Site icon PinterPolitik.com

Zelensky Jadikan Ukraina “Kuba” Berikutnya?

Zelensky Jadikan Ukraina “Kuba” Berikutnya?

Volodymyr Zelensky (Foto: bbc.com)

Belajar dari krisis Kuba pada 1962, Presiden Kuba Fidel Castro mampu membuat negaranya keluar dari ancaman perang besar. Kondisi tersebut dilihat berbagai pihak saat melihat kenyataan yang terjadi di Ukraina. Lantas, Apakah Zelensky dapat merubah keadaan yang terjadi saat ini dengan belajar dari krisis Kuba?


PinterPolitik.com

Banyak pihak menilai perang di Ukraina adalah efek domino dari eskalasi pengaruh negara besar antara Rusia dengan Amerika Serikat (AS). Yang menjadi korban adalah Ukraina, karena dianggap sebagai negara satelit yang terjepit di tengah persaingan kedua negara besar tersebut.

Dari perspektif geopolitik, kasus Ukraina ini mirip dengan kasus Kuba. Keduanya berada di dekat pagar rumah dua negara besar yang kebetulan saling bersaing. Ukraina dan Kuba pernah berada dalam blok Uni Soviet.

Sejak runtuhnya Uni Soviet, kedua negara ini akhirnya menempuh jalan yang berbeda. Ukraina bergerak mendekati Eropa dan AS. Kuba meski lebih otonomi, masih memiliki hubungan tradisional, yaitu cara pandang ideologis yang sama dengan Rusia sebagai pewaris Uni Soviet.

Pengamat Hubungan Internasional UNPAD, Rizki Ananda Ramadhan, mengatakan serangan ke Ukraina merupakan bentuk nyata dari kekhawatiran Rusia, jika suatu saat Ukraina gabung dengan NATO. Tentu Rusia tidak ingin adanya sebuah pangkalan militer Barat di halaman belakangnya, mengingat posisi Ukraina persis bersebelahan dengan Rusia.

Konflik ini mirip dengan apa yang terjadi dalam peristiwa Krisis Misil pada Oktober 1962. Saat itu, Uni Soviet meletakkan pangkalan militer lengkap dengan rudal nuklirnya di Kuba sebagai bentuk ancaman bagi AS. Jarak antara Kuba dengan AS juga sangat dekat, yaitu berbatasan dengan negara bagian Florida di bagian selatan AS.

Krisis Misil Kuba merupakan peristiwa puncak dari Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet. Perang Dingin disebabkan oleh perselisihan ideologi yang dianut oleh kedua negara tersebut. AS dengan ideologi liberalisme dan Soviet dengan komunismenya.

Dari kesamaan sejarah ini, muncul pertanyaan besar. Di bawah kepemimpinan Presiden Zelensky yang tengah berseteru dengan Rusia, apakah konflik ini akan mengulang sejarah Kuba di bawah Presiden Fidel Castro pada tahun 1962?

Meraba Konflik Kuba 1962

Krisis Kuba berakar secara historis, ketika pemerintahan Kuba pimpinan Jenderal Fulgencio Batista yang didukung oleh AS tumbang oleh perjuangan milisi Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Castro dan kawan-kawan. Castro yang beraliran komunis segera menancapkan kuku menjadi pemimpin Kuba.

Niko dalam tulisannya Antara Ukraina dan Kuba, mengatakan revolusi Komunis tahun 1959 yang menempatkan Fidel Castro sebagai pemimpin Kuba, merubah sejarah negeri ini selanjutnya. Hal ini disebabkan Kuba menjadi kawan dekat Uni Soviet, yang saat itu sedang bersaing dengan Barat dalam memperluas aliansi.

Tentunya ini yang membuat AS resah, mereka merupakan hegemon dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II. Secara sistematis, misi besar AS saat itu adalah menghambat penyebaran komunisme di seluruh dunia. Kebijakan AS ini disebut dengan containment policy.

Amalia Mastur dalam tulisannya Perang Dingin dan Diplomasi, mengatakan containment policy dipelopori oleh George Kennan, seorang diplomat AS yang menyerukan agar AS bersedia untuk memberikan bantuan bagi kekuatan anti-komunisme.

Hal ini didasari pada pertimbangan teori domino, yang mana paham komunisme cenderung mudah berkembang di kalangan rakyat miskin. Dan Kuba dianggap sebagai ancaman karena letaknya yang berada di belakang pagar AS.

Fit Yanuar dalam tulisannya Membandingkan Ukraina 2022 dengan Kuba 1962, mengatakan serangan AS pada 15 April 1961 merupakan operasi militer taktis terhadap beberapa posisi militer vital di Kuba. Ini menjadi peristiwa yang tidak dapat dilupakan dalam krisis Kuba.

Sejarah mencatat peristiwa ini dengan nama invasi Teluk Babi. Teluk Babi adalah sebuah nama tempat, dalam peta internasional disebut sebagai Bay of Pigs, penduduk setempat menyebutnya sebagai Playa Giron.

