Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebut ingin merombak metode Lembaga Dakwah NU (LDNU) agar dapat menjadikan NU sebagai organisasi yang lebih terstruktur. Apa motif sebenarnya?
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Indonesia adalah negara yang berpopulasi mayoritas Muslim. Kalau merujuk pada data yang dimiliki Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri[AR1] ) per 31 Desember 2021, sebanyak 89,6 persen penduduk Indonesia beragama Islam, yakni sekitar 238 juta orang.
Dari angka ini saja kita bisa mewajarkan bila organisasi-organisasi Islam di Indonesia memiliki kekuatan sosial dan politik yang begitu besar karena mereka mampu menjadi wadah dari banyaknya penduduk Indonesia.
Hal senada beberapa hari lalu disuarakan oleh Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Mengutip dari data dari suatu lembaga survei, Yahya mengatakan bahwa pada tahun 2022 ini 59,2 persen penduduk Indonesia atau kurang lebih 150 juta orang mengaku sebagai warga NU atau yang biasa disebut Nahdliyin.
Angka ini, katanya, tentu sangat luar biasa, terlebih lagi pada tahun 2018 warga Indonesia yang mengaku Nahdliyin menunjukkan 50,5 persen. Ini artinya peningkatannya cukup tinggi meskipun hanya dalam waktu dua tahun saja.
Akan tetapi, Yahya pun mengakui bahwa angka-angka tersebut tidak menjamin semuanya sungguh-sungguh patuh pada PBNU. Kalau PBNU menerbitkan surat edaran untuk lakukan salat gaib, misalnya, mungkin hanya beberapa warga NU saja yang akan mengikutinya.
Oleh karena itu, Yahya menilai perlu ada langkah untuk mengubah seluruh warga NU menjadi jamiyah – atau mereka yang merupakan partisipan dalam organisasi NU yang diasumsikan sepenuhnya berada dalam kontrol organisasi. Yahya kemudian meminta Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) untuk membuat metode serta pendekatan dakwah yang mampu menyasar berbagai segmen lapisan masyarakat NU yang saat ini terlihat belum bisa tersatukan secara keorganisasian.
Dalam perspektif yang lebih luasnya, Yahya merasa perlu melakukan hal ini karena sudah selayaknya NU berjalan seperti sebuah pemerintahan, dengan ketua-ketua tanfidziyah sebagai menteri, sementara warga NU sebagai warga negaranya.
Sebagai organisasi yang memiliki sejarah kuat dengan politik Indonesia, tentu apa yang terjadi dalam NU akan berdampak pada politik – entah itu secara langsung atau tidak. Melihat itu, muncul sebuah pertanyaan. Kira-kira, kenapa Gus Yahya merasa perlu menyatakan hal-hal demikian?
PBNU Coba Petakan Lanskap Politik?
Dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Apakah NU Penentu Pilpres?, telah dijelaskan bahwa, meskipun organisasi Islam terbesar Indonesia ini memang selalu jadi sorotan dalam setiap pemilihan presiden (pilpres), suara NU yang jumlahnya luar biasa itu sepertinya justru tidak sekuat yang kita kira.
Hal itu karena NU sebenarnya memiliki pembelahan Nahdliyin, yakni antara kelompok NU struktural dan NU kultural. Yang dimaksud NU struktural adalah kader-kader NU yang memang terdaftar sebagai bagian organisasi sedangkan NU struktural mencakup ruang lingkup yang lebih luas, yakni terdiri dari mereka yang hanya mengaku-ngaku sebagai pengikut NU.
Mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club tanggal 14 Agustus 2018 lalu, jika yang disebut kader NU adalah mereka yang ikut kepengurusan dari ranting, cabang, dan seterusnya, maka mungkin yang tergolong kader NU di seluruh Indonesia tidak mencapai 1 juta. Tentu, angka ini mengecewakan dibanding klaim warga NU yang mencapai 200 jutaan orang.
Ini kemudian jadi lebih menarik setelah kita berkaca pada apa yang dikatakan Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the Politics Trap yang mengatakan bahwa kesetiaan warga NU ternyata lebih kuat kepada ulama-ulama lokalnya dibanding para tokoh besar di PBNU. Jika hal itu memang benar, “kekuatan politik” kader-kader PBNU sesungguhnya mungkin terlalu dilebih-lebihkan.
Menariknya, entah disengaja atau tidak, wacana yang dicanangkan Yahya mampu menjawab permasalahan besar tersebut. Jika memang apa yang diwacanakannya dalam reformasi LDNU bisa diwujudkan, yakni konstruksi PBNU sebagai sebuah organisasi yang bisa lebih efektif berfungsi secara struktural, maka organisasi yang dipimpinnya itu berpotensi bekerja lebih kuat dalam aspek sosial dan politik. Walaupun secara gamblang PBNU ditegaskan tidak akan terlibat politik praktis, kapasitas mereka semakin menjadi kekuatan yang tangible (berwujud).
Dengan demikian, para politisi mungkin tidak perlu lagi berkunjung ke ulama-ulama daerah dalam mencari suara pendukung. ,ereka hanya perlu mendekati para petinggi PBNU dan menanyakan apa aspirasi yang perlu disampaikan, kemudian menghemat tenaga dan waktu lebih banyak dibanding pendekatan-pendekatan sebelumnya.
Akan tetapi, pengkajian tentang penyeimbangan potensi kekuatan antara NU struktural dan NU kultural sesungguhnya sudah jadi perdebatan lama. Mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Hery Haryanto Azumi pada tahun 2016, misalnya, sempat menyoroti bahwa memang ada orang yang mengaku menjadi warga NU hanya sebagai jalan pintas untuk dapatkan keuntungan meski dia bukan kader resmi.
Ini artinya sudah bertahun-tahun persoalan struktural dan kultural ini jadi perhatian PBNU, dan sampai saat ini – dibuktikan oleh wacana yang baru akan dijalankan Gus Yahya – mungkin persoalan dua kelompok Nahdliyin tersebut belum benar-benar terselesaikan.
Jika benar demikian, lantas, kenapa ambisi besar tersebut masih digaungkan Gus Yahya?
Sebuah Gertakan?
Dalam politik, sebuah pernyataan publik kerap memiliki beberapa makna yang tidak disadari banyak orang. Ia hanya dimengerti oleh mereka yang benar-benar paham situasi dan kondisi politik di belakangnya. William Safire dalam tulisannya Safire’s Political Dictionary menyebut fenomena ini dengan istilah dog-whistle politics.
Istilah ini terinspirasi dari peluit ultrasonik pemanggil anjing yang digunakan para peternak domba yang suaranya hanya mampu didengar oleh para anjing. Sementara, domba atau manusia tidak bisa mendengarnya.
Nah, dalam politik, sering kali pernyataan seorang pejabat juga berfungsi demikian. Karena persoalan-persoalan politik yang genting hanya akan dimengerti mereka yang sering terlibat di dalamnya, maka pernyataan publik pun bertindak sebagai peluit yang fungsinya menarik perhatian para politisi.
Kembali ke konteks pernyataan Gus Yahya, bisa jadi apa yang disampaikannya adalah pesan tersirat kepada para pemain politik besar dalam Pilpres 2024 untuk lebih memerhatikan NU pusat atau PBNU jika ingin mencoba menarik suara para Nahdliyin yang jumlahnya ratusan juta itu.
Karena persoalan keberpihakan warga NU yang ternyata lebih setia pada ulama lokal mungkin hanya diketahui oleh segelintir orang, maka, jika dugaan ini benar, Yahya telah melempar sebuah umpan politik yang begitu menarik.
Terlebih lagi, beberapa waktu lalu Yahya juga sempat disorot publik karena mengatakan PBNU di bawah kepemimpinannya tidak akan menjadi sebuah organisasi yang terkesan eksklusif kepada partai tertentu tetapi PBNU adalah milik semua partai. Kalau dugaan tentang reformasi LDNU tadi benar dan kemudian kita kaitkan dengan hal ini, maka ada potensi PBNU akan jadi faktor penentu yang begitu besar dalam Pilpres 2024.
Namun, karena proses reformasi ini mungkin tidak akan semudah yang dibayangkan, ada juga kemungkinan Yahya justru telah melakukan gertakan politik. Michael Laver dalam tulisannya How To Be Sophisticated, Lie, Cheat, Bluff and Win at Politics menjelaskan bahwa gertakan dalam politik digunakan untuk memancing respons para lawan bicara. Jika gertakan tersebut memang berbobot, maka pihak yang menggertak tidak perlu berbuat banyak agar dapat keuntungan besar.
Akan tetapi, gertakan pun sebenarnya bisa diartikan bahwa pihak yang melakukannya mungkin sebenarnya tidak memiliki kekuatan yang begitu besar. Gertakan tersebut digunakannya hanya untuk tidak terlihat lemah. Kembali ke permasalahan harmonisasi NU struktural dan NU kultural, konteks ini menarik untuk kita perhatikan perkembangannya.
Well, bagaimanapun ini semua hanyalah interpretasi belaka. Tentunya, kita berharap politik identitas akan semakin berkurang dalam Pilpres 2024 nanti dan NU bisa tetapi menjadi wadah aspirasi Muslim Indonesia tanpa perlu ternodai oleh permainan politik pragmatis. (D74)