Penetrasi media sosial membawa babak baru bagi studi pemasaran, termasuk pemasaran politik (political marketing). Tuntutan media sosial atas interaksi real-time membuat politisi seolah berubah menjadi selebriti. Politisi dituntut untuk berpenampilan menarik, menghibur, dekat dengan masyarakat, dan sekaligus berkinerja baik.
Mengutip penjelasan Pramod K. Nayar dalam bukunya Seeing Stars: Spectacle, Society and Celebrity Culture, kita tengah memasuki era budaya selebriti (culture of celebrity). Politisi, khususnya mereka yang mengincar efek elektoral harus menjadi seberbeda mungkin di tengah masifnya arus informasi. Persis seperti cara kerja selebriti.
Poin ini membuat kita memahami mengapa politisi-politisi atraktif seperti Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, dan Erick Thohir menjadi primadona publik. Keunikan dan tingginya tingkat interaksi menempatkan nama mereka di survei-survei kandidat potensial untuk 2024.
Kendati demikian, sebagaimana terlihat, tidak semua kandidat potensial menunjukkan atraksi-atraksi menarik di panggung digital. Salah satunya adalah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Suka atau tidak, gestur yang masih pasif berkonsekuensi pada rendahnya elektabilitas Airlangga di sejumlah survei.
Lantas, jika benar-benar serius ingin maju di Pilpres 2024, mengapa Airlangga justru terlihat senyap di panggung publik dan panggung digital?
Baca selengkapnya artikel “Airlangga Hartarto Sedang Disembunyikan?” di website PinterPolitik.com