Site icon PinterPolitik.com

Zulkifli Si ‘Raja Hutan’

Zulkifli Hasan (Foto: MPR RI)

Data Greenomics Indonesia mengungkap bahwa Zulkifli Hasan jadi juara pengobral izin hutan.


PinterPolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]mien Rais begitu geram. Ia menyayangkan kondisi kepemilikan lahan yang terjadi di negeri ini. Mantan Ketua MPR itu memberi perhatian pada lahan yang begitu luas di Indonesia, namun hanya dimiliki segelintir orang saja.

Pendiri PAN tersebut menyoroti Pemerintahan Jokowi yang membiarkan ketimpangan lahan itu terjadi. Menurutnya, Pemerintah itu membiarkan begitu saja 74 persen tanah dikuasai oleh kelompok tertentu. Secara khusus, ia juga mengritik program bagi-bagi tanah Jokowi sebagai pengibulan.

Jika melihat sejumlah data, keadaan kepemilikan tanah di Indonesia memang mengkhawatirkan. Laju pertumbuhan lahan milik korporasi tergolong lebih pesat ketimbang dengan milik rakyat. Pemerintah seolah tidak berdaya untuk menekan laju pertumbuhan tersebut.

Beberapa orang langsung ingin mencari siapa pihak yang bertanggung jawab atas kesenjangan tersebut. Amien memang menyebut bahwa pemerintah Jokowi berperan dalam hal itu dengan melakukan pembiaran. Akan tetapi, benarkah pernyataan mantan Ketua Umum PAN tersebut?

Lahan yang Kian Timpang

Pemerintah di era Jokowi memang menghadapi kondisi yang cukup merepotkan. Kepemilikan lahan di negeri ini begitu timpang. Oleh karena itu, Jokowi memberikan perhatian khusus mengenai kondisi ini karena dianggap sebagai tantangan pemerataan ekonomi.

Jika dilihat dari tahun ke tahun, indeks rasio gini untuk distribusi lahan di Indonesia memang tidak terlalu baik. Dalam empat dekade, indeks rasio gini tersebut berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72. Berdasarkan hal tersebut, ketimpangan berada dalam kategori sedang dan tinggi.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS, ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Jika merujuk pada hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa satu persen orang Indonesia menguasai lahan sebanyak 68 persen.

Hal senada terlihat dalam data yang dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada September 2017. Berdasarkan data KPA, dari seluruh wilayah daratan di Indonesia, sebanyak 71 persen dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16 persen dipegang korporasi perkebunan skala besar, tujuh persen dikuasai para konglomerat, dan sisanya baru dipegang oleh rakyat kebanyakan.

Secara spesifik, ketimpangan soal lahan ini akan terlihat dari penguasaan perkebunan sawit di Indonesia. Merujuk pada laporan Transformasi untuk Keadilan Indonesia, sebanyak 3,29 juta hektare lahan perkebunan sawit di Indonesia hanya dikuasai oleh 10 perusahaan konglomerasi besar.

Di atas kertas, mengalihkan kepemilikan tanah membutuhkan izin khusus dari instansi pemerintahan. Lalu siapa yang paling bertanggung jawab dalam memberikan lahan kepada kelompok bisnis besar ini?

Zulkifli Obral Izin Hutan

Data mencatat bahwa dalam kurun waktu dari tahun 2004 hingga tahun 2017, jutaan lahan hutan di Indonesia telah berubah menjadi perkebunan. Data yang dihimpun oleh Greenomics Indonesia mengungkapkan fakta yang mencengangkan: kawasan hutan yang diubah jadi perkebunan mencapai 2,4 juta hektare.

Jika dibandingkan, luas lahan hutan yang berubah tersebut sama dengan 36 kali lipat luas DKI Jakarta. Sebuah gambaran yang cukup fantastis untuk melihat laju perubahan lahan dalam waktu 13 tahun.

Menurut Greenomics Indonesia, sebagian besar izin perkebunan yang terbit tersebut adalah untuk perkebunan sawit. Mereka menyebut bahwa lebih dari 90 persen izin diterbitkan kepada para pelaku bisnis untuk melakukan ekspansi lahan sawit mereka.

Dari total luasan hutan yang berubah tersebut, sebagian besar izinnya diterbitkan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2009-2014, yaitu Zulkifli Hasan. Greenomics Indonesia bahkan menyebut Ketua Umum PAN ini memecahkan rekor untuk pemberian izin hutan jadi perkebunan.

