Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) kini perlahan mulai ditinggalkan di kawasan ASEAN. Ini terjadi karena negara-negara ASEAN sudah menyepakati untuk menggunakan mata uang lokal untuk melakukan transaksi.
Kebijakan itu telah ditandatangani oleh Gubernur Bank Sentral Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Thailand terkait dedolarisasi di ASEAN.
Fenomena ini mencerminkan perubahan dinamika ekonomi global dan munculnya tantangan baru terhadap supremasi dolar.
Salah satu alasan utama di balik pergeseran ini adalah semakin kuatnya upaya beberapa negara untuk mendiversifikasi cadangan mata uang mereka. Ketergantungan yang berlebihan pada dolar membuat negara-negara rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan kebijakan moneter AS.
Selain itu, hubungan perdagangan yang semakin erat antara beberapa negara juga memainkan peran penting dalam mengurangi ketergantungan pada dolar.
Kesepakatan perdagangan bilateral atau regional seringkali mengarah pada penggunaan mata uang lokal dalam transaksi, menghindari kebutuhan untuk menukarkan mata uang ke dolar AS. Hal ini telah membantu mengurangi biaya transaksi dan risiko fluktuasi nilai tukar.
Perubahan geopolitik juga memainkan peran dalam pergeseran ini. Tensi perdagangan antara AS dan beberapa mitra utamanya telah mendorong negara-negara untuk mencari alternatif transaksi yang lebih stabil dan bebas dari tekanan politik.
Sanksi ekonomi yang diterapkan oleh AS juga mendorong negara-negara untuk mencari cara menghindari penggunaan dolar dalam transaksi.
Namun, meskipun ada pergeseran menuju diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional, dolar masih memiliki keunggulan yang signifikan.
Likuiditas yang tinggi, stabilitas ekonomi AS, dan peran dolar sebagai mata uang cadangan global memberinya keunggulan yang sulit ditandingi dalam waktu singkat. (S83)