Portal berita South China Morning Post (SCMP) menurunkan artikel yang menyorot larangan kepemilikan lahan yang menimpa warga beretnis Tionghoa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Benarkah Pemerintah Yogyakarta diskriminatif?
PinterPolitik.com
“Prejudice and discrimination based on our differences is an unfortunate fact of life.”
– Bonnie Hammer, Chairman NBC Universal Cable –
[dropcap]S[/dropcap]etelah beberapa waktu menjadi konsumsi pemberitaan dalam negeri, persoalan larangan kepemilikan lahan terhadap warga Tionghoa di Yogyakarta akhirnya muncul di pemberitaan media internasional.
Dalam artikel yang berjudul Why are ethnic Chinese still being denied land in Indonesia, SCMP menyoroti bagaimana Pemerintah Yogyakarta masih memberlakukan kebijakan pelarangan kepemilikan lahan bagi warga beretnis Tionghoa, sekalipun Indonesia telah mengeluarkan aturan penghapusan diskriminasi berbasis Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA).
Pemberitaan tersebut menjadi menarik perhatian karena dimuat oleh media asing, apalagi pasca Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan atas Surat Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta Nomor 898/I/A/1975 tentang Larangan Kepemilikan Hak atas Tanah bagi Warga Nonpribumi di Yogyakarta pada akhir Februari 2018.
Dengan embel-embel diskriminasi di belakangnya, topik ini mendapatkan momentum, apalagi pasca aksi-aksi intoleran yang juga terjadi di wilayah yang kini dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
ketika cadar di larang ada yang bilang itu wewenang kampus nah ini juga sama…itu wewenang gubernur…
— abinayasir (@abinayasir) March 10, 2018
Sebelumnya, memang disebutkan bahwa Pemerintah Yogyakarta tidak mengizinkan warga Tionghoa untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang dibeli. Jika ingin membeli tanah, maka SHM pemilik sebelumnya akan diturunkan statusnya sebagai Hak Guna Bangungan (HGB) saat akan diubah status kepemilikannya. Adapun kepemilikan tanah tersebut dikembalikan kepada negara.
Adanya aturan yang demikian membuat banyak pihak menilai persoalan diskriminasi berbasis SARA – dalam hal ini etnositas – masih sangat kuat terjadi di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Padahal, kota yang dikenal sebagai tujuan wisata dan pendidikan ini dikenal karena predikatnya sebagai daerah yang menjunjung pluralisme. Jika demikian, apakah benar tuduhan SCMP bahwa Pemerintah Yogyakarta bersikap diskriminatif?
Benturan Undang-Undang?
Jika dirunut, Surat Instruksi Wakil Gubernur pada tahun 1975 yang ditandatangani Paku Alam VIII memang berisi permintaan pada bupati dan walikota di wilayah Yogyakarta untuk tidak menerbitkan SHM bagi tanah milik warga non-pribumi keturunan Tionghoa, Arab, India, dan yang lainnya. Aturan ini dikeluarkan sebagai bagian kebijakan untuk melindungi warga lokal pribumi dari pesatnya industrialisasi di era Orde Baru.
Namun, pada tahun 1983, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengumumkan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 berlaku penuh di Yogyakarta. Kebijakan tersebut membuat warga non-pribumi diperbolehkan memiliki SHM atas tanah yang dibeli.
Lalu, seiring berjalannya waktu, pada tahun 2012, lahirlah UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasca pengesahan UU tersebut, Surat Instruksi Wakil Gubernur 1975 seperti dihidupkan kembali. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya kasus pelarangan kepemilikan tanah terhadap warga non-pribumi di Yogyakarta.
Sementara itu, pemerintah nasional berlindung di balik UU Keistimewaan Yogyakarta dan menyebut bahwa persoalan ini menjadi bagian dari keistimewaan Yogyakarta. Namun, aturan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat 2 yang menjamin bahwa setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak atas perlindungan dari perlakuan diskriminatif.
Selain itu, ada UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang juga dilanggar oleh kebijakan tersebut.
Bagi pihak-pihak yang mendukung Surat Instruksi 1975, argumentasi utamanya adalah bahwa masalah pertanahan menjadi bagian dari UU Keistimewaan Yogyakarta. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 7 ayat 2 UU Keistimewaan Yogyakarta yang memang menyebut persoalan pertanahan menjadi bagian dari keistimewaan yang dimiliki oleh Pemerintah Yogyakarta.
Artinya, dari sudut pandang UU Keistimewaan, Pemerintah Yogyakarta memang berhak membuat kebijakan yang berhubungan dengan persoalan pertanahan di Yogyakarta, termasuk memutuskan untuk kembali memberlakukan aturan tentang kepemilikan tanah bagi warga non-pribumi. Selain itu, Surat Instruksi tersebut juga dianggap sebagai kearifan lokal – semacam hukum adat yang harus dilestarikan, berkaitan dengan status cagar budaya Yogyakarta.
Jika demikian, persoalannya mengapa kebijakan tersebut mendapat penekanan ketika terjadi pada warga beretnis Tionghoa?
Benturan Masa Lalu
Faktanya, naik turunnya hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dengan komunitas Tionghoa di Yogyakarta telah terjadi sejak lama. Di zaman penjajahan Belanda, para pedagang berdarah Tionghoa dianggap lebih dekat dengan penguasa, dalam hal ini kaum penjajah. Ketika terjadi perlawanan rakyat, kelompok Tionghoa yang mayoritas saudagar akhirnya turut dimusuhi warga pribumi.
