Site icon PinterPolitik.com

Yahya, Simbol Propaganda Israel?

Kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Israel. (Foto: Istimewa)

Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana  – Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]unjungan Khatib Aam PBNU, Yahya Cholil ke Israel menuai kritik pedas. Tak hanya di Indonesia, Pemerintah Palestina pun menilai tindakan Yahya merupakan inkonsistensi perjuangan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina.

Kritik itu ada benarnya, paling tidak sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang seharusnya turut aktif dalam menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia sekaligus pernah menyelamatkan Indonesia dari konfrontasi politik global. Namun, rasanya, terkait Palestina Indonesia punya cerita sendiri.

Kritik juga diutarakan oleh Komunitas Indonesia di Palestina, yang menilai langkah Yahya tidak pas pada waktunya, di tengah kebijakan Israel yang rasis dan agresif kepada rakyat Palestina.

Namun, ketika kritik pada Yahya makin luas –yang terutama datang dari  kelompok oposisi pemerintah– Yahya pun mulai  berdalih jika kehadirannya pada forum American Jewish Community (AJC) merupakan sikap pribadi dan bukan merupakan representasi pemerintah Indonesia.

Namun, rakyat sulit menerima dalih Yahya, mengingat posisinya yang begitu dekat dengan pemerintah. Apalagi belakangan diketahui Yahya merupakan orang dekat Joko Widodo. Ia baru saja dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada Mei 2018 silam.

Selain itu, alasan lain yang muncul adalah atas nama perdamaian dan rekonsiliasi. Alasan ini benar, dan memang, pada diskusi yang bertajuk “Shifting the Geopolitical Calculus: From Conflict to Cooperation” Yahya bicara soal itu.

Namun, sayangnya, satu hal yang tidak dipahami Yahya ialah: Dirinya tak menyadari apakah forum yang diprakarsai oleh AJC itu memiliki agenda politik terselubung atau tidak? Dengan begitu, fatalnya, Yahya dalam kasus ini, bisa saja berperan sebagai boneka Israel.

Kritik atas AJC

Menurut Shamsi Ali, aktifis dialog antara agama di Amerika Serikat (AS) yang juga dikenal sebagai penentang keras ekstremisme sekaligus pendakwah di mesjid Islamic Cultural Center, New York.

AJC merupakan organisasi non pemerintah yang sarat dengan kepentingan untuk memperjuangkan kemerdekaan Israel. Pada awal terbentuknya AJC bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak Yahudi di Amerika. Organisasi ini juga memiliki networking internasional yang luar biasa.

Kendati, pasca berdirinya negara Israel, tujuan AJC berbelok cepat dan mulai melakukan lobi kepentingan Israel di dunia. Tentu rakyat Palestina adalah korban dari politik diskriminatif yang dijalankan AJC selama ini.

Tak hanya Shamsi Ali, respons juga datang dari Yon Machmudi, pengamat Timur Tengah, Universitas Indonesia. Menurut Yon, kehadiran Yahya ke pada forum AJC sangat menguntungkan Israel secara politik.

Kiranya, pendapat Yon ada benarnya. Ini artinya Yahya memang tak paham bagaimana agenda politik Israel bekerja dibalik kehadirannya dalam forum itu.

Pasalnya, penting bagi Israel untuk mendapat dukungan publik internasional, terutama negara-negara muslim pasca insiden demonstrasi  yang menewaskan 109 dan melukai ribuan warga Palestina.

Dalam demonstrasi itu, salah satu perawat Palestina, Razan Ashraf Al-Najjar juga tewas tertembak tentara Israel saat hendak menolong seorang demonstran. Wafatnya Razan menjadi viral di media sosial dan termasuk rakyat Indonesia banyak menaruh simpati kemanusiaan.

Yahya, tampaknya tidak melihat simpati kemanusiaan ini sebagai pertimbangan pikiran dan tindakan sebelum memutuskan pergi ke Israel. Dia hanya percaya pada wacana rahmat dan rekonsiliasi. Tapi itu tidak salah.

Namun, seberapa kuat wacanca rahmat dan rekonsiliasi yang diusung Yahya dalam membawa perdamaian bagi Israel-Palestina? Dan bukankah sebaliknya, Yahya hanyalah menjadi boneka yang sengaja dipakai demi memperbaiki citra Israel di mata Internasional? Tapi, selain itu, ini juga menyangkut konsistensi Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina.

Indonesia-Israel-Palestina

Hubungan kabur antara Indonesia-Israel-Palestina memang bukan fenomena baru. Di zaman Seoharto, terdapat sebuah kerja sama intelijen yang dikenal dengan operasi Alpha. Hal itu setidaknya digambarkan oleh F.Djoko Poerwoko dalam buku berjudul “Menari di Angkasa”. (Baca: Politik Dua Kaki Indonesia-Israel)

Djoko menyebut, melalui operasi itu pemerintah Indonesia berhasil membeli lebih dari 30 pesawat tempur jenis Skyhawk milik Israel.

