi yang mahal dan berisiko merusak stabilitas keuangan mereka.
Pre-wedding photoshoot sering kali memerlukan anggaran tambahan yang signifikan. Pasangan harus menyewa fotografer profesional, membeli atau menyewa gaun dan jas, serta membiayai perjalanan dan akomodasi jika lokasi pemotretan berada di luar kota.
Dalam upaya untuk menciptakan foto-foto yang sempurna, banyak pasangan terjebak dalam budaya konsumsi yang mahal dan berisiko merusak stabilitas keuangan mereka.
Dengan media sosial yang semakin dominan, pasangan sering merasa tertekan untuk memamerkan foto pre-wedding yang sempurna. Hal ini bisa meningkatkan tingkat kompetisi dan perbandingan sosial, yang pada gilirannya dapat merusak hubungan dan citra diri.
Banyak pasangan yang terinspirasi oleh foto pre-wedding selebriti atau influencer yang mereka lihat di media sosial. Mereka kemudian cenderung meniru gaya ini tanpa mempertimbangkan kesesuaian atau keunikan mereka sendiri.
Ini dapat mengaburkan esensi pernikahan yang seharusnya merayakan cinta dan komitmen pasangan, bukan hanya estetika visual.
Dalam upaya untuk mendapatkan foto-foto yang sempurna, pasangan kadang-kadang terlalu fokus pada pemotretan pre-wedding, sehingga mengabaikan persiapan pernikahan yang sebenarnya.
Hal ini dapat mengganggu proses perencanaan pernikahan dan menghasilkan pernikahan yang kurang terorganisir.
Proses foto pre-wedding sering menghasilkan pemborosan sumber daya alam dan limbah. Ini termasuk pemakaian bahan kimia dalam pengeditan foto, penggunaan barang-barang sekali pakai, dan jejak karbon dari perjalanan ke lokasi pemotretan yang jauh.
Meskipun ada dampak buruk yang dapat terjadi akibat fenomena foto pre-wedding di Indonesia, hal ini tidak berarti bahwa pasangan yang ingin mengabadikan momen-momen indah mereka harus sepenuhnya menghindarinya.
Alih-alih, penting untuk mempertimbangkan secara bijaksana dan merencanakan dengan hati-hati agar tren ini tidak mengambil alih fokus utama pernikahan, yaitu komitmen dan perayaan cinta antara dua orang yang akan menikah.
Dengan pendekatan yang seimbang, pasangan dapat menghindari dampak buruk dan menikmati proses ini sebagai bagian dari perjalanan menuju pernikahan yang berkesan. (S83)