Zulkifli jadi juara pengobral izin hutan, karena ia menerbitkan izin dengan total luas 1,64 juta hektar kepada pelaku usaha. Jika dibandingkan dengan luas provinsi DKI Jakarta, angka ini hampir 25 kali lipat luas provinsi tersebut.

Kontribusi Zulkifli dalam pemberian lahan kepada kelompok bisnis tergolong cukup besar. Jika ditotal, ia menyumbangkan 70 persen dari keseluruhan izin perubahan lahan hutan menjadi kawasan perkebunan.

Beberapa orang bahkan sampai menuding ada praktik suap dalam langkah Zulkifli menerbitkan alih fungsi lahan tersebut. Ada koalisi masyarakat sipil yang melaporkan Ketua MPR tersebut ke KPK karena dianggap terlibat dalam suap alih fungsi lahan di Riau.

Selain untuk perkebunan, Zulkifli juga tergolong rajin untuk izin pinjam tambang. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kemenhut, pada tahun 2010 hingga 2012, Zulkifli memberikan izin tambang pada lahan seluas 900 hektare.

Zulkifli juga disebut-sebut kerap memberikan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada perusahaan. Jelang lengser misalnya, Ketua Umum PAN tersebut masih sempat memberikan HPH kepada perusahaan di Kepulauan Aru.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, predikat ‘Raja Hutan’ seolah layak disematkan kepada Ketua Umum PAN tersebut. Sebagai pemberi izin, ia berjasa besar dalam memberikan izin alih fungsi lahan kepada kelompok-kelompok bisnis sehingga kesenjangan kepemilikan lahan mengalami pertumbuhan.

Kondisi tersebut adalah hal yang ironis. Amien Rais mengritik Jokowi karena tidak berdaya mencegah ketimpangan kepemilikan lahan di tanah air. Akan tetapi, kenyataannya pemberian lahan kepada korporasi justru dilakukan oleh kader dan besannya sendiri.

Amien Rais sepertinya tidak mengikuti saran para filsuf seperti Bertrand Russell atau Rene Descartes. Para filsuf ini menyarankan untuk mengetahui terlebih dahulu diri sendiri, sehingga aspek introspeksi adalah hal yang sangat penting. Amien tampak luput menilai diri sendiri dan lingkungan terdekatnya, sebelum melontarkan kritik soal ketimpangan kepemilikan lahan.

Masih Sulit Membendung

Lalu bagaimana dengan kondisi yang terjadi di era Jokowi? Di bawah kendali Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar, pemberian izin memang tidak benar-benar berhenti. Akan tetapi jika dilihat dari angka, luas hutan yang diubah tidak sebesar era Zulkifli.

Serupa dengan era Zulkifli, di era Siti Nurbaya sebagian besar alih fungsi hutan ini terjadi untuk perkebunan sawit. Meski begitu, pemerintahan Jokowi mempertimbangkan untuk menahan laju ini dengan menerbitkan moratorium lahan sawit. Instruksi presiden (Inpres) moratorium itu sendiri hingga kini masih belum terbit.

Selain itu, Jokowi juga pernah mengungkapkan hak pengelolaan hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan tak hanya diberikan kepada korporasi saja. Ia menyatakan bahwa ia akan memberikan pengelolaan hutan kepada rakyat.

Saat ini, pemerintah menyiapkan 12,7 juta hektare lahan yang telah disiapkan pemerintah untuk didistribusikan hak pengelolaannya. Disebutkan bahwa pemerintah akan hak kelola kepada kepada koperasi, desa, dan rakyat.

Meski begitu, langkah pemerintah untuk menurunkan ketimpangan lahan memang masih belum maksimal. Rilis data masih menunjukkan bahwa ketimpangan masih belum menurun signifikan. Bisa saja pemerintah masih belum cukup agresif untuk menurunkan ketimpangan ini. Apalagi, praktik pemberian izin perkebunan sawit di era Siti Nurbaya masih terjadi.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintahan Jokowi memang masih belum benar-benar bisa menekan ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan Zulkifli Hasan, kontribusi pada ketimpangan tersebut tergolong masih jauh.

Jika sudah begitu, kritik Amien idealnya tidak diarahkan sepenuhnya kepada Jokowi. Kritik itu  idealnya dialamatkan pada besannya sendiri, Zulkifli Hasan. (H33)

Exit mobile version