Nama Moreno Soeprapto sudah tenggelam, kini Gerindra menjadikan Yenny Wahid sebagai sorotan. Sudi dan mampukah Yenny meraup suara millenial Jatim?
PinterPolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]ika Gerindra adalah panitia acara pentas seni (Pensi) di sebuah sekolah menengah, ia pasti sudah membuat seisi sekolah penasaran sampai harap-harap cemas. Mengapa? Sebab artis yang akan tampil di Pensi, belum juga diumumkan. Nama-nama penyanyi yang disebutkan tak pernah pasti, malah semakin tak jelas kelanjutannya.
Tapi untungnya, Gerindra bukan partai spesialis Pensi. Hanya saja penggambaran itu, paling dekat untuk menjelaskan usaha Gerindra menerbitkan calon ‘bersinar’ dari partainya. Sempat tersirat sedikit ketidakpercayaan diri, sebab mereka tak pernah benar-benar meresmikan sebuah nama untuk berlaga di gelaran Pilgub Jatim 2018 ini.
Bagaimana kelihatan tidak percaya diri? Mulai dari La Nyalla hingga Moreno Soeprapto sempat disebut dan tak jelas juntrungan-nya. Untung rugi sudah dihitung, namun kedua nama tersebut hilang dan kembali berganti. Kini nama Yenny Wahid muncul. Anak kandung mantan Presiden ke-4, Gus Dur, dikabarkan akan mengisi posisi sebagai calon Gubernur dari Gerindra.
Ah, dibandingkan tidak percaya diri, Gerindra terlihat tak kuat pendirian. Apa jangan-jangan inilah strategi yang dilancarkan? Jika benar demikian, apakah Yenny bisa menjadi ‘pelabuhan terakhir’ Gerindra? Mampukah ia bertarung melawan dua bangsawan NU lainnya?
Yenny dan Dua Bangsawan NU
Jika Gerindra masih berada di tahap strategi ‘cek ombak’, dua penantangnya, yakni Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah mantap jauh-jauh hari.
Pembahasan suara yang terpecah di kubu NU memang sudah lewat, tetapi peristiwa itu masih pantas jadi bahan pertimbangan. Baik Khofifah dan Gus Ipul, sama-sama berasal dari NU. Namun Khofifah lebih memilih menerima pinangan dari Partai Hanura, Golkar, NasDem, dan PPP dan menjadi saingan partai induknya sendiri.
Pendampingnya tak kalah seru. Emil Dardak juga lebih memilih ‘membelot’ dari partai asalnya, PDI Perjuangan, untuk bergabung dengan Khofifah. Padahal PDI Perjuangan bersama dengan PKB, sudah mengusung Gus Ipul dan Azwar Anas di Pilgub Jatim 2018.
Nah, yang tersisa dari remah-remah konflik internal kedua partai itu, memang Gerindra dan PKS, yang masih sibuk hitung menghitung calon dan mengecek ombak.
Khofifah dan Gus Ipul boleh saja percaya diri naik ke pentas Pilgub Jatim 2018. Tetapi mereka juga akan harap-harap cemas dan penasaran, bila tiap waktu nama yang disuguhkan Gerindra terus berganti. Mulai dari La Nyalla, yang sudah keok karena gagal mencari koalisi, lalu pembalap Moreno Soeprapto, dan kini Yenny Wahid.
Jika Gus Ipul, Khofifah, dan Yenny Wahid djajarkan, ketiganya sama-sama memiliki kekuatan yang cukup kuat. Dukungan kaum tradisionalis primordial NU, masih sangat kuat dipegang ketiganya. Namun begitu, suara Gusdurian sudah pasti akan terpecah.
Gus Ipul sudah pasti mengantongi dukungan dari ulama-ulama NU seperti Anwar Iskandar, Hasan Mutawakkil, dan Abdul Halim Iskandar. Perolehan kursi Gus Ipul juga sangat tinggi, dengan berkoalisi dengan PDI Perjuangan, ia mengantongi 39 kursi di DPRD. Tapi tetap saja, Gus Ipul belum bisa ‘ongkang-ongkang kaki’, sebab Khofifah juga kuat dukungannya.
Khofifah sudah aman didukung oleh KH. Salahuddin Wahid (Gus Solah) dan KH Afifuddin Muhajir. Ia juga mengantongi 34 kursi di DPRD Jawa Timur dengan gabungan PPP, Golkar, Hanura, dan Nasdem.
Nah bagaimana dengan Yenny Wahid? Namanya baru saja keluar, jadi wajar saja belum ada pernyataan atau dukungan resmi yang keluar untuknya. Tetapi jika ditelisik, ia pun tak kalah memiliki darah bangsawan NU yang kental. Siapa yang tak kenal dan hormat dengan Gus Dur dan KH Hasyim Asy’ari? Ia adalah anak dan cucu dari dua tokoh besar NU tersebut.
Ia sendiri mengantongi 26 kursi, dengan asumsi jika Gerindra, PKS, dan PAN bersatu. Tentu angka kecil ini memang tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Khofifah dan Gus Ipul. Apalagi jika PAN kemudian lebih memilih mendekat ke Demokrat, Tapi tentu tak ada yang berani menyepelekan keberadaan Yenny di Jatim.