Layaknya seperti konflik Rusia-Ukraina, banyak negara yang melakukan embargo ekonomi terhadap Rusia. Kala itu AS juga membatasi kegiatan perniagaan dengan Kuba. Hal ini bertujuan untuk mengisolasi Kuba.

Saat itu Presiden AS John Fitzgerald Kennedy (JFK) menuntut Uni Soviet untuk menarik rudal-rudalnya, jika tidak AS mengancam akan menyerang Kuba. Namun, Pemimpin Soviet saat itu, Nikita Khrushchev menolak permintaan JFK.

Di saat yang bersamaan, kapal-kapal AS sudah bergerak ke perairan sekitar Kuba.  Kapal selam Uni Soviet juga bergerak menuju Kuba. Keadaan secara dramatis semakin memanas, banyak yang meramalkan akan pecah Perang Dunia III saat itu.

Sejarah mencatat kalau invasi tersebut gagal. Masyarakat Kuba dan pemimpinnya Castro tidak tumbang dan sebagian dunia mengutuk AS. Dewan Keamanan PBB bersidang yang hasilnya gagal mencapai resolusi.

Kepemimpinan Castro yang ikonik di mata dunia menjadi penyeimbang cara pandang pemimpin Kuba ini. Peristiwa ini adalah antitesa di tengah arus cara pandang masyarakat dunia melihat pemimpin negara komunis yang terkesan negatif dan otoriter.

Setahun berikutnya, tepatnya pada September 1962, Nikita Kruschev berani berjudi untuk sebuah kebijakan politik militer dengan menempatkan peluru kendali dengan hulu ledak nuklir di Kuba. Disebutkan, AS di bawah kekuasaan JFK juga siap jika memang harus terlibat perang nuklir dengan Uni Soviet.

Melalui pertimbangan yang lebih rasional dan akhirnya dianggap bijak oleh analis internasional saat itu, Kruschev menarik kembali kebijakan politik-militer spekulatifnya. Perang Dingin lalu mulai kembali terdeeskalasi.

Well, potret sejarah konflik Kuba ini dapat menjadi bahan perbandingan melihat Ukraina saat ini. Keberhasilan Kuba keluar dari perang besar dapat menjadi pelajaran berharga bagi Ukraina. Lantas, apakah sejarah ini dapat dijadikan pelajaran oleh Presiden Zelenzky untuk merubah keadaan?

Zelensky Balikkan Keadaan?

Posisi Ukraina yang hadir secara geopolitik di sekitaran negara hegemonik tidak mudah. Hegemonik dalam konteks hubungan internasional dilekatkan kepada negara yang memiliki kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang mampu mempengaruhi serta mengarahkan dunia.

Dalam kasus Kuba, sikap keras AS menolak penempatan rudal nuklir di Kuba adalah alasan keamanan. Alasan yang sama menjadi dasar dari invasi Rusia ke Ukraina. Rencana keanggotaan Ukraina dalam NATO mengancam keamanan nasional Rusia.

Bagi Ukraina, aliansi dengan NATO adalah upaya external balancing dalam menghadapi musuh potensial, yaitu Rusia. Aliansi ini akan meningkatkan keamanan Ukraina, tetapi mengurangi keamanan Rusia.

Jika Zelensky mampu belajar dari perjuangan Castro dan rakyatnya, di mana mereka berjuang bukan hanya karena kepentingan pragmatis, seperti gemerlap kemapanan ekonomi yang ditawarkan Barat, tapi juga merupakan perjuangan ideologis, hal ini dapat kita lihat sebagai alternatif solusi, di mana Ukraina mungkin saja akan membalikkan keadaan.

Tapi kondisi Castro saat itu dengan Zelensky kini tampaknya jauh berbeda. Kondisi eksternal, misalnya, saat itu Uni Soviet berani pasang badan untuk Kuba, bahkan secara berani melakukan upaya pergerakan militer. Sedangkan kondisi Zelensky, dia malah harus meminta bantuan militer yang tak kunjung datang dari AS dan sekutunya.

Meski Kuba dan Ukraina dalam konteks negara satelit yang hidup di pagar negara hegemon yang sama, tapi perlakuan Uni Soviet berbeda dengan AS. Ini yang menjadi perbedaan penting dalam konflik Rusia-Ukraina saat ini.

Seharusnya Zelensky memiliki insting politik agar bisa menempatkan diri di antara dua tarikan kubu, yakni Barat dan Rusia. Apalagi Ukraina sebagai “kembang desa” yang dibutuhkan Barat dan Rusia seharusnya bisa memanfaatkan kesempatan yang ada.

Zelensky pun mestinya dapat memainkan peran “kembang desa” tersebut dengan cermat. Dengan begitu, Ukraina tidak akan terjepit di antara Barat dan Rusia, hingga akhirnya terjadi konflik berkepanjangan seperti saat ini. (I76)


Exit mobile version