Ketua Umum (Ketum) PAN yang juga Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menjadi sorotan setelah mendampingi sang anak berkampanye dengan membagikan minyak goreng. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari manuver Zulhas itu? Akankah aksinya berdampak pada karier di pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?
Riuh kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng tampaknya berhasil diredam secara perlahan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas). Di awal masa tugasnya, Zulhas diwarisi persoalan pelik ketika isu minyak goreng diiringi kasus rasuah yang menjerat satu aktor di kementeriannya beserta beberapa pihak ketiga seperti Lin Che Wei.
Jika menengok pemberitaan, ketersediaan dan harga produk turunan kelapa sawit itu sekilas terlihat kian bersahabat, paling tidak dari kondisi sebelumnya. Akan tetapi, komoditas yang sama baru-baru ini membuat Zulhas dirundung sentimen minor.
Ya, Zulhas mendapat sorotan tajam di linimasa setelah videonya kala membagikan minyak goreng dalam sebuah kegiatan di Provinsi Lampung pada akhir pekan lalu tersebar luas.
Itu dikarenakan, pada agenda bertajuk “PANsar murah” Zulhas tampak menjadikan minyak goreng sebagai alat penarik suara bagi sang putri, Futri Zulya Savitri, agar dipilih dalam pemilihan legislatif (pileg) mendatang.
Salah satu reaksi keras datang dari Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia’s Democratic Policy Satyo Purwanto yang menilai Zulhas menyalahgunakan wewenangnya secara terbuka untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, Satyo menyatakan bahwa Zulhas seolah mengulangi sebuah preseden klasik saat Ketua Umum (Ketum) PAN itu menjadi menteri yang kesekian kalinya terlihat memanfaatkan posisi demi hajat personal maupun keluarga.
Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu juga turut berkomentar. Melalui cuitan di akun Twitter pribadinya, Didu mengatakan bahwa apa yang dilakukan Zulhas telah menginjak-injak etika politik sekaligus etika pejabat publik.
Internal PAN lantas menampik berbagai tudingan miring yang datang. Ketua DPW PAN Lampung Irham Jafar Lan Putra, misalnya, mengklarifikasi bahwa apa yang dilakukan Zulhas adalah dalam kapasitasnya sebagai Ketum PAN, bukan sebagai Mendag. Menurut Irham, tidak ada yang salah dari kegiatan itu.
Juru Bicara (Jubir) PAN Viva Yoga Mauladi juga menegaskan kembali apa yang dikatakan Irham. Dia menambahkan, minyak goreng yang dibagikan gratis itu dibeli dengan uang pribadi dan Futri hanya ingin membantu warga di daerah pemilihan (dapil).
Jika ditelisik, reaksi minor semestinya telah dipahami Zulhas dan elite PAN sebelum aksi tersebut dilakukan. Terlebih, sensitivitas publik terhadap isu minyak goreng tentu telah menjadi pengetahuan bersama.
Lantas, mengapa Zulhas tetap melakukan manuver itu? Lalu, apakah sorotan tajam itu akan mengancam posisinya sebagai Mendag?
Sendok Perak ala Zulhas?
Relasi kekeluargaan dalam dimensi politik agaknya tepat untuk menilai secara komprehensif manuver Zulhas di Lampung.
Beberapa waktu ke belakang, konfigurasi politik tanah air kerap diramaikan dengan keberadaan aktor-aktor yang memiliki privilese lebih sebagai anak dari politisi prominen. Mereka seolah ditakdirkan hadir dari koridor yang istimewa untuk meniti karier di perpolitikan.
Fenomena orang tua yang dapat menentukan “nasib baik” anak ini sesungguhnya dapat dilihat dari kaca mata kondisi sosial melalui apa yang dikenal sebagai spoon class theory atau teori kelas masyarakat sendok.
Teori ini mengklasifikasi kelas-kelas dalam masyarakat dari “jenis sendok” atau representasi aset yang dimiliki oleh orang tua.
Awalnya, gagasan kelas sendok berangkat dari adagium tenar Inggris, yakni “born with a silver spoon in one’s mouth” atau bermakna terlahir dengan diberi makan oleh sendok perak.
Pepatah itu mengacu pada kondisi banyak bangsawan dan orang-orang kaya di Inggris pada zaman dahulu saat menggunakan peralatan makan yang terbuat dari logam berharga seperti perak atau emas sebagai representasi status kekayaan mereka.
Anak-anak mereka umumnya disuapi makanan oleh para pengasuhnya dengan alat-alat makan berbahan perak atau emas tersebut. Ihwal itu kemudian memunculkan anggapan bahwa status dan predikat orang tua akan menentukan nasib anak-anaknya di kemudian hari.
Dalam teori ini, terdapat stratifikasi kelas berdasarkan material pembuat sendok seperti diamond spoon, platinum spoon, gold spoon, silver spoon, bronze spoon, steel spoon, wooden spoon, soil spoon, dan yang paling rendah ialah dirt spoon.
Di ranah politisi, tren orang tua yang mewariskan “energi politik” ke sang anak agaknya telah menjadi pemahaman bersama, baik di kancah domestik maupun di negara lain.
