Terpilihnya Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU dinilai membawa perubahan terkait arah politik luar negeri PBNU. Lantas, mungkinkah PBNU akan lebih dekat ke Barat, yakni Amerika Serikat, setelah sebelumnya dinilai dekat dengan Tiongkok yang menjadi representasi Timur?
Pucuk tertinggi telah berganti. Setelah dipimpin selama dua periode oleh Said Aqil Siradj, sekarang kursi Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diduduki oleh Yahya Cholil Staquf. Sosok satu ini bukanlah nama sembarang. Namanya bahkan sempat masuk radar kabinet pada Desember 2020, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reshuffle pertama di periode keduanya.
Sempat digadang-gadang menggantikan Fachrul Razi menjadi Menteri Agama (Menag), yang terpilih ternyata adalah adik Yahya, yakni Yaqut Cholil Qoumas.
Terkait pemilihan Ketum PBNU kali ini, ada berbagai analisis menarik yang terlihat. Kurniawan Muhammad dalam opininya di JawaPos, misalnya, memberi pertanyaan, mengapa Muktamar NU kali ini terasa seperti kontestasi pilpres?
Bukan tanpa alasan, dengan fakta ini adalah urusan internal NU, para kandidat ketum justru banyak muncul di headline pemberitaan media. Layaknya tes ombak menjelang pilpres, para kandidat seolah menghamparkan dirinya ke hadapan publik untuk dinilai. Apakah mereka mendapat respons positif, atau justru mengalami resistensi. Sekalinya lagi, polanya mirip seperti pilpres.
Salah satu poin menarik yang disebutkan Kurniawan adalah, Muktamar NU kali ini diduga memiliki kaitan dengan Pilpres 2024. Menurutnya, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, siapa yang akan menjadi Ketum PBNU akan menjadi top figure dan sangat diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan politik, baik di lingkungan pemerintah maupun partai politik.
Dan terbukti, pada 29 Desember, Yahya bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor. “Saya melaporkan hasil Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama kemarin… Kemudian saya melaporkan juga hasil-hasil yang disepakati di dalam Muktamar mengenai program-program, agenda-agenda yang tentunya nanti akan sangat terkait dengan prospek kerja sama-kerja sama, termasuk dengan pemerintah,” ungkap Yahya.
Pertemuan ini jelas merupakan simbol dan pesan politik bahwa posisi NU begitu vital. Bukan tanpa alasan kuat, dengan jumlah Nahdliyin yang disebut mencapai 40-60 juta, NU jelas memiliki political capital yang luar biasa.
Well, kembali pada tulisan Kurniawan, mengapa Muktamar NU kali ini terasa seperti pilpres? Apakah ada signifikansi tersendiri di balik dua kandidat utama, yakni Said Aqil dan Yahya?
Dari Timur ke Barat?
Untuk membahas signifikansi keduanya, kita perlu melihat arah kedekatan PBNU di bawah kepemimpinan Said Aqil, yang menurut berbagai pihak memiliki kedekatan dengan Tiongkok.
Konteks ini misalnya terlihat dari buka puasa bersama PBNU dengan Duta Besar (Dubes) Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian pada 4 Mei lalu. Tercatat, kegiatan keakraban tersebut telah dilakukan sebanyak lima kali.
Dalam acara tersebut, Said Aqil Siroj menyinggung berbagai kerja sama antara PBNU dengan Tiongkok yang telah terjalin, di antaranya adalah program beasiswa untuk para santri dan pembangunan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) di berbagai pesantren di Jawa dan Banten.
Di awal pandemi, Tiongkok juga membantu PBNU menyiapkan 300 alat pelindung diri (APD), 1.920 alat rapid test, 16.000 masker, serta 1000 paket sembako.
Dari indikasi-indikasi kedekatan yang ada, mungkin dapat disimpulkan, Tiongkok tengah melakukan diplomasi publik. Ini merupakan diplomasi yang dilakukan dengan masyarakat sebagai targetnya. Menurut Jan Melissen dalam bukunya The New Public Diplomacy, diplomasi publik dilakukan melalui pembangunan relasi dengan organisasi-organisasi sipil (civil society organizations).
Terkhusus pemberian beasiswa, kita dapat mengutip tulisan Sue Enfield yang berjudul Evidence for Soft Power Created via Scholarship Schemes. Menurutnya, pemberian beasiswa pendidikan adalah alat yang biasa digunakan sebagai soft power yang dirancang sedemikian rupa untuk melayani kepentingan negara tuan rumah, sehingga memengaruhi negara yang diberikan beasiswa dalam jangka panjang.
Pemberian beasiswa semacam itu, tidak hanya untuk memengaruhi, melainkan juga sebagai sarana bertukar budaya, yang nantinya dapat memengaruhi persepsi penerima beasiswa terhadap negara tujuannya. Konteks ini misalnya dapat dilihat dari artikel yang dimuat NU Online yang berjudul Tak Sulit Menemukan Makanan Halal untuk Berbuka Puasa di China.
Artikel yang berisi testimoni dari alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sarah Hajar Mahmudah tersebut menyebutkan kemudahan dalam menemukan makanan halal di Tiongkok karena stok makanan yang melimpah, terdapat label halal, serta warga lokal yang kerap membantu dalam mencari barang yang dibutuhkan.
Dan yang lebih menarik lagi, mengutip Jon Emont dalam tulisannya How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps, Tiongkok disebut melakukan manuver terhadap ormas Islam di Indonesia untuk menekan kritik atas dugaan diskriminasi terhadap kelompok Muslim Uighur di Xinjiang. Disebutkan, Tiongkok memberikan sejumlah donasi dan program beasiswa pada NU dan Muhammadiyah sejak tahun 2018 ketika isu Uighur mencuat ke publik.
Jika benar Tiongkok melakukan pendekatan intens terhadap PBNU, dan sepertinya cukup berhasil, tentu sulit membayangkan Amerika Serikat (AS) selaku pesaingnya berdiam diri.
Indikasi simpulan ini misalnya terlihat pada Oktober 2020 ketika Menteri Luar Negeri (Menlu) AS saat itu, Mike Pompeo, mengunjungi Gerakan Pemuda (GP) Ansor, kelompok sayap pemuda NU. Sama seperti Tiongkok, setidaknya sejak tahun 2000-an, AS juga mulai memberikan program-program beasiswa kepada siswa-siswi pesantren dan madrasah.
Nah, di tengah eskalasi ketegangan AS-Tiongkok di bawah kepemimpinan Joe Biden, sosok pemimpin NU yang memiliki kedekatan lebih dengan Paman Sam dapat menjadi signifikansi vital. Entah kebetulan atau tidak, sosok itu terlihat dalam diri Yahya.
Pada kunjungan Pompeo, misalnya, Yahya yang saat itu menjabat sebagai Katib Aam NU, disebut menjadi sosok di balik kedatangan Pompeo. Pada Juni 2018, Yahya juga hadir dalam konferensi tahunan Forum Global AJC (Komite Yahudi Amerika) di Yerusalem.
Pada bulan itu, Yahya juga berkesempatan bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu. Seperti yang jamak diketahui Israel merupakan negara yang disebut-sebut menjadi sekutu terdekat AS di kawasan Timur Tengah.
Dalam kacamata studi Hubungan Internasional, mungkin dapat dikatakan, perpindahan kursi Ketua Umum PBNU dari Said Aqil ke Yahya menjadi indikasi awal berpindahnya kedekatan NU dari Timur ke Barat.
AS Jadi Jembatan?
Menariknya, terpilihnya Yahya menjadi Ketum PBNU tidak hanya menjadi perhatian media dalam negeri, melainkan juga berbagai media luar negeri. Media Israel, The Jerusalem Post, misalnya, memuat artikel Omri Nahmias yang berjudul Experts weigh in on normalization between Israel and Indonesia.
Artikel tersebut mengutip pernyataan profesor di Pardee School of Global Affairs Boston University, Robert Hefner, yang menyebut Yahya Cholil Staquf terus membicarakan poin terkait Indonesia perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel, baik di lingkungan presiden maupun masyarakat luas.
Namun baru-baru ini, Yahya memberikan bantahan atas tudingan dirinya dekat dengan Israel. Dalam wawancaranya bersama MNC Portal, Yahya menyebut dugaan tersebut hanyalah gimmick Muktamar. Menurutnya, masalah Israel-Palestina tidak akan bisa diselesaikan melalui pendekatan politik, sehingga isu ini tidak boleh dijadikan komoditas politik belaka. Masalah fundamentalnya adalah agama, menurut Yahya.
Well, terlepas dari ada tidaknya kedekatan tersebut, narasi yang dibawa Yahya sejalan dengan AS. Bahkan sejak era kepemimpinan Donald Trump, Paman Sam telah membujuk Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Topik tersebut juga menjadi pembahasan Menlu AS Antony Blinken ketika bertemu Menlu Retno Marsudi pada awal bulan ini.
Dari variabel-variabel tersebut, kita dapat menarik dua kesimpulan. Pertama, pergantian pucuk kekuasaan di PBNU tampaknya menguntungkan AS karena sejalan dengan keinginan mereka agar Indonesia menormalisasi hubungan dengan Israel, dan sekaligus mengendurkan hubungannya dengan Tiongkok.
Konteks ini juga sejalan dengan dugaan bahwa pemerintahan Jokowi disebut mulai lebih dekat dengan AS daripada Tiongkok di periode keduanya.
Kedua, seperti pernyataan Kurniawan Muhammad, Muktamar NU memiliki korelasi