HomeHeadlineZelensky Harusnya Bisa Cegah Konflik?

Zelensky Harusnya Bisa Cegah Konflik?

Konflik Rusia-Ukraina telah menelan cukup banyak korban sipil. Selain terjadi akibat ambisi Vladimir Putin, kita pun perlu menyadari bahwa perseteruan ini juga muncul karena Volodymyr Zelensky terlalu berkeinginan mendekatkan diri ke Barat. Mungkinkah Zelensky telah melakukan blunder? 


PinterPolitik.com 

Konflik Rusia-Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari silam dikabarkan sudah menelan korban sipil sebanyak lebih dari 1.000 jiwa. Tidak sedikit juga gedung-gedung pemukiman yang rusak akibat terkena tembakan nyasar. 

Presiden Volodymyr Zelensky secara aktif tampil di media sosial dan pemberitaan, untuk menyadarkan pada dunia tentang kengerian yang terjadi di negaranya. Karena itu, banyak warganet yang memberi dukungan padanya supaya dapat terus mempertahankan Ukraina agar tidak jatuh ke tangan Rusia.  

Ya, Zelensky telah menjadi simbol perlawanan Ukraina.  

Namun, di balik semua upaya membangun citra heroisme itu, kita tidak bisa pungkiri bahwa konflik Ukraina pun sebenarnya terjadi akibat ulah Zelensky sendiri.  

Ketika awal dirinya menjadi presiden, Zelensky berjanji bahwa dia akan membawa Ukraina lebih dekat dengan Barat, dan integrasi ke dalam NATO adalah misi besar yang perlu dicapai. Memang, mayoritas warga Ukraina pun sudah lama menginginkan negaranya bergabung NATO. 

Riset yang dilakukan Democratic Initiatives Foundation pada tahun 2017 menunjukan bahwa 69 persen warga Ukraina ingin bergabung dengan aliansi pertahanan tersebut. 

Dengan demikian, Zelensky mendapatkan motivasi untuk mewujudkan misi politiknya. Ia berulang kali menyampaikan pada publik bahwa pihaknya sedang mendekati NATO. Ini kemudian diperkuat dengan janji-janji yang dilontarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, yang sempat mengatakan bahwa pihaknya dan NATO menolak menjamin netralitas Ukraina. 

Dalam sebuah laporan dari Reuters, Zelensky bahkan menyebutkan Biden tidak akan meninggalkan Ukraina melawan agresi yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh Rusia. 

Tapi kenyataannya, janji-janji manis tersebut tidak terwujud. Sampai saat ini, tentara dan sipil Ukraina berjibaku di lapangan, tanpa adanya bantuan pertahanan dari NATO dan AS. Yang mirisnya, saat ini mulai muncul kabar bahwa warga Ukraina mulai kesulitan mendapatkan makanan. 

Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan besar. Apakah Zelensky telah melakukan sebuah blunder politik? Jika iya, mengapa itu bisa terjadi? 

Zelensky Kepedean? 

Palki Sharma dalam videonya Gravitas: Zelensky’s Three Big Miscalculations, merumuskan bahwa Zelensky telah melakukan miskalkulasi besar dalam 3 poin. Pertama, ia menaruh harapan terlalu tinggi pada NATO dan AS.  

Dengan mendapatkan sejumlah janji manis dan kiriman senjata dari Barat, Zelensky telah berpikir bahwa dirinya memiliki kartu truf bila Rusia menyerang, yaitu dukungan dari NATO. Tapi ia sepertinya tidak menganalisis terlebih dahulu bahwa NATO pun memiliki alasan yang kuat untuk menghindari konfrontasi militer langsung dengan Rusia. 

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Kedua, Zelensky salah menduga bahwa ternyata Ukraina tidak begitu “penting” bagi Barat. Selama ini, Ukraina memang dianggap menjadi wilayah bantalan yang perannya sangat krusial dalam membatasi ekspansi NATO ataupun Rusia.  

Sayangnya, kenyataan yang terjadi menegasikan argumen tersebut, Ukraina telah dianggap sebagai wilayah yang dapat dikorbankan oleh NATO. Peran seperti ini sebelumnya dipegang oleh Afghanistan pada 1980-an, ketika digunakan AS untuk sebagai alat untuk membuat Uni Soviet kewalahan bila melakukan agresi berlebihan ke Barat. 

Ketiga, Zelensky salah membaca Vladimir Putin. Mantan komedian itu sangat yakin bahwa Putin tidak akan menyerang Ukraina. Ini dicontohkan dengan bagaimana dia membantah media-media Barat pada awal tahun 2022 tentang rumor Rusia akan menyerang Ukraina dalam waktu dekat.  

Zelensky menyebutnya itu adalah dramatisasi pemberitaan. Padahal, Rusia terbukti berani menyerang. Hal ini sepertinya terjadi karena Zelensky terlalu meyakini bahwa semua retorika yang dilontarkan Putin hanya gertakan semata. 

Dengan demikian, tampaknya Zelensky telah terperangkap pada doktrin yang mengatakan bahwa konflik bersenjata tidak akan terjadi di era modern, karena itu akan sangat merugikan negara yang bertahan, ataupun yang menyerang. Pandangan yang dipopulerkan oleh Norman Angell dalam bukunya The Great Illusion ini memang telah menjadi keyakinan banyak orang yang skeptis akan perang. 

