Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid, menyatakan siap untuk menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Yenny juga mengaku dekat dengan ketiga bakal calon presiden (bacapres).
“I am no ordinary woman. My dreams come true” – Daenerys Targaryen, Game of Thrones (2011-2019)
Di sebuah negara yang terdiri atas tujuh kerajaan, the Seven Kingdoms, membaralah sebuah perang antar-trah. Persaingan antar-trah ini terjadi untuk memperebutkan Takhta Besi – atau yang lebih dikenal sebagai the Iron Throne.
Persaingan antar-trah ini akhirnya mengerucut hingga tiga keluarga bangsawan, yakni Lannister, Stark, dan Targaryen. Targaryen pun sebenarnya bisa dibilang bangkit kembali usai sebelumnya dikalahkan dalam pemberontakan yang melibatkan Lannister dan Stark.
Meski tidak sama persis, persaingan politik antar-trah di serial Game of Thrones (GoT) (2011-2019) ini bisa dibilang mirip dengan persaingan antar-trah elite politik di Indonesia. Baik secara langsung maupun melalui sosok yang ditunjuk, persaingan antar-trah di Indonesia masih terjadi hingga kini.
Trah Soekarno, misalnya, hingga kini masih mengisi dinamika perpolitikan Indonesia. Putri Presiden pertama RI Soekarno, Megawati Soekarnoputri, masih menjadi figur sentral di PDIP hingga saat ini.
Selain trah Soekarno, ada juga trah-trah baru lainnya. Mungkin, salah satunya bisa dibilang adalah trah Wahid yang bersinar melalui organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) pada era Orde Baru dan awal era Reformasi.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sendiri akhirnya menjabat sebagai presiden ke-4 Indonesia pada tahun 1999. Namun, pada tahun 2001, Gus Dur diberhentikan dari jabatannya oleh DPR.
Berbagai cerita soal pelengserannya pun beredar. Sejumlah pihak menyebutkan bahwa terdapat peran elite-elite Reformasi kala itu, seperti Amien Rais dan Megawati.
Belum lagi, pada tahun 2007, terdapat konflik antara Gus Dur dengan keponakannya, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di internal PKB. Konflik ini membuat sejumlah Gusdurian, seperti putrinya yang bernama Lily Wahid, dicopot dari posisi-posisi penting di PKB.
Namun, tidak dipungkiri, meski telah meninggal dunia sejak tahun 2009 silam, nama Gus Dur tetap dihormati di kalangan NU. Jaringan Gusdurian pun dinilai masih memiliki pengaruh di antara Nahdliyin dan PKB.
Terakhir, putri Gus Dur, Yenny Wahid, mengaku mengenal dekat setiap bakal calon presiden (bacapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – mulai dari Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, hingga Anies Baswedan.
Pernyataan Yenny pun akhirnya ditanggapi oleh banyak pihak. Partai NasDem, misalnya, menyambut baik. Sebaliknya, Partai Demokrat menanggapi dengan penuh ragu.
Tidak hanya dari kubu Anies, PDIP pun turut menanggapi. Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengatakan bahwa PDIP terbuka dengan potensi Yenny untuk menjadi bacawapres bagi Ganjar.
Mengapa pernyataan Yenny ini bisa menimbulkan riuh dalam dinamika elektoral menjelang tahun 2024? Mungkinkah ini menjadi awal untuk kembalinya trah Wahid ke kancah perpolitikan nasional?
Yenny, Kunci ke NU Gusdurian?
Tidak dapat dipungkiri, kehadiran Yenny bisa menjadi kunci untuk mengakses ceruk pemilih yang menjanjikan di Pilpres 2024. Bukan tidak mungkin, karena ini, pernyataan Yenny seakan-akan menjadi sinyal dimulainya kompetisi untuk mengambil suara kelompok NU – utamanya mereka yang dekat dengan gerakan Gusdurian.
Sejak beberapa pilpres lalu, Yenny selalu tampil sebagai wajah dari jaringan Gusdurian. Pada Pilpres 2019 lalu, misalnya, Yenny menjadi tokoh yang menonjol sebagai bagian dari keluarga Gus Dur.
Perebutan ceruk suara keluarga Gus Dur dan Gusdurian ini juga terjadi antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 silam. Pasalnya, banyak dari mereka yang disebut Gusdurian bukanlah mereka yang berada di posisi-posisi struktural di Pengurus Besar NU (PBNU) dan PKB.