Meski tidak memiliki hubungan diplomatik secara resmi, pembelian pesawat tempur itu membuktikan jika kedua negara ternyata diam-diam punya hubungan gelap. Dan itu terus berlanjut, misalnya dalam bidang perdagangan.

Data Kementerian Perdagangan RI menyebutkan periode 2012- 2017 total nilai perdagangan kedua negara pada tahun 2017 telah mencapai US$ 192,97 juta atau setara Rp 2,6 triliun. Angka ini naik 30 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya senilai US$ 148,4 juta. Nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai US$ 92,14 juta, sedangkan impor Indonesia dari Israel sebesar US$ 100,8 juta.

Tentu, melihat kejanggalan ini, orang bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya komitmen Indonesia selama ini terkait kemerdekaan bangsa Palestina.

Hubungan kedua negara juga semakin terbuka lebar pada era Abdurahman Wahid (Gus Dur). Hal itu terlihat dari julukan “Friend of Israel in the Islamic World” yang diberikan surat kabar asal Israel, Haaretz kepada Gus Dur.

Selain itu, Djohan Efendi, dalam “Damai Bersama Gus Dur” seperti dikutip Tirto, menyebutkan Gus Dur menangkap hasrat damai orang-orang Israel, tak peduli latar belakangnya, Gus Dur tetap bertemu dengan orang Yahudi, Arab, Kristen, dan ia merasakan hal yang sama.

Kedekatan Gus Dur dengan Isreal ternyata betul-betul menginspirasi murid-muridnya, salah satunya adalah Yahya. Hal itu juga dibenarkan Yahya dalam wawancara dengan Direktur Internasional Urusan Antar-Agama AJC, Rabbi David Rosen.

Dalam wawancara itu, Yahya mengatakan idealisme yang dimiliki Gus Dur adalah keberlangsungan umat manusia dalam jangka waktu yang panjang, dan oleh karena itu tidak dapat dicapai secara instan. Gus Dur telah menjalankan perannya, dan kini giliran murid-muridnya melanjutkan pekerjaan beliau.

Tapi apakah di tengah situasi yang memanas dan aksi bengis tentara Israel terhadap demonstran Palestina yang telah menyebabkan 109 warga Palestina tewas dan 20 ribu lainnya mengalami luka-luka merupakan tindakan yang tepat bagi Yahya dan mungkin Gus Dur sekalipun untuk bertandang ke Israel?

Politik Semiotik Ala Israel

Rasanya sulit untuk menerima kenyataan dan makna yang tersirat dibalik kehadiran Yahya di forum diskusi itu, sebaliknya yang muncul justru tafsiran ganda. Dan tidak keliru, jika ini juga merupakan jebakan Isreal untuk menjadikan Yahya sebagai bonekanya.

Tujuan Israel jelas dan terang-benderang: bahwa makin dekat dengan tokoh Islam atau negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia merupakan keadaan politik yang mendesak sekaligus menguntungkan Israel di hadapan masyarakat internasional.

Dengan kata lain, boleh dibilang, kehadiran Yahya dalam forum diskusi itu merupakan simbol, yang sengaja dipergunakan untuk kepentingan politik Israel.

Simbol atau tanda, menurut Umberto, dalam “A Theory of Semiotik” sering digunakan sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. Simbol adalah objek atau peristiwa yang merujuk pada sesuatu. Dan tentu saja, simbol tidak pernah lepas dari sebuah representasi, termasuk di dalamnya adalah politik.

Artinya, kehadiran Yahya dalam forum itu juga dapat dipahami sebagai simbol yang mendukung Israel sekaligus Palestina. Yang akhirnya mengarah kepada kaburnya konsistensi dukungan terhadap kemerdekaan Palestina itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah prinsip kemanusiaan.

Zacky Khairul Umam, mahasiswa doktoral di Freie Universitat Berlin menulis kepada Tirto dalam artikel berjudul “Jika Israel Mencederai Kemanusiaan NU Bisa Menolaknya” menyebutkan kemanusiaan adalah roh tertinggi dari keberagaman.

Zacky merujuk pada ucapan Moses Maimonides, seorang teolog Yahudi di Andalusia, Spayol yang berucap “Isma al-Haqq mimman qalahu” atau simaklah “kebenaran dari siapapun yang mengucapkannya” dan implikasi dari ucapan ini adalah kemanusiaan.

Dengan demikian, Yahya kiranya bisa menolak undangan Israel atas nama kemanusiaan, yang dibuktikan melalui tindakan nyata demi mencapai cita-cita kemerdekaan Palestina, sebagaimana kata Zacky, cita-cita bagaimanapun harus digantungkan setinggi langit.

Atau Yahya barangkali perlu belajar dari Shakira, penyanyi asal Kolombia yang menolak undangan konser di Israel dengan alasan kemanusiaan dan tak ingin menjadi simbol propaganda Israel.

Tapi, perlukah Yahya belajar dari Shakira?

Exit mobile version