Padahal, sejatinya konflik bersenjata akan terus memiliki probabilitas untuk terjadi. Francis Fukuyama dalam tulisannya 2034, menjelaskan bahwa seorang pemimpin seharusnya tetap peka dalam mencari cara untuk menghindari konflik. Cara menghindari konflik itu pun bukan dengan mengabaikan kemungkinan perang, tetapi menganalisis dan memahami secara tepat titik-titik didih eskalasi. 

Oleh karena itu, alih-alih mencari muka ke Barat, Zelensky seharusnya menganalisis keadaan terlebih dahulu, dan mencari alternatif untuk meredam kemungkinan terjadinya konflik. Hal ini bisa dilakukan dengan lebih mengedepankan politik perimbangan, di mana Zelensky juga memberi perhatian yang sesuai ke Rusia. 

Zelensky bisa menjalankan saran yang dibuat oleh John J. Mearsheimer dalam tulisannya Why the Ukraine Crisis is the West’s Fault, yang mengatakan bahwa hal yang seharusnya dilakukan pada Ukraina adalah menjadikannya sebagai wilayah netral. Zelensky seharusnya memperjuangkan itu, karena Ukraina yang netral adalah jawaban yang tidak akan merugikan NATO, maupun Rusia. 

Sayangnya, Zelensky malah lebih memilih dibuai oleh Barat, tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu rasionalitas di baliknya. 

Mungkin, apa yang terjadi pada Zelensky adalah cerminan nyata dari dampak yang muncul ketika seseorang terjun dalam politik, yaitu politik dapat mempengaruhi alur pikiran seseorang, sehingga ia kesulitan dalam mengambil keputusan yang rasional. 

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Ezra Klein dalam tulisannya How Politics Makes us Stupid, mengutip penelitian yang dilakukan oleh Profesor Dan Kahan dari Yale Law School, menjelaskan bahwa politik secara tidak langsung mampu membuat politisi menjadi orang yang ignorant atau bebal.  

Hal ini, menurut Kahan, karena politik adalah dunia di mana ide seorang politisi harus diperjuangkan untuk dapat dukungan, tapi dampaknya, fakta-fakta yang ada di lapangan sering dibelokan demi membenarkan ide sang politisi, atau justru diabaikan sama sekali.  

Oleh karena itu, miskalkukasi yang dilakukan Zelensky dalam konflik ini, terjadi akibat dia bebal dengan keadaan yang sesungguhnya ada di lapangan, padahal dia bisa belajar dari konflik Crimea pada tahun 2014 bahwa Putin bernai bertindak keras untuk mendapatkan keinginannya. 

Yang menariknya adalah, serangan Rusia terhadap rezim Zelensky tampak sangat tepat waktu. Mungkinkah Putin sudah menduga bahwa Zelensky akan seperti ini? 

Putin Tahu Kelemahan Zelensky? 

Melihat dinamika politik antara Ukraina dan Rusia hingga serangan 24 Februari kemarin, tampaknya masuk akal bila Putin memang melihat kepemimpinan Zelensky sebagai momen yang tepat untuk menyerang. 

Meski Zelensky yang selalu menggembor-gemborkan hubungannya dengan NATO, Putin tahu penuh bahwa Ukraina tidak akan benar-benar dapat bantuan militer dari NATO. Karena sejatinya, Konfrontasi antara Barat dan Rusia adalah hal yang dihindari semua pihak.  

Alasannya beragam, mulai dari kebergantungan ekonomi antara Eropa dengan Rusia, dan juga dampak bencana yang bisa terjadi bila perang antara dua kubu ini terjadi. Bukan tidak mungkin karena Putin sadar Zelensky terlalu berharap pada NATO, maka kepemimpinannya adalah momen yang tepat untuk menyerang Ukraina. 

Taktik menyerang ketika momen kelemahan seperti ini umumnya dilakukan oleh Jenderal Romawi kuno, Julius Caesar ketika dia berperang melawan bangsa Galia. Ketika itu, pasukan Caesar hampir selalu berhadapan dengan pasukan Galia yang jumlahnya lebih banyak.  

Dengan demikian, Caesar sadar bahwa satu-satunya cara untuk menang adalah dengan memanfaatkan momen yang tepat, karena itu, pasukan Caesar seringkali hanya berhadap-hadapan dengan pasukan Galia. Caesar baru menyerang ketika Galia secara tidak sadar menunjukan kelemahannya sendiri, seperti ketika sedang momen menunggu makanan, atau sedang menaiki tebing tinggi. 

Well, pada akhirnya kita perlu menyadari bahwa konflik Ukraina ini dapat terjadi selain karena ambisi Putin, juga karena miskalkulasi dan harapan berlebihan yang dilakukan oleh Zelensky pada NATO. 

Alhasil, ribuan warga sipil harus menelan akibatnya, dan mirisnya, sebenarnya ada kesempatan bagi Zelensky untuk menghindari ini, jika saja dia tidak terlau condong pada Barat. (D74) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?