Beberapa menteri Joko Widodo pada Kabinet Kerja terseret kasus korupsi. Berbagai proyek pembangunan nasional dianggap belum maksimal menggerakkan pertumbuhan perekonomian. Apakah zaken kabinet dapat menjadi solusi permasalahan tersebut?
Pinterpolitik.com
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pada beberapa waktu lalu. Setelah itu, Jokowi-Ma’ruf harus segera memutar otak untuk menentukan susunan Kabinet Kerja Jilid II.
Meski dalam penyusunan ini Jokowi masih dihadapkan oleh berbagai pekerjaan rumah seperti kisruh penolakan hasil KPU oleh oposisi, pergerakan massa pedemo, dan isu terkait teror. Selain itu, sebanyak tiga menteri Jokowi terseret dalam pusaran kasus korupsi.
Jadi, selain menyusun kabinet kedua, dia masih memiliki PR dengan Kabinet Kerja yang pertama yang masih menyisakan beberapa bulan. Menurut isu yang berkembang, menteri yang terseret kasus korupsi ini akan terkena reshuffle setelah Idulfitri.
Terlepas dari semua gejolak ini, koalisi telah memberikan daftar calon menteri kepada Jokowi. Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP yang memenangkan Pileg 2019 mengaku akan menyerahkan pemilihan menteri kepada Jokowi. Hal ini untuk menjawab kritik terhadap PDIP yang dianggap mengontrol kemauan Jokowi.
Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menangkap peluang ini dengan agresif. Tak tanggung-tanggung, dia telah menyodorkan sebanyak 20 nama kandidat menteri dari PKB. Bahkan, dia menargetkan sebanyak 10 menteri dari perwakilan PKB.
Bargaining position Cak Imin memang besar karena di belakangnya ada Nahdlatul Ulama dan Wapres Ma’ruf bersama Majelis Ulama Indonesia. Kedua organisasi ini yang dipercaya sebagai kunci pemenangan Pilpres 2019 dan berdampak pada pemerintahan sampai 2024 kelak.
Dengan koalisi yang terhitung tidak ramping ini apakah Jokowi bisa membuat zaken kabinet? Share on XNamun, Cak Imin tidak sendirian dalam melobi Jokowi. Dalam pertemuan terbatas Koalisi Indonesia Kerja pada Selasa lalu, Ketua Umum PSI Grace Natalie menyampaikan bila Jokowi tertarik untuk menarik menteri dari kalangan milenial.
Pembahasan terkait komposisi menteri ini menjadi menarik setelah Buya Syafii Maarif yang merupakan Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyarankan Jokowi untuk membentuk zaken kabinet.
Pernyataan BPIP tersebut mendapat dukungan dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan orang-orang yang paham detail permasalahan itu yang dibutuhkan dalam pemerintahan.
Saran dari BPIP dan KPK tersebut dipertimbangkan oleh Jokowi dan koalisi. Tapi sebagian koalisi menolak saran zaken kabinet dengan halus.
Dinamika Zaken Kabinet
Zaken kabinet berasal dari bahasa Belanda yang berarti kabinet kerja (business cabinet). Zaken kabinet adalah terminologi suatu kabinet yang jajaran menterinya sebagian besar diisi oleh kalangan ahli dan professional nonpartai.
Adapun fungsi dan tujuan zaken kabinet seperti menghindari terjadinya malfungsi kabinet, menghindari terjadinya praktik korupsi di kabinet, dan memaksimalkan kinerja dari para menteri anggota kabinet.
Kabinet sejenis ini bukan barang baru di Indonesia. Kabinet tersebut telah ada sejak pemerintahan Orde Lama pada 1950-1959. Sebagian besar menteri nonpartai ini tergabung dalam Kabinet Djuanda yang memiliki masa jabatan dari 9 April 1957 sampai dengan 5 Juli 1959, Kabinet Natsir 6 September 1950-21 Maret 1951, dan Kabinet Wilopo 3 April 1952-3 Juni 1953.
