Site icon PinterPolitik.com

Zulhas Gak Butuh Menteri Jokowi?

Zulhas Gak Butuh Menteri Jokowi?

Zulhas bertemu Jokowi (Foto: genpi.co)

Beredar isu reshuffle kabinet pada akhir Maret 2022, yang dikaitkan dengan akan masuknya PAN melengkapi daftar partai koalisi dalam kabinet Jokowi. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) selalu menepis isu tersebut, meski sering bertemu dengan Jokowi. Lantas, apakah Zulhas tidak butuh kursi menteri sebagai reward dari koalisi?


PinterPolitik.com

Berita gembira mungkin akan menghampiri Partai Amanat Nasional (PAN) pada akhir Maret 2022. Beredar kabar perombakan (reshuffle) kabinet akan memasukkan PAN dalam deretan daftar nama partai politik kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi).

PAN telah bergabung dengan partai koalisi sejak Agustus 2021, namun sampai hari ini belum mendapatkan kursi menteri. Zulkifli Hasan (Zulhas) sebagai Ketua Umum PAN, pernah bertemu dengan Presiden Jokowi pada akhir Agustus tahun lalu dan menyatakan tak ada pembahasan soal tawaran menteri atau reshuffle kabinet saat itu.

Meski demikian, isu reshuffle kali ini disebut berbeda. Pengamat menilai ada dorongan politik kuat bagi Jokowi untuk melakukan reshuffle dalam upaya memasukkan PAN dalam kabinet. Apalagi, selama ini reshuffle kerap dilakukan berdasarkan pertimbangan politik. PAN yang berada di koalisi partai pendukung pemerintah belum mendapat jatah menteri ataupun wakil menteri (wamen).

Ujang Komaruddin, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), mengatakan PAN akan sangat diuntungkan jika benar bakal ada reshuffle kabinet pada akhir bulan ini. Sebab, selama ini kabar PAN akan masuk koalisi hanya sekadar isu, tanpa ada kepastian yang jelas. Jika nantinya dapat jatah satu menteri dan satu wamen, maka PAN disebut sangat beruntung.

Bawono Kumoro, peneliti Indikator Politik Indonesia, mengatakan, sebagai anggota koalisi, tentu saja PAN mengharapkan memperoleh posisi di kabinet. Menurutnya, seolah ada dorongan politik kuat agar Presiden segera melakukan reshuffle untuk mengakomodasi PAN.

Menanggapi politik akomodasi Jokowi, PAN menyatakan siap dengan senang hati jika kadernya diminta bergabung ke kabinet. Seolah menyambut gembira kabar tersebut, PAN percaya dengan adanya mereka di kabinet akan memperkokoh soliditas koalisi yang telah dibangun.

Saleh Partaonan Daulay, Ketua DPP PAN, mengatakan, jika diminta bergabung ke kabinet, dengan senang hati PAN akan membantu. Disebutnya, belum masuk saja PAN telah banyak membantu, apalagi jika PAN ikut di dalam. Lanjutnya, perubahan akan lebih cepat dari dalam dibandingkan dari luar kekuasaan.

Jika benar PAN akan masuk kabinet, maka PAN akhirnya mendapatkan hasil dari ghanimah koalisi yang sejak 2021 telah dijalin bersama Jokowi. Tapi, PAN hanya mempunyai waktu kurang lebih dua tahun menikmati hasil dari ghanimah politik tersebut.

Lantas, seperti apa memaknai kondisi PAN yang akan mendapatkan bagian dari ghanimah politik hasil koalisi?

Meraba “Ghanimah” Politik PAN

Harta rampasan perang dalam Islam disebut dengan ghanimah. Secara harfiah, ghanimah berarti sesuatu yang diperoleh seseorang melalui suatu usaha. Menurut istilah, ghanimah berarti harta yang diambil dari hasil sebuah perang.

Philip Khuri Hitti dalam buku History of The Arabs, menceritakan konsepsi ghanimah dalam perang yang merupakan tradisi Arab dan Islam yang secara legalistik bersifat politis dan legal.  Dan dilihat dari sejarah perang, kebiasaan ini telah dikenal sejak zaman sebelum Islam. Hasil peperangan yang diperoleh ini mereka bagi-bagikan kepada pasukan yang ikut perang dengan bagian terbesar untuk pemimpin.

Dalam konteks politik, perumpamaan ghanimah politik dapat diartikan sebagai pembagian jatah dari hasil sebuah pertarungan politik. Ibarat sebuah perang, dalam kontestasi politik, terdapat pihak yang menang, dan juga ada pihak yang kalah.

Akhirnya, pihak yang menang akan mendapatkan hasil dari apa yang diperebutkan dalam kompetisi. Hasil ini yang kemudian harus dibagikan kepada tiap orang atau kelompok yang telah bersama-sama bertarung dalam sebuah kompetisi.

Problemnya adalah PAN bukan merupakan partai pengusung Jokowi saat “berperang” pada Pilpres 2019. Artinya, jika mendapatkan ghanimah, meski telah bergabung dalam koalisi akan membuat ketidakadilan terhadap partai politik pengusung koalisi lain, yang sejak dari awal mengusung Jokowi.