Amerika Serikat (AS) misalnya, trah politik yang memperlihatkan suksesi orang tua ke anak tercermin dari sederet nama seperti keluarga Lincoln, Roosevelt, Kennedy, Bush, hingga Biden.
Case serupa terjadi di negara tetangga seperti famili Aquino dan Ferdinand Marcos di Filipina, hingga keluarga Razak di Malaysia.
Sementara itu, trah Megawati, trah Soeharto, trah Ratu Atut, trah para politisi serta ketum dan eks ketum parpol lainnya juga mewarnai konstelasi politik Indonesia.
Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menorehkan rekor sebagai kepala negara berstatus aktif pertama di Indonesia yang memiliki anak menjabat kepala daerah.
Lalu, terdapat satu lagi faktor pendorong yang kiranya menjadi latar belakang aksi Zulhas, yakni kemampuan politik sang anak yang masih mendapat keraguan dari beberapa pihak.
Kapital politik, seperti popularitas sang putri kemungkinan masih sangat sedikit. Oleh karena itu, dibutuhkan stimulus serta konstruksi citra (konstruksi realitas) sebagaimana yang dijelaskan Apriyadi Tamburak dalam Agenda-Setting Media Massa.
Itu berkaitan pula dengan identitas inheren yang mana sulit kiranya untuk memungkiri bahwa atribusi dan persepsi terhadap anak dipengaruhi pula oleh orang tua.
Jika direfleksikan, meskipun kontroversial, bisa saja aksi Zulhas menjadi cara terbaik dari sekian opsi yang ada untuk menyokong Futri dalam promosi politiknya sebagai kandidat di ajang legislatif 2024.
Lantas, pertanyaan berikutnya kemudian muncul, yakni apakah manuver Zulhas itu akan berdampak pada kariernya sebagai Mendag maupun menghadirkan efek negatif pada PAN?
Zulhas Tak Goyah?
Konteks manuver minyak goreng Zulhas di Lampung kiranya tidak akan berpengaruh pada posisinya sebagai menteri meski mendapat respons minor. Mengapa demikian?
Penjelasan sederhana yang mungkin relevan agaknya ialah terkait preseden, ingatan kolektif, plus isu dugaan penyalahgunaan wewenang yang kerap kali terabaikan seiring waktu.
Selain itu, tentu sulit sekiranya membayangkan Zulhas akan terdepak dengan fakta bahwa PAN baru diakomodasi dalam kabinet.
Apalagi, atasan Zulhas, yakni Presiden Jokowi, juga telah memeragakan kecenderungan serupa tapi tak sama saat merestui putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo.
Oleh karena itu, jika hanya dinilai dari variabel dukungan politik terhadap sang putri di Lampung, kemungkinan posisi Zulhas sebagai Mendag masih aman, meski yang terbaru, dia mendapat teguran langsung dari Kepala Negara atas aksinya di Lampung.
Namun, bagaimana dengan impresi terhadap PAN di hadapan konstituen?
Hal itu boleh jadi juga tidak akan banyak berpengaruh ketika mengacu pada karakteristik pemilih Indonesia yang kebanyakan memiliki ingatan atau memori yang pendek dan oportunis terhadap pilihan politik.
Peter Riddell dalam tulisannya di The Times menjelaskan bahwa pemilih cenderung memiliki short electoral memories atau memori elektoral yang pendek.
Dikarenakan rumitnya menentukan definisi keterwakilan politik pemilih secara personal dalam sebuah pemilihan, sebagian besar pemilih kemudian mengabaikan pertimbangan rumit tersebut dan pada akhirnya memilih apa yang ada di depan mata atau siapa sosok terdekat dalam memori yang bisa mereka ingat.
Walaupun menjadi fenomena yang sebenarnya ironis dalam ekosistem demokratis, pemilih Indonesia kerap memiliki ciri yang serupa. Pengamat politik dari Pol-Tracking Institute Hanta Yudha juga memiliki perspektif yang sama dengan Riddell dan menilai bahwa pemilih di Indonesia pada umumnya “pendek ingatan”.
Hal itu misalnya dapat dilihat dari bagaimana Prabowo Subianto yang tetap eksis dan dipilih meskipun lekat dengan sisi gelap dalam konteks HAM. Konsistensi keterpilihan juga terjadi pada PDIP walau jamak mendapat impresi minor.
Ditambah, pada konteks pemilu, mengadopsi penjelasan Clifford Geertz dalam Negara Teater, masyarakat yang merupakan pemilih seperti tidak punya pilihan lain dan larut begitu saja dalam lakon politik, bagaikan hanya menjadi penonton dalam sebuah pementasan drama.
Alhasil, kesan negatif yang didapat Zulhas dari bantuan politik minyak goreng terhadap putrinya kemungkinan tak akan berdampak signifikan, baik terhadap kariernya sebagai Mendag maupun terhadap PAN.
Kendati demikian, penjabaran di atas diharapkan justru dapat menggugah kesadaran dan pertimbangan pemilih di tengah blantika perpolitikan nasional jelang tahun politik mendatang. (J61)