Sejarahwan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Djoko Suryo mengatakan bahwa di masa revolusi, komunitas Tionghoa kurang menunjukkan dukungan dalam perang melawan Belanda, bahkan ingin meninggalkan Yogyakarta saat pecah pertempuran.
Saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memberi ultimatum kepada warga Tionghoa. Jika pergi saat rakyat sedang berperang, maka selamanya mereka tidak boleh kembali ke Yogyakarta. Warga Tionghoa kemudian memilih tetap tinggal.
Hubungan kurang harmonis itu juga berlanjut di era Orde Baru, ketika Soeharto memberikan banyak fasilitas kepada para pengusaha Tionghoa. Sultan yang melihat persoalan ini kemudian mengambil langkah antisipasi, termasuk melalui Surat Instruksi larangan kepemilikan lahan yang dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada tahun 1975.
Tujuannya adalah agar warga lokal tidak tersingkir oleh kebijakan pembangunan Soeharto. Pada era pembangunan tersebut, terjadi pembebasan tanah dan pembangunan secara masif, sehingga warga lokal makin lama mulai tersingkir.
Sementara, komunitas Tionghoa menjadi kelompok yang mampu menduduki posisi tanah perkotaan yang diperuntukkan bagi bisnis dan perdagangan karena secara ekonomi, mereka lebih mampu dan punya modal kuat.
Artinya, aturan yang dikeluarkan tersebut bertujuan untuk melindungi warga lokal pribumi. Sultan Hamengkubuwono IX menyadari bahwa jika dibiarkan bersaing terbuka dengan warga keturunan, maka warga pribumi lokal pasti akan kalah dan tersingkir. Argumentasinya adalah tanpa aturan yang demikian, suatu saat tanah di Yogyakarta akan dikuasai oleh kelompok yang kuat secara ekonomi, dan pada akhirnya dipastikan konflik juga akan tetap terjadi.
Apa ada kaitan pelarangan mahasiswi bercadar di kampus (yg kebetulan berada di yogyakarta) dgn pelarangan china (non pribumi asli) oleh sultan utk memiliki tanah di yogyakarta ? Agar tjd kegaduhan ? Sehingga status keistimewaan yogya dicabut ???
— Rudi NazrudinRukmana (@RudiRukmana) March 6, 2018
Dengan demikian, benturan UU sebetulnya juga mewakili benturan masa lalu. Selain itu, UU Keistimewaan Yogyakarta membuat persoalan tanah di wilayah ini harus dipandang sama posisinya, katakanlah, dengan penerapan Syariat Islam di Aceh – daerah yang juga punya keistimewaan.
Pemerintah Yogyakarta memang menganggap Surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 sebagai bagian dari hukum adat lokal yang perlu dijaga, sama seperti ketika Aceh menerapkan hukuman cambuk untuk pelanggaran-pelanggaran hukum.
Kebangsaan Belum Selesai?
Lalu, apakah Pemerintah Yogyakarta diskriminatif seperti yang dituduhkan SCMP? Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana persoalan ini dilihat.
Pada tahun 2014 dan 2015, Komnas HAM memang telah memberikan rekomendasi pada Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mencabut atau menyatakan Surat Instruksi tahun 1975 tersebut tidak berlaku. Alasannya, sejak tahun 1998 penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi telah dilarang.
Selain itu, diskriminasi atas dasar kesukuan dan etnis juga telah dihapus lewat UU nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Artinya, dalam payung diskriminasi etnositas, kebijakan ini memang cenderung diskriminatif.
Namun, dalam konteks budaya dan keistimewaan Yogyakarta, aturan ini juga tidak bisa disalahkan karena berkaitan dengan kearifan lokal pada zamannya.
Walaupun demikian, mungkin perlu bagi Pemerintah Yogyakarta untuk kembali melihat kebijakan ini. Jika tujuannya untuk melindungi warga kecil, maka kebijakan yang dibuat mungkin lebih baik berbasis pada kelas sosial masyarakat (kemampuan ekonomi), ketimbang kebijakan yang berbasis pada SARA. Jika tetap mendasarkan pada SARA, maka cap diskriminatif mau tidak mau tetap akan melekat pada Yogyakarta.
Selain itu, Yogyakarta diprediksi masih akan menjadi salah satu daerah tujuan investasi seiring menggeliatnya sektor pariwisata di kota budaya tersebut. Artinya, akan ada pertumbuhan di sektor properti dalam beberapa tahun ke depan, termasuk terkait harga lahan. Dengan demikian, sangat mungkin ada begitu banyak kepentingan yang berseliweran di balik kebijakan ini.
Pada akhirnya, di tahun politik ini, Yogyakarta masih akan menjadi salah satu wilayah yang disorot terkait isu SARA, seiring beberapa kejadian yang belakangan terjadi di wilayah tersebut. Sangat mungkin persoalan yang berkaitan dengan isu ini akan menjadi alat politik untuk saling serang satu sama lain. Bagaimanapun juga, seperti kata Bonnie Hammer di awal tulisan ini, diskriminasi adalah fakta yang tak terhindarkan dalam hidup manusia. (S13)