Pertemuan PPP dan PKS melahirkan wacana poros partai Islam di 2024. Namun, dengan sekelumit masalah yang ada, khususnya presidential threshold (PT) 20 persen, poros Islam dinilai akan sulit terbentuk. Mungkinkah Yenny Wahid adalah kunci dari realisasi wacana tersebut?
Dalam artikel PinterPolitik.com sebelumnya, Poros Islam Karam di Dermaga, telah dijabarkan faktor-faktor yang menjadi ganjalan terbentuknya poros partai Islam di 2024. Seperti yang diketahui, wacana poros Islam mencuat setelah pertemuan PPP dan PKS.
Terkhusus persoalan presidential threshold (PT) 20 persen, yang memang menjadi ganjalan utama untuk mencalonkan kandidat, poros Islam sangat membutuhkan dukungan dari PKB. PAN tidak dapat dimasukkan karena telah menolak wacana sedari awal.
Gabungan suara PPP (4,52 persen) dan PKS (8,21 persen) hanya mencapai 12,73 persen. Ini jauh dari PT 20 persen. Tanpa PKB yang memiliki suara 9,69 persen, sehingga total suara menjadi 22,42 persen, poros partai Islam tidak dapat mencalonkan kandidat dan kemungkinan besar hanya menjadi partai pendukung, sama seperti edisi pilpres sebelumnya.
Kondisinya menjadi cukup sulit karena PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin atau Gus AMI disebut-sebut menjalankan politik pragmatis dan oportunis, seperti Partai Golkar, PKB terlihat selalu mendekatkan diri pada kekuasaan. Persoalan ini telah dibahas dalam artikel PinterPolitik.com, Cak Imin Buat PKB Jadi Golkar?.
Namun, kondisinya mungkin akan berbeda. Baru-baru ini tercium isu akan ada Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB karena diduga telah terjadi pelanggaran Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) hasil Muktamar Bali 2019.
Isu ini juga mencuatkan nama pengganti Cak Imin. Ada dua nama terdepan, yakni putri Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut).
Berbeda dengan Gus Yaqut yang memberi bantahan dan menegaskan hubungan baiknya dengan Cak Imin, Juru Bicara Yenny Wahid, Imron Rosyadi Hamid justru memberi penegasan atas masalah internal partai lebah.
Tegasnya, terdapat kekecewaan dari kader PKB karena hilangnya mekanisme demokrasi dalam tubuh partai. Ada pula sentimen minor karena partai dilihat semakin menunjukkan watak oligarki.
Di sini konteksnya menjadi menarik. Katakanlah terjadi MLB dan Yenny Wahid terpilih sebagai Ketua Umum PKB, mungkinkah poros partai Islam akan terbentuk?
Strategi Diferensiasi
Jika benar terdapat kekecewaan di internal PKB, kubu Yenny Wahid dapat memanfaatkannya untuk mendulang dukungan. Ini dapat kita lihat pada kasus Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Seli Serdang, Sumatera Utara, yang dilakukan oleh kubu Moeldoko.
Seperti yang ditegaskan oleh Jusuf Kalla (JK) selepas ditemui Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), masalah Partai Demokrat bermula pada persoalan internal. Marzuki Alie Cs kemudian mengkapitalisasinya untuk membuat gelombang ketidakpuasan.
Dalam artikel PinterPolitik.com, Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat, telah dibahas bahwa kapitalisasi tersebut dapat dipahami sebagai bentuk operasi intelijen, yakni tahap infiltrasi.
Terlepas dari gagalnya KLB Deli Serdang mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), kapitalisasi masalah internal jelas merupakan strategi mumpuni. Betapa tidak, Moeldoko yang bukan merupakan kader partai mercedes bahkan dapat dinobatkan sebagai ketua umum partai.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 2016, Donald Trump menunjukkan betapa signifikannya strategi kapitalisasi kekecewaan semacam itu. Di edisi Pilpres 2016, banyak pengamat politik begitu terkejut dengan kemenangan Trump menjadi Presiden Amerika Serikat (AS).
David Smith dalam tulisannya How Trump won the election: volatility and a common touch di The Guardian menjelaskan pendekatan (pesan) sederhana Trump yang membuatnya mendapat simpati luas. Trump menyalin dan menyusun kembali janji Ronald Reagan dalam slogannya “make America great again”. Dalam empat kata itu, ia menangkap pesimisme dan optimisme, baik ketakutan maupun harapan.
Slogan itu adalah pesan sederhana yang langsung masuk ke hati, bukan kepala. Trump dengan jelas menyasar patriotisme Amerika. Ia paham terdapat tebaran kekecewaan di tengah masyarakat Amerika karena merasa diabaikan oleh negara.
