Dengarkan artikel ini:
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terjadi di berbagai tempat. Mengapa seorang menteri dengan latar belakang akademisi seperti Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli belum bisa membuat kebijakan berarti?
โOur greatest strength is the exact opposite of narrow specialization. It is the ability to integrate broadlyโ โ David Epstein, Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World (2019)
Kenny, lulusan teknik mesin dari universitas ternama, baru saja kehilangan pekerjaannya di sebuah pabrik otomotif yang merumahkan ratusan karyawan. Duduk di kos-kosannya di Bekasi, ia menghabiskan waktu membuka portal berita dan mencari tahu siapa sebenarnya menteri ketenagakerjaan (menaker) saat ini.
Ia menemukan nama Yassierli, seorang profesor teknik industri dari Institut Teknologi Bandung yang pernah menulis banyak jurnal soal produktivitas kerja dan ergonomi industri. โWah, harusnya beliau paham banget soal sistem kerja yang manusiawi,โ gumam Kenny, sambil membaca latar belakang akademiknya.
Namun kenyataan yang Kenny hadapi terasa jauh dari teori yang dibahas sang menteri. Tidak ada kebijakan yang terasa melindungi para pekerja seperti dirinya, apalagi membuka peluang kerja baru di tengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Kenny mulai mempertanyakan mengapa banyak perusahaan bisa seenaknya merumahkan karyawan tanpa kejelasan, sementara negara terasa absen dalam memberi perlindungan. Ia merasa seolah kebijakan ketenagakerjaan terlalu dingin, kaku, dan tak menyentuh realitas hidup sehari-hari.
Di media sosial, Kenny membaca banyak cerita serupa: sopir ojek daring, pekerja ritel, sampai staf startup yang tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Ia menyadari bahwa krisis pengangguran ini bukan sekadar soal angka, tapi soal kegagalan menjawab kebutuhan nyata masyarakat pekerja.
Kenny pun menuliskan di blog pribadinya, โKalau menterinya ahli banget di bidang ketenagakerjaan, kenapa aku dan ribuan orang lain tetap kehilangan pekerjaan tanpa arah?โ Lalu ia menutup tulisannya dengan sebuah pertanyaan: mengapa orang yang ahli dalam bidangnya ternyata belum tentu bisa mengatasi persoalan yang ada?
Dilema Specialist vs Generalist
Kenny, yang baru saja kehilangan pekerjaannya akibat PHK massal, masih ingat bagaimana ia sempat berharap pada sosok menaker yang baru, Yassierli. Ia berpikir, jika yang memimpin kementerian adalah seorang profesor teknik industri, setidaknya kebijakan ketenagakerjaan Indonesia akan lebih ilmiah dan solutif.
Namun setelah berminggu-minggu menanti perubahan, Kenny belum merasakan dampaknya. Ia pun mulai mencari tahu lebih dalam, bukan hanya soal Yassierli, tapi juga soal kenapa orang yang sangat ahli sekalipun bisa gagal menangani krisis.
Dalam pencariannya, Kenny menemukan buku Range karya David Epstein yang menjelaskan pentingnya kemampuan lintas-disiplin dalam menghadapi masalah kompleks. Epstein menulis, โthe more successful people tend to have range โ a broad base of knowledge and diverse experiences โ rather than hyperspecialization.โ
Kenny mulai memahami bahwa keahlian mendalam, seperti yang dimiliki Yassierli, mungkin sangat berguna di laboratorium atau ruang kuliah. Tapi ketika dihadapkan pada kenyataan sosial-politik yang penuh dinamika, keahlian teknis saja tidak cukup.
Ia membayangkan bagaimana seorang spesialis bisa kesulitan beradaptasi di ruang yang menuntut negosiasi politik, empati sosial, dan kemampuan komunikasi massa. Dalam konteks inilah, menurut Epstein, seorang generalist justru lebih mampu menangani tantangan yang tidak punya jawaban tunggal.
Bagi Kenny, pertanyaan itu makin relevan ketika ia melihat para pekerja terus terlantar meski sang menteri begitu โpintar.โ Maka ia pun bertanya dalam hati: mengapa menteri yang punya pengetahuan luas di bidangnya tidak menjamin keberhasilannya dalam mengatasi krisis atau membuat kebijakan?
IG
Waspada Menteri-menteri Berikut?
Alhasil, Kenny tak hanya sibuk melamar pekerjaan baru, tapi juga mulai mempertanyakan sistem yang membuatnya terpuruk. Ia penasaran kenapa pemerintah seolah gagap menghadapi gelombang PHK, padahal kementerian tenaga kerja kini dipimpin oleh seorang profesor yang sangat ahli di bidang produktivitas kerja.
Kenny pun membuka laptopnya dan membaca lebih dalam tentang Yassierli, Menteri Ketenagakerjaan yang merupakan akademisi teknik industri dari ITB. Ia juga menemukan konsep bernama policy triangle frameworkโkerangka yang menjelaskan bahwa kebijakan publik tidak hanya bergantung pada isi (content), tapi juga konteks (context), aktor (actors), dan proses (process).
Ia lalu membandingkan Yassierli dengan tipe menteri lain: konsultan, politisi, dan pialang. Kenny menyadari bahwa masing-masing punya kelebihan, tapi juga membawa kelemahan mendasar bila terlalu mengandalkan satu jenis keahlian saja.
Sebagai akademisi, Yassierli mungkin unggul dalam merancang kebijakan yang logis dan sistematis. Tapi Kenny merasa kebijakan itu gagal menyentuh realitas sosial karena tak cukup mempertimbangkan konteks lapangan, jaringan kekuasaan, atau proses politik yang tak selalu rasional.
Ia membayangkan seorang konsultan mungkin bisa merancang solusi efisien tapi kurang sensitif secara sosial, sementara politisi bisa membangun legitimasi publik namun sering terjebak populisme. Di sisi lain, broker atau pialang mahir dalam negosiasi tapi rawan konflik kepentingan.
Dari pembacaan itu, Kenny menyimpulkan bahwa krisis tenaga kerja tidak bisa diselesaikan oleh orang yang hanya ahli dalam satu hal. Pemerintahan yang efektif justru membutuhkan pemimpin yang sadar akan batas keahliannya dan mampu melengkapi kelemahannya melalui kolaborasi. Bukan begitu? (A43)