Ini misalnya dilihat oleh pengamat politik Jamiluddin Ritonga. Menurutnya, dengan masuknya PAN dalam kabinet, dikhawatirkan dapat menggoyahkan partai koalisi pemerintah. Alasannya dikarenakan PAN yang tidak berkeringat dinilai tak adil masuk dalam kabinet.

Ihwal ini dapat dilihat ketika Gerindra masuk kabinet dan diberi dua kursi menteri. Saat itu, berbagai partai koalisi disebut tidak senang. Gestur kentara ketidaksukaan bahkan ditunjukkan oleh Partai NasDem saat itu.

Joseph Lapalombara dan Myron Weiner dalam bukunya Political Parties and Political Development, mendefinisikan partai saat ini telah pragmatis dalam mengambil setiap  keputusan. Partai politik hanya sekadar kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan, tidak lebih dari itu.

PAN akan terkesan sebagai partai politik yang pragmatis dalam mengambil sikap dan komitmen politik. Hal ini mungkin wajar dikarenakan pragmatis merupakan ideologi yang dianut elite politik kita. Ini misalnya diungkap oleh Dian Dwi Jayanto dalam tulisannya Pragmatisme Sebagai Ideologi Partai Politik.

Selain itu, sebenarnya ada hal yang lebih menarik dibandingkan jabatan menteri atau masuk dalam kabinet. Jika kita melihat data hasil dua pemilu ke belakang, eksistensi PAN merosot dari segi posisi.

Pada Pemilu 2014, PAN meraih 9.481.621 suara (7,6 persen) atau setara 48 kursi DPR RI (8,8 persen). Sementara pada Pemilu 2019, PAN meraih 9.572.623 suara (6,84 persen) atau setara 44 kursi DPR RI (7,65 persen). Dari segi perolehan suara, PAN mengalami sedikit kenaikan. Namun dari segi persentasenya, PAN cenderung turun. Pada Pemilu 2014 berada di peringkat ke-6. Pada Pemilu 2019 turun menjadi peringkat ke-8.

Data ini menarik untuk dilihat karena sebagai partai Islam, PAN justru tidak mendapatkan berkah politik identitas pada Pemilu 2019. Kondisi ini jauh berbeda dengan PKS yang mendapatkan signifikansi suara. Pada Pemilu 2014 8.480.204 suara. Pada Pemilu 2019 mendapatkan 11.493.663 suara.

Dengan cepat kita dapat menarik kesimpulan bahwa PAN tidak mendapatkan manfaatkan besar jika berada pada oposisi pemerintah. Lantas, jika simpulan ini tepat, apakah masuk kabinet merupakan strategi untuk menghadapi Pemilu 2024?

Motif Koalisi PAN Sebenarnya?

Kondisi politik Indonesia dewasa ini seringkali justru menggunakan koalisi pragmatis. Entah itu untuk mewujudkan suatu kebijakan atau program, mendapatkan kekuasaan pada eksekutif, hingga finansial partai.

Terbentuknya koalisi rupanya tidak didorong hanya satu motif saja, melainkan oleh multi-motif. Secara garis besar motif dalam koalisi meliputi mencari efisiensi (seek efficiency), pemegang kontrol (seek control), dan  mengamankan diri (seek security).

Sejauh ini, penerjemahan orang terhadap koalisi hanya untuk mendapatkan seek control, yaitu bisa berupa jatah menteri di kabinet. Tapi rupanya terdapat kalkulasi lain yang dapat dilihat dari upaya partai politik untuk bergabung dengan koalisi.

Dua hal lainya, yaitu seek efficiency dan seek security sering luput dari pengamatan politik publik. Padahal, partai politik juga mempertimbangkan dua hal ini dalam upaya untuk menyelamatkan eksistensinya dalam kontestasi politik.

Pemain kunci dalam permainan koalisi adalah pemain dominan, yaitu satu partai politik yang termasuk dalam pemenangan koalisi daripada partai lain. Dekat dengan pemain kunci tersebut, akan membuat partai lain yang lebih rendah akan mendapatkan dua keuntungan di atas.

Dalam konteks politik Indonesia, pada akhirnya partai politik akan memilih untuk bergabung dengan koalisi disebabkan tiga motif koalisi yang menguntungkan partai politik. Dan jika kita melihat kecenderungan koalisi yang terjadi pada partai oposisi di Indonesia, selalu tidak mempunyai soliditas koalisi dan akhirnya melemah.

Andrew Heywood dalam bukunya Political Ideologies An Introduction, mengatakan strategi partai yang kalah perang akan membuka ruang untuk bergabung koalisi disebabkan ikatan loyalitas koalisi lebih kuat dibandingkan oposisi. Dalam sejarah politik terlihat ikatan oposisi rentan retak dan akhirnya bubar.

Dengan kata lain, terdapat motif lain, selain pragmatisme yang dapat dilihat dari masuknya PAN dalam koalisi. Alih-alih PAN hanya ingin mendapatkan jatah menteri yang merupakan residu atau sisa-sisa dari politik akomodasi pemerintah, PAN bisa diinterpretasi mempunyai kepentingan strategis, yaitu agar eksistensinya tetap ada dalam percaturan politik di Indonesia.

Terkait motif menjaga eksistensi, sekiranya kita paham ke mana arahnya. (I76)


Exit mobile version