Proteksionisme ekonomi Trump dengan presisi menangkap kekhawatiran terhadap imigran. Di luar perdebatannya, itu adalah narasi politik mumpuni untuk membangkitkan patriotisme di tengah gelombang globalisasi.
Dalam beberapa kesempatan, Yenny Wahid terlihat berusaha menggunakan strategi diferensiasi dengan mengangkat persepsi kekecewaan. Pada Agustus 2018, misalnya, Yenny mengingatkan agar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) harus berjalan sesuai dengan khittah NU, yakni tidak boleh berpolitik praktis. Jika mengacu pada Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the politics trap, pesan itu bisa dibaca ditujukan kepada Cak Imin.
Menurut Fealy, di bawah Cak Imin lah NU secara terbuka menunjukkan afiliasi politiknya. Tidak hanya itu, Fealy juga menyebut Gus AMI menjalankan strategi penyaluran dana dan aset untuk mengamankan dukungan NU untuk PKB.
Konteks yang disebutkan Fealy sekiranya menunjukkan persoalan-persoalan yang disebutkan oleh Juru Bicara Yenny Wahid. Lalu, ada pula gelagat Cak Imin yang menjaga hubungan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Yenny dapat memanfaatkannya untuk melakukan strategi diferensiasi untuk menguatkan citra PKB sebagai partai Islam.
Seperti yang diketahui, PDIP adalah partai nasionalis yang citranya kurang begitu baik di kelompok-kelompok dalam beberapa tahun terakhir ini.
Sekarang tantangannya, seberapa baik kubu Yenny Wahid mampu mengkapitalisasi persoalan internal yang ada.
Hindari Dua Poros
Kita kembali pada wacana poros Islam. Katakanlah, dengan segala dinamika yang ada Yenny Wahid berhasil menjadi Ketua Umum PKB, mengapa Yenny harus mendorong poros Islam?
Pertama, ini dapat menjadi politik diferensiasi yang bagus. Kedua, dan mungkin yang utama, ini dapat menjadi jalan untuk menghindari dua poros yang melahirkan polarisasi ekstrem seperti di Pilpres 2019.
Melihat gelagat safari para ketua umum partai, misalnya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, kita dapat memproyeksi tiga poros berikut di 2024. Pertama, tentunya adalah partai pemenang, PDIP, yang kemungkinan besar bersama Partai Gerindra. PDIP dengan 19,33 persen dan Gerindra dengan 12,57 persen telah memenuhi PT dengan total suara 31,9 persen.
Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?
Kedua, ada Golkar (12,31 persen) dan Nasdem (9,05 persen) dengan total suara 21,36 persen. Ketiga, poros partai Islam yang diisi oleh PPP, PKS, dan PKB. Total suaranya telah dibahas sebelumnya.
Tidak sekadar membentuk tiga poros, itu juga merepresentasikan NASAIN, yakni Nasionalis, Agamis, dan Insan Bisnis. Ini adalah tiga kelompok utama kekuatan politik di Indonesia. Nasionalis tentunya adalah PDIP dan Gerindra. Insan Bisnis diisi oleh Golkar dan Nasdem yang memang merupakan partainya para pengusaha. Lalu Agamis adalah poros partai Islam.
Sekalipun hanya proyeksi, yang mungkin cukup sulit terbentuk jika mengacu pada pragmatisme parpol di Indonesia, tiga poros tersebut sekiranya dapat menjadi angin segar dalam pertarungan politik nasional.
Masalahnya, ini bukan sekadar perbedaan corak ideologi atau kategorisasi NASAIN semata, melainkan dapat membantu publik untuk menentukan pilihan. Persoalan ini misalnya dapat kita lihat di Pemilu AS yang selalu menampilkan seteru keras antara Partai Demokrat dan Partai Republik.
Perbedaan ideologi yang kentara, membantu masyarakat negeri Paman Sam dalam menentukan kebijakan politik dan ekonomi yang mereka inginkan. Partai Demokrat, misalnya, menekankan pendekatan ekonomi yang fokus pada demand (permintaan). Itu membuat sasaran subsidi diberikan ke kelompok menengah ke bawah.
Baca Juga: Jokowi Sangat Butuh Kemenangan Trump?
Sementara Partai Republik, pendekatan ekonomi yang fokus pada supply (penawaran) membuat subsidi diberikan ke para pengusaha. Umumnya berbentuk pemotongan pajak.
Well, pada akhirnya tulisan ini hanyalah proyeksi semata. Wacana MLB PKB pun belum begitu keras baunya. Kita amati saja perkembangannya. Selain itu, ada pula persoalan narasi politik PBNU saat ini yang tampaknya sejalan dengan PDIP dalam hal melawan intoleransi. (R53)