Pasalnya, mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul 2024, Siapa Mau Gandeng NU?, NU sendiri dibagi menjadi dua jenis Nahdliyin. Pertama, terdapat NU struktural yang merupakan organisatoris dari NU. Kedua, terdapat juga para Nahdliyin yang disebut NU kultural, yakni mereka yang lebih memiliki keterikatan secara kultural, keagamaan, dan ideologi dengan NU tanpa terlibat secara organisasi.
Di kelompok kedua inilah, Yenny, keluarga Gus Dur, dan Gusdurian memiliki keleluasaan untuk bergerak. Pasalnya, Gusdurian bukanlah jaringan massa yang bergantung secara institusional, melainkan mereka adalah individu-individu yang terikat secara pandangan politik dan ideologi dengan sosok Gus Dur.
Seperti yang dijelaskan oleh Akhol Firdaus dalam tulisannya yang berjudul Menjahit Kain Perca: Gusdurian dan Konsolidasi Gerakan Pluralisme di Indonesia, gagasan-gagasan ala Gus Dur – seperti toleransi, kemanusiaan, dan pluralisme – kerap menjadi motivasi gerakan politik jaringan ini.
Setidaknya, dengan menggandeng Yenny dan Gusdurian, calon yang berkaitan bisa saja mendapatkan ceruk suara dari kelompok NU kultural yang sejalan dengan gagasan Gus Dur. Bahkan, bukan tidak mungkin, calon tersebut bisa saja menarik suara dari kelompok non-NU yang sejalan dengan gagasan Gus Dur.
Namun, pengaruh Yenny dan Gusdurian tidak hanya menjanjikan bagi kandidat-kandidat yang bersaing di Pilpres 2024, melainkan menjadi momentum politik bagi Yenny. Mengapa ini bisa jadi momen menjanjikan bagi kembalinya trah Gus Dur?
Kembalinya Trah Gus Dur?
Namun, di luar pentingnya suara Gusdurian dan NU kultural, pernyataan Yenny bisa jadi memiliki makna lebih. Pernyataan atas kesiapan Yenny untuk menjadi bacawapres di 2024 ini boleh jadi juga berkaitan dengan strategi politik dalam pola perpolitikan Indonesia.
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa pola kekuasaan Indonesia banyak diisi dengan politik keluarga – atau mungkin lebih dikenal sebagai politik dinasti. Seperti yang dijelaskan oleh Hagi H. Mukti dan Rodiyah dalam tulisannya Dynasty Politics in Indonesia: Tradition or Democracy?, persaingan kekuasaan di Indonesia memang diisi dengan kehadiran dinasti-dinasti politik.
Mungkin, layaknya kisah GoT yang mana di dalamnya terdapat nilai-nilai yang dibawa oleh trah masing-masing, setiap trah juga memiliki kepentingan politik yang dibawa. Pasalnya, selama ini, keluarga Gus Dur bisa dibilang tidak memiliki akses langsung terhadap kekuasaan layaknya trah-trah lain, seperti trah Soekarno.
Bukan tidak mungkin, dengan memiliki kesempatan untuk menjadi pejabat publik, Yenny bisa memiliki akses lebih terhadap kekuasaan – misal untuk menentukan arah kebijakan publik yang sejalan dengan gagasan-gagasan Gus Dur. “Jabatan publik apapun adalah alat yang paling cepat untuk bisa membuat perubahan-perubahan kebijakan di masyarakat,” ujar Yenny pada 8 Agustus 2023 lalu.
Namun, layaknya GoT, terdapat sumber-sumber kekuatan yang turut menentukan pengaruh setiap trah. Trah Lannister, misalnya, memiliki akses yang luas terhadap sumber kapital yang bisa saja ditransformasikan menjadi modal-modal politik – misal dengan memperkuat sistem patron-klien bagi trah Lannister.
Bagi trah Gus Dur di Indonesia, modal politik yang dimiliki mungkin hanyalah luasnya jaringan Gusdurian dan NU kultural yang mengidentifikasikan diri mereka dengan ideologi Gus Dur. Namun, tentu saja, modal politik ini juga belum bisa terukur dengan baik.
Justru, trah Gus Dur memiliki hambatan besar. Tidak seperti trah lainnya yang memiliki modal institusional – seperti partai politik, trah Gus Dur tidak memiliki kemampuan untuk memobilisasi pendukungnya melalui organisasi-organisasi kepartaian yang berwujud.
Inilah mengapa trah Gus Dur belum tentu memiliki potensi besar untuk kembali mengisi politik antar-trah di Indonesia. Boleh jadi, layaknya trah Stark, Yenny dan trah Gus Dur harus memanfaatkan banyak sumber dengan baik guna mengembalikan posisi mereka di perebutan antar-trah atas “Takhta Besi” negeri ini. (A43)