Berebut Suara ‘Rasional’
Jika ketiganya punya kekuatan dari dukungan NU, lantas apa yang bisa menjadi ‘pemecahnya’? Tentu saja kaum muda dan kalangan menengah non-NU. Jumlah ini memang tidak mendominasi seperti kelompok tradisionalis NU yang berada di belakang mereka, tapi suara yang masih ‘mengambang’ ini sangatlah penting untuk ditangkap dan dijaring.
Ini pula yang diamini Dekan Fikom Unitomo Surabaya, Redi Panuju. Menurutnya, baik Gus Ipul dan Khofifah, sama-sama berasal dari keluarga Nahdliyin dan mengandalkan basis primordial yang tradisional, “Sementara itu, yang belum tertampung adalah pemilih kelas menengah yang rasional,” jelasnya.
Tak hanya kelompok yang ‘rasional’, tetapi juga kelompok mudanya. Menurut Catatan Lembaga Konsultasn Politik IT Research Politic Consultant (IPOL) Indonesia, dari 38,85 juta jiwa penduduk Jatim, Ada sekitar 17, 1 juta kelompok usia produkif yang masuk kategori pemilih rasional.
Nah, kelompok milenial, yang lahir pada 1981 – 1994, menempati angka sebanyak 37,68 persen atau sebanyak 14 juta jiwa. “Pemilih (milenial) itu, sangat akrab dengan perangkat media informasi,” kata Maman Suherman, adviser IPOL Indonesia. Milenial, masih menurut Maman, cenderung lebih cerdas dengan melakukan analisa dan pertimbangan komentar publik.
Dari deretan angka di atas, langkah Khofifah menggandeng Emil Dardak sebagai perwakilan suara zaman now sangat wajar, bahkan penting dilakukan. Dardak memang mewakili anak muda nan berprestasi yang bisa dibanggakan. Sementara di kubu Gus Ipul, menggandeng Azwar Anas adalah pilihannya. Mengingat popularitas Dardak lebih tinggi di kalangan milenial, terlebih statusnya sebagai suami dari Arumi Bachsin, tentu mudah bagi Dardak mengalahkan Azwar Anas di belakangnya.
Nah, bagaimana dengan Yenny? Ia sendiri adalah calon termuda, bila dibandingkan dengan Gus Ipul dan Khofifah. Ia enerjik, beragama secara toleran, ditambah dirinya sangat aktif barada di dunia maya, twitter dan Instagram. Keberadaan dirinya sudah populer di kalangan anak muda, tak hanya di ranah Gusdurian saja.
Keberadaannya di Wahid Institute dan pengalamannya sebagai wartawan, mampu mendorong sosoknya sebagai inspirasi bagi perempuan muda berkiprah di dunia intelektual dan birokrat, sambil tak lupa menjadi muslim yang toleran. Ditambah lagi, Yenny Wahid secara umur memang lebih dekat dengan milenial, dibandingkan Gus Ipul dan Khofifah. Yenny Wahid sangat punya potensi meraup suara milenial di Jawa Timur, walau perjalanannya agak berliku dan panjang.
Mampukah Yenny Wahid?
Layaknya artis yang ditunggu pentas, Yenny Wahid lebih dinantikan dan mendapat sambutan lebih meriah, dibandingkan dengan Moreno Soeprapto dan La Nyalla Mattalitti. Bersama Yenny Wahid, usaha Gerindra untuk menciptakan poros tengah, lebih terbuka ketimbang bersama dengan Moreno atau La Nyalla Mattalitti.
Tapi dalam survei popularitas, nama Yenny Wahid masih berada d bawah Khofifah dan Gus Ipul. Menurut Surabaya Survey Center (SSC), Yenny hanya mampu mengantongi angka sebesar 57, 6 persen. Sementara Khofifah ada di angka 96, 8 persen.
Belum lagi soal aksesibilitas, Yenny lagi-lagi kalah jauh dari Khofifah. Yenny memperoleh 48, 9 persen, sementara Khofifah mengantongi 81, 2 persen suara.
Nama Yenny memang masih menempati urutan buncit sebab Gerindra baru menyebutkan namanya baru-baru ini. Tetapi pilihan Gerindra untuk mengusung Yenny, bukanlah hal yang buruk, bahkan jika bisa dikatakan, adalah langkah yang tepat dan logis.
Walau secara survei Yenny kalah telak, sebagai usungan Gerindra, ia memenuhi standar kriteria calon pemimpin Jawa Timur yang lekat dengan darah NU. Selain latar belakang yang cemerlang, Yenny juga memiliki pengalaman politik yang mumpuni. Tentu pilihan Gerindra yang jatuh kepada Yenny, sangat patut diapresiasi.
Yenny Wahid mungkin belum tentu menang jika bertarung dengan Khofifah dan Gus Ipul di Jatim, tapi Gerindra akan kecipratan nama baik di sana. Layaknya Pensi, menang kalah barangkali tak usah jadi persoalan utama buat Gerindra. Sebab yang pasti diingat oleh para ‘penikmat’ adalah pertunjukan yang seru di atas pentas. (A27)