Site icon PinterPolitik.com

Yahya Buka “Saham Politik” PBNU?

Ketua Umum PBNU periode 2021-2026, Yahya Cholil Staquf (Foto: Antara)

Ketua Umum (Ketum) baru Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf berinisiatif melepaskan organisasi Islam terbesar di Indonesia ini dari politik praktis. Mungkinkah mimpi itu terjadi? Dan bagaimana secara keseluruhan dinamika politik PBNU di bawah kepemimpinannya? 


PinterPolitik.com 

Pada Muktamar ke-34 yang dijalankan dari tanggal 22-24 Desember 2021 lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) resmi memiliki Ketua Umum (Ketum) yang baru, yaitu Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya. Yahya unggul dari pesaingnya, Said Aqil Siradj, dengan perolehan suara 337 banding 210. 

Dari sejumlah gagasan yang dilontarkan oleh kakak kandung Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas ini, setelah dirinya terpilih menjadi Ketum PBNU, salah satu yang paling menarik adalah niatannya untuk memisahkan NU dari fenomena politik praktis. Ia tak ingin organisasi Islam terbesar di Indonesia ini mengambil pihak dalam kompetisi politik. 

Lebih spesifik lagi, Yahya juga menegaskan NU di bawah kepemimpinannya akan terlepas dari stigma monopoli politik satu warna. Tentu, ini merujuk kepada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang lahir dari rahim NU sendiri oleh salah satu Ketumnya yang pernah menjadi Presiden Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. 

Semenjak pertama kali dirinya menyalonkan sebagai Ketum PBNU pada bulan-bulan lalu, Yahya selalu menyuarakan pendapat terkait politik praktis NU. Menurutnya, apa yang terjadi sampai saat ini dinilai sudah cukup. Ke depannya, Yahya berulang kali menyampaikan dirinya tidak lagi ingin ada calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) dari tubuh PBNU. 

Banyak pihak kemudian merespons gagasan menarik ini. Peneliti politik Islam dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo optimis di bawah kepemimpinan Yahya, PBNU akan kembali sebagai organisasi masyarakat sipil yang jauh dari politik praktis. Ia menilai semangat NU nantinya lebih pada penguatan umat daripada mengharap akomodasi politik negara. 

Seruan pun dilontarkan beberapa parpol. Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily contohnya, juga menyambut baik pernyataan Yahya, dengan alasan NU adalah salah satu komponen bangsa, oleh karena itu, NU adalah milik bangsa, dan bisa hadir di parpol mana saja. 

Lantas, mungkinkah Gus Yahya benar-benar bisa membuat PBNU terlepas dari politik praktis? 

Baca juga: Yahya Bawa PBNU ke Barat?

Hanya Permainan Narasi? 

Sebelum membahas lebih lanjut, rasanya penting untuk mendapatkan pandangan yang tepat dalam melihat wacana pelepasan NU dari politik praktis. Mungkinkah hal ini bisa terjadi? 

Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the Politics Trap mengatakan NU tidak mungkin terlepas dari politik karena pengaruhnya pada Indonesia terlalu besar untuk diabaikan.  

Memang, Fealy menilai sepertinya ada tren keberpihakan nahdliyyin (warga NU), yang akhir-akhir ini cenderung lebih setia pada ulama lokal, dibandingkan tokoh besar di PBNU. Akan tetapi, ke mana pun afiliasi tokoh agamanya, NU sebagai organisasi akan terus berperan penting dalam perpolitikan Indonesia, mengingat anggotanya sendiri saat ini diperkiran berjumlah 80-120 juta orang. 

Pandangan yang sama juga diungkapkan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno. Dia mengatakan bahwa akan sangat sulit bagi PBNU untuk bisa terbebas dari politik praktis. Adi menilai kesulitan ini setidaknya didasarkan oleh dua hal, yaitu sudah banyaknya warga NU yang terlibat dalam parpol dan sejumlah jabatan penting di pemerintahan, dan kedua, tentu adalah jumlah nahdliyyin yang luar biasa banyaknya.  

Oleh karena itu, sekeras apapun narasinya, Adi menilai NU akan tetap punya wajah politik praktis, dan nahdliyyin akan tetap menjadi basis suara dalam pemilu. 

Untuk mempertegas pandangan Adi, kita bisa berkaca kembali pada apa yang terjadi saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, ketika Ma’ruf Amin ikut mendongkrak suara pendukung Jokowi dan akhirnya memenangkan pemilihan suara.  

Tom Pepinsky dalam tulisannya Measuring the ‘NU Effect’ in Indonesia’s Election, menyimpulkan bahwa kemenangan Jokowi bukan karena Ma’ruf menciptakan peluang baru di wilayah NU yang sebelumnya belum dimenangkan Jokowi, tetapi karena mantan Rais ‘Aam PBNU tersebut membantu memperkuat jumlah suara nahdliyyin di Pulau Jawa, sebagai wilayah mayoritas warga NU. 

Lalu, jika mustahil untuk melepaskan PBNU dan nahdliyyin dari politik, apa maksud narasi “anti politik praktis” yang selama ini digemborkan Yahya? 

Di dalam politik, hampir bisa dipastikan tidak ada narasi yang bisa kita ambil secara harfiah. Akan selalu ada muatan lain yang perlu kita telaah kembali di balik retorika-retorika yang dilontarkan oleh seorang tokoh politik penting. Hongrui Wen dalam tulisannya Motivation of Euphemism Used and Its Features, menjelaskan fenomena ini dengan istilah political euphemism atau eufemisme politik. 

Eufemisme politik adalah alat bagi tokoh politik untuk menyembunyikan skandal, menyamarkan kebenaran, dan menggiring pemikiran publik ketika membahas tentang suatu masalah, gagasan, atau peristiwa sosial.  

Menurut Wen, motivasi eufemisme politik umumnya muncul dari dua hal, yaitu rasa takut dan kesopanan. Eufemisme bisa terjadi karena seorang tokoh politik ingin semakin dicintai oleh mayoritas warganya, dan bisa juga karena ia takut kehilangan “wajah” jika berkata sebaliknya. 

Dalam konteks PBNU, apa yang disampaikan Yahya tentang narasi anti politik praktis seperti ingin menjadi jawaban atas semakin populernya keresahan nahdliyyin tentang politik praktis NU. Dengan melempar gagasan ini, Yahya bisa mendapatkan perhatian banyak orang, yang kemudian menaruh harapan pada dirinya agar bisa membawa perubahan yang selama ini dinanti-nanti. 

Namun, perlu diketahui bahwa eufemisme politik bukanlah sebuah praktik kebohongan, melainkan penekanan satu aspek kebenaran dari suatu variabel. NU sendiri memiliki motivasi yang kuat untuk tetap mempengaruhi perpolitikan dan hubungan sosial di Indonesia. Ini bisa kita lihat dari sejarah perkembangan NU, yang memang selalu besentuhan dengan dinamika politik. 

Lantas, akan seperti apa politik PBNU di bawah kepemimpinan Yahya? 

Baca juga: Benar Yahya Pegang Nasib Muhaimin?

PBNU Jadi “Open Market”? 

Sekarang kita berusaha meraba agenda politik yang dipersiapkan Yahya untuk PBNU sampai tahun 2026. Tanpa perlu mengandai-andai terlalu jauh, kuncinya sesungguhnya ada di perkataan Yahya sendiri tentang pelepasan stigma monopoli satu partai dalam PBNU.  

Seperti yang kita ketahui, selama ini PKB dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi partai-partai yang identik dengan wajah NU. Apa yang disuarakan Yahya tentang melepas stigma monopoli partai seakan-akan menyiratkan niat untuk mengatakan bahwa PBNU di bawah kepemimpinannya tidak akan tendensius ke partai-partai itu saja. 

Baca juga: Mungkinkah NU Lepaskan Politik Praktis?

Pandangan ini juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, yang mengatakan bahwa relasi politik yang dimiliki Yahya dengan sejumlah parpol non-Islam kemungkinan besar akan berperan dalam arah politik PBNU di masa depan.  

Kalau kita lihat, memang Yahya sempat disoroti memiliki kedekatan dengan partai nasionalis dan sekular, contohnya dengan Ketum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Selain itu, patut juga kita ingat kembali kedekatan Yahya dengan pihak petahana, dan status Yahya yang pernah menjadi dewan pertimbangan Presiden (wantimpres) Jokowi pada periode 2018-2019. Terakhir yang tidak kalah penting juga untuk disebutkan adalah adik kandungnya, Yaqut, yang saat ini menjabat sebagai Menag. 

Dari sini, bisa diandaikan PBNU akan berperan layaknya open market atau pasar terbuka. Komoditas yang ada di dalam NU, baik itu dari kadernya ataupun nahdliyyin, bisa lebih leluasa didekati atau mendekati parpol lain, termasuk yang non-Islam. Konsekuensinya, kompetisi pengaruh politik dalam NU akan lebih ketat karena akan lebih banyak parpol yang bisa saling mengawasi sejauh mana pengaruhnya dalam organisasi ini.  

Alex de Waal dalam tulisannya #PublicAuthority: The Political Marketplace: Analyzing Political Entrepreneurs and Political Bargaining with a Business Lens, memprediksi keadaan seperti ini dengan melemparkan konsep political marketing theory. Pandangan ini menjelaskan bahwa proses demokratisasi di negara berkembang seringkali tidak melahirkan persaingan politik yang muncul berdasarkan pilihan individu, melainkan semakin mendorong politisi menaruh pengaruhnya ke kelompok sosio-politik yang dominan dalam suatu negara. 

Dampaknya adalah, politisi di sistem yang seperti ini tidak bisa bertahan hidup hanya dengan mempromosikan agenda atau ideologi, tetapi mereka harus bertahan dengan memobilisasi anggaran politik dan rencana bisnis di pasar politik, di mana mereka beroperasi layaknya seorang manajer perusahaan yang tidak ingin kalah saing dalam suatu pasar komersial. 

Kembali ke konteks PBNU, mengutip perkataan pengamat politik Adi Prayitno, jika memang ini arah politik PBNU yang dipersiapkan Gus Yahya, maka tampaknya Ketum PBNU ini memiliki pekerjaan rumah yang cukup berat karena harus menghindari kecemburuan sosial yang bisa saja muncul dari salah satu partai yang kepentingannya tidak dapat terakomodasi oleh PBNU. 

Bukan tidak mungkin, ke depannya Yahya menggagasi perlunya struktur yang proporsional dalam kepengurusan PBNU, kalau ada anggotanya yang merupakan anggota parpol. 

Well, pada akhirnya ini hanya prediksi semata. Perkembangan dinamika politik NU sebagai organisasi Muslim terbesar di Indonesia patut kita amati bersama-sama. (D74) 

Baca juga: Kita Tidak Pernah Jalankan Demokrasi?

Exit mobile version