Menginjak Orde Baru terminologi zaken kabinet tergantikan oleh golongan teknokrat dan teknolog. Adam Schwarz dalam bukunya A Nation in Waiting mengatakan bahwa pada masa Orba teknokrat identik dengan lulusan barat, khususnya di bidang ekonomi. Adapun para teknokrat ini adalah lulusan Universitas Indonesia dan universitas terkenal lain yang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan.
Sebagian besar para teknokrat ini berkecimpung di bidang yang berhubungan dengan perekonomian. Mereka mendapatkan kursi seperti menteri, setara menteri, atau Gubernur Bank Indonesia.
Schwarz menyebutkan contoh teknokrat di bidang perekonomian seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, dan Mohammad Sadli. Mereka adalah alumni University of California, Berkeley, Amerika Serikat yang memegang jabatan strategis di beberapa periode Kabinet Pembangunan.
Sementara itu, sebutan teknolog semasa orba merujuk kepada ahli di bidang ilmu pengetahuan alam dan teknik. Mereka adalah yang menduduki posisi strategis yang berhubungan dengan perekenomian di Kabinet Pembangunan. BJ Habibie dan Ginandjar Kartasasmita menjadi contoh utama para teknolog ini.
Semasa orba komposisi teknokrat dan teknolog ini mendominasi dibandingkan dengan partai. Tapi hal ini tentu menjadi lumrah berkat kekuasaan yang dimiliki Soeharto ketika itu.
Pada era reformasi, komposisi menteri parpol dan nonparpol relatif berimbang. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-Megawati di Kabinet Persatuan Nasional jumlah menteri parpol sebanyak 17 orang, sedangkan nonparpol 16 orang. Pemerintahan ini mengalami sebanyak tiga kali bongkar pasang menteri.
Kemudian pada pemerintahan Megawati-Hamzah Haz, Kabinet Gotong Royong memiliki komposisi menteri nonparpol 17 orang dan menteri parpol 16 orang. Pada pemerintahan ini relatif tidak ada pergantian menteri, kecuali Susilo Bambang Yudhoyono yang mengundurkan diri.
Pemerintahan SBY-Jusuf Kalla di Kabinet Indonesia Bersatu I berjumlahkan sebanyak 21 menteri nonpartai dan 16 orang parpol. Dalam masa pemerintahan ini mengalami dua kali perombakan kabinet.
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, yaitu Pemerintah SBY-Boediono memiliki menteri non-parpol 16 orang dan menteri parpol 21 orang. Pada masa ini kabinet mengalami dua kali perombakan karena kasus korupsi.
Terakhir, pada awal pemerintahan Jokowi-JK memiliki komposisi sebanyak 18 menteri nonparpol dan 16 orang menteri parpol.
Kabinet Kerja telah mengalami beberapa kali perombakan sehingga menyisakan sebanyak 14 menteri parpol. Sedangkan, 20 kursi menteri sisanya diisi oleh tokoh nonpartai. Jumlah menteri dari parpol ini menyusut karena tersandung kasus korupsi.
Koalisi Gendut
Buya Syafii Maarif merasa harus menjelaskan lebih dalam ide BPIP terkait zaken kabinet yang menjadi polemik dalam tulisan pribadinya. Dia menulis zaken kabinet bukan sebuah gagasan untuk menyingkirkan peran parpol dalam pemerintahan. Tapi belajar pada pengalaman wakil parpol dalam kabinet kurang menampakkan kinerjanya sebagai pejabat profesional, berintegritas, apalagi negarawan. Bukan rahasia bila menteri dari parpol menjadikan posisi menteri sebagai ATM milik partai.
Namun, dalam konteks sekarang, perlu diperhatikan bila kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Jokowi saat ini tidak sebesar ketika Soekarno atau Soeharto menjabat sebagai Presiden. Jokowi tetap harus memperhitungkan segala kemungkinan yang ada.
Ayo pak @jokowi katanya sudah gak ada beban, monggi kabinet zaken dilaksanakan, rakyat menunggumu janjimu. https://t.co/8rQNfT8kGr
— Rangga Bayu (@BSetoaji) May 21, 2019
Pemicu kebimbangan ini, yaitu setelah era reformasi muncul berbagai parpol yang menurut peraturan diharuskan untuk berkoalisi agar lolos dalam presidential threshold. Hal ini telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dalam Pasal 222 tertulis pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Oleh karena itu, peraturan ini yang bisa menjadi batu sandungan zaken kabinet. Parpol berbondong-bondong memilih gerbong mereka untuk mendapatkan suara sebanyak mungkin. Seperti yang terjadi pada 2014 dan 2019 parpol terbagi menjadi dua koalisi untuk bisa melebihi presidential threshold.
Cita-cita untuk zaken kabinet itu menjadi utopis karena baik pasangan petahana dan oposisi memiliki banyak parpol pengusung yang barang pasti meminta posisi sebagai menteri kelak. Itu belum termasuk memperhitungkan pengeluaran parpol ketika Pemilu berlangsung. Mereka pasti berpikir posisi ahli atau profesional ini sangat lah enak yang tinggal menunggu panggilan. Padahal parpol ini telah berjuang dari nol dengan pasangan yang diusung.
Faktor pemicu kesulitan Jokowi, yaitu koalisi mereka terhitung gendut. Menurut klaim Koalisi Indonesia Kerja dalam perhitungan sementara mereka mendapatkan sebesar 60,7% di parlemen. Suara ini dikumpulkan oleh PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, dan lain-lain.
Jumlah koalisi ini yang memaksa Jokowi harus bisa kompromi terhadap kursi menteri dan berbagai jabatan lain. Tentu dia tidak akan mau mendapatkan ganjalan di tengah jalan bila partai koalisi tidak mendukungnya di parlemen. Dengan suara yang bulat di parlemen maka tidak perlu ada gesekan yang bisa membuat program pemerintah menjadi berlarut-larut.
Meski demikian, pernyataan dari Syafii memang patut dipertimbangkan mengingat jumlah menteri yang tertangkap kasus korupsi terbilang banyak dan tersebar di berbagai kabinet. Sudah diketahui secara umum bila posisi menteri dijadikan sebagai sapi perahan bagi partai selama bertahun-tahun.
Oleh karena itu, perlu jalan tengah untuk memikirkan keputusan yang adil bagi koalisi dan kemauan Jokowi. Secara personal Jokowi memiliki kemauan untuk menentukan sendiri Kabinet Kerja jilid II. Bloomberg menulis Jokowi memiliki rencana ambisius pada periode kedua. Adapun yang dia perlukan saat ini adalah kekuatan untuk bebas memilih kabinet yang mampu membantu dia mencapainya.
Jalan tengah ini seperti membuat zaken kabinet dengan lebih lentur dan tidak sebatas hitam dan putih. Tolak ukur dari zaken kabinet ini bisa jadi hanya memprioritaskan kompetensi calon menteri. Jadi tidak dibatasi oleh parpol dan nonparpol, tapi untuk semua orang. Parpol yang memiliki kader sesuai dengan kompetensi, background pendidikan, dan pengalaman dia maka dapat diperhitungkan menjadi calon menteri.
Jika jalan tengah ini gagal mungkin bisa kembali ke opsi pertama terkait zaken kabinet. Namun dengan perbandingan antara parpol dan nonparpol menjadi 40:60. Perbandingan ini sebenarnya sudah terlihat di beberapa kabinet seperti Kabinet Kerja I dan Kabinet Indonesia Bersatu I.
Apakah Jokowi akan mengambil salah satu opsi ini? Kita tunggu saja.