Political endorsement melalui para YouTubers terkenal menjadi salah satu strategi Jokowi dekati kaum muda menjelang Pilpres 2019
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]okowi dan YouTube memang dua hal yang tak terpisahkan. Betapa tidak, aktivitasnya di media daring visual ini cukup terbilang masif setelah semakin populernya fenomena vlog dan munculnya fenomena YouTuber di Indonesia.
Sebagai bagian dari platform media sosial, dan di tengah kian terbenamnya peran media-media kampanye konvensional, YouTube menjadi sarana komunikasi yang efektif bagi para influencer dengan para pemirsa, tanpa terkecuali bagi politisi.
Peluang tersebutlah yang nampaknya dibaca secara jeli oleh mantan wali kota Solo tersebut. Dengan bermodal kamera dan pose selfie, Jokowi menjadi satu-satunya presiden yang membuat nvlog untuk berkomunikasi dengan masyarakat.
Selain itu, ia juga sosok presiden yang dekat dengan para influencer YouTube. Terlepas dari berbagai motif politiknya, ia kerap kali menjalin relasi yang akrab dengan para YouTubers Indonesia.
Seberapa efektifkah daya persuasi para influencer YouTube tersebut? Share on XSeperti halnya saat pertengahan tahun 2017 lalu, Jokowi mengundang para pegiat YouTube ke Istana Negara untuk berbuka puasa bersama.
Dan yang terbaru adalah aksi kolaborasi video yang dilakukan Jokowi beberapa waktu terakhir ini dengan para YouTubers ternama seperti Ria Ricis, Boy William, dan Atta Halilntar.
Tentu pendekatan Jokowi ini menjadi menarik untuk dicermati ketika momen Pilpres 2019 semakin dekat.
Lalu bagaimana sesungguhnya fenomena YouTubers ini berdampak secara signifikan dalam lanskap politik Indonesia? Mungkinkah strategi mendekati influencer sosial media ala Jokowi akan mengantarkannya untuk menduduki kursi istana untuk dua periode?
YouTube, Media Kampanye Baru
YouTube memang sebuah fenomena baru, utamanya dalam politik Indonesia. Kepopuleran media platform berbagi video yang didirikan oleh para mantan pegawai PayPal Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim ini memang tengah berada di puncak, utamanya di Indonesia.
Hal ini terungkap dari data statista.com dimana YouTube menempati urutan pertama media sosial terpopuler dengan persentase pengguna sebanyak 43% di tahun 2017.
Tentu dengan pengguna sebesar itu, YouTube mampu mengalahkan eksistensi media tradisional laiknya TV, koran dan radio. Hal ini diungkapkan oleh riset Forbes bahwa kelompok usia 18 hingga 24 tahun di berbagai belahan dunia, telah berpindah ke platform YouTube dalam lima tahun terakhir.
Sehingga dapat dikatakan tren TV dan media lain kini sedang menurun, dan semakin banyak konten video yang dikonsumsi melalui smartphone di masa sekarang.
Dalam konteks politik, YouTube juga berperan besar dalam merubah lanskap marketing politik di suatu negara. Di Amerika Serikat misalnya, situs video paling populer di dunia ini juga membuktikan lebih memukau dan lebih kuat dari kampanye politik yang pernah dibayangkan.
Hal ini diungkap oleh direktur Google’s News Lab, Steve Grove yang menyebut bahwa YouTube adalah realitas sosial media yang unik. Ia dapat dilihat, didengar dan ia adalah cara terkuat untuk meyakinkan orang-orang terkait pandangan politik, dan politisi akan cenderung memanfaatkannya.
Menurut data Google Show, kandidat dari Partai Republik di Pemilu AS 2016, Donald Trump adalah kandidat yang paling produktif secara digital, dengan lebih banyak tampil di YouTube dibanding kandidat lainnya. Bernie Sanders, Hillary Clinton dan Cruz kemudian mengikuti langkah Trump tersebut dengan memanfaatkan YouTube sebagai media kampanye.
Sejak April 2015, data Google menunjukkan, rakyat Amerika telah menonton video YouTube senilai 12.500 tahun atau setara 110 juta jam guna menonton kandidat yang akan bertarung dalam pemilu 2016.
Tidak hanya di AS, para politisi Prancis juga memanfaatkan YouTube sebagai platform kampanye dalam pemilu 2017. Politisi sayap kiri radikal Jean Luc-Mélenchon dan pemimpin Eurosceptic Nicolas Dupont-Aignan adalah calon presiden Prancis pertama yang menghimpun dukungan melalui kampanye YouTube.
Politisi sayap kanan Florian Philippot juga memfokuskan berkampanye di YouTube dengan meluncurkan channel yang bertujuan memberi pemilih informasi tentang kandidat calon presiden Marine Le Pen dengan nama konten “a backstage pass”.
Dalam konteks politik di Indonesia, Jokowi nampaknya juga menyadari kepopuleran media YouTube ini. Ia kemudian mulai membangun relasi yang intens dengan beberapa influencer YouTube bahkan sejak 2016.
Politisi berdarah Boyolali ini awalnya memanfaatkan para influencer YouTube ini untuk mensosialisasikan keberhasilan program-program pembangunan pemerintah dan kinerja presiden di luar pulau Jawa.
Bnyak org gk penting diundang sperti youtubers dan pegiat sosmed,,taulah ya karena mreka punya follower bnyak,,jadi bisa utk pencitraan sekalian
— Merah Hitam (@official_arry) December 10, 2017
Seperti dilansir Kompas misalnya, dalam momentum beberapa hari sebelum perayaan Natal 2016, Jokowi mengikutsertakan tiga YouTuber terkenal yakni Bob Tarigan, pemilik channel Cameo Project dengan subscribers sekitar 600 ribu, juga ada youtuber Agung Hapsah, dan Bayu Skak saat kunjungan kerja ke perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat.
Sedangkan pada saat momen perayaan Natal 2016, Jokowi kembali mengajak dua YouTuber tenar yakni Kevin Hendrawan dan Arif Muhammad ke perbatasan Indonesia-Timor Timur di Nusa Tenggara Timur dengan mengekspose pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di sejumlah titik perbatasan. Juga terselip agenda lainnya, yakni pembagian makanan tambahan serta menengok proyek infrastruktur di desa miskin.
Kejelian Jokowi melihat peluang karena adanya kesadaran secara politis bahwa generasi muda Indonesia lebih senang menonton YouTube daripada mengonsumsi media mainstream, akhirnya direalisasikan dengan membentuk tim media sosial, utamanya YouTube dalam membantu berbagai agenda publikasinya.
Kini, menjelang 3 bulan waktu tersisa menuju hari pemilu, Jokowi juga nampak kembali gencar memanfaatkan momentum kolaborasi video dengan para YouTubers seperti Ria Ricis, Boy William dan Atta Halilintar.
Fenomena Political Endorsement
Apa yang dilakukan Jokowi lebih dikenal sebagai strategi political endorsement. Political endorsement memang umum terjadi dalam politik. Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak politisi-politisi di Negara-negara maju memanfaatkan kepopuleran selebritas untuk mendulang dukungan secara luas.
Untuk meningkatkan elektabilitas, political endorsement merupakan penentu. Hal ini disampaikan oleh profesor ilmu politik dari Cedarville University, Mark C. Smith. Ia juga menambahkan, political endorsement sedikit banyak tergantung pada konteks dan hubungan antara partai dan basis masanya.
Political endorsement ini pada kadar tertentu bisa jadi menjadi penentu di akhir masa kampanye, mengingat pendulum suara kini ada pada swing voters.
Di Amerika Serikat misalnya, beberapa politisi mendapatkan efek yang luar biasa dari adanya political endorsement ini.
Lebih dari 160.000 orang pada akhirnya mendaftar untuk memberikan suara dalam waktu 48 jam setelah Taylor Swift akhirnya memberikan sikap politik pada saat pemilu sela atau midterm elections beberapa waktu lalu.
Dukungan selebriti, setidaknya dalam politik Amerika, sebenarnya telah terjadi selama beberapa dekade. Namun berdasarkan konsensus di antara para pakar politik AS, nampaknya efek elektoral yang dihasilkan hanya akan terbatas pada pendukung selebritis-selebritis tersebut.
Contoh yang menonjol adalah dukungan Oprah Winfrey terhadap Barack Obama di tahun 2008 melawan Hillary Clinton. Ekonom Universitas Maryland, Craig Garthwaite dan Tim Moore meneliti dampak dukungan Winfrey berhasil menyumbang perolehan satu juta suara untuk Obama.
Dalam konteks politik di Indonesia, Jika dilihat dari dampak elektoralnya, peran para YouTubers ini bisa dikatakan berperan sebagai agen political endorsement. Meskipun posisi mereka berbeda dengan Oprah Winfrey atau Taylor Swift sebagai selebritas kelas dunia, namun setidaknya daya popularitas para youtuber di Indonesia juga bisa dikatakan mampu menjangkau pemilih secara luas.
Hal ini disebabkan karena jumlah pengikut di YouTube lebih dapat diukur. Melihat jumlah subscribers dan viewers mereka dalam video sekali tayang saja misalnya, bahkan mencapai angka 2 juta lebih, tentu bukan jumlah yang sedikit sebagai potensi calon pemilih.
Channel milik Ria Ricis misalnya, diketahui memiliki subscribers sebanyak 7,5 juta dan menempatkanya sebagai salah satu YouTuber sekaligus influencer berpengaruh di Indonesia, tentu sosoknya memiliki pengaruh terhadap para pengikutnya, utamanya dalam hal pilihan politik .
Juga ada Atta Halilintar yang subscribers nya mencapai 8 juta, bahkan Atta dinobatkan sebagai YouTuber dengan subscribers terbanyak di Indonesia yang banyak menjadi role model bagi generasi milenial di Indonesia.
Yang terbaru dan masih menunggu jadwal tayang adalah konten #nebengboy di channel presenter sekaligus YouTubers, Boy William, yang memiliki pengikut sebanyak 700 ribu lebih tersebut. Program yang mirip dengan carpool karaoke ala The Late Late Show yang dipandu oleh James Corden di Inggris tersebut, seringkali menembus viewer lebih dari 2 juta.
Namun seberapa efektifkah daya persuasi para influencer YouTube tersebut?
Jika berbicara efektifitas political endorsement melalui YouTube, bisa saja memang platform ini menjadi fenomena baru dalam dunia komunikasi dan marketing politik. Namun, tentu strategi pemanfaatan YouTube masih perlu dipertanyakan efektivitasnya.
Pada akhirnya, YouTube memang menjadi salah satu platform alternatif yang terjangkau sekaligus low cost namun dapat dikatan memiliki dampak elektoral. Kejelian petahana dalam memanfaatkan perubahan teknologi dan peluang menjadi salah satu kekuatan dalam menghadapi 2019.
Meskipun begitu, petahana tak boleh hanya mengandalkan strategi kampanye virtual saja. Ragam cara lain masih terbuka, sehingga fokus hanya pada YouTube saja bisa saja bukan hal yang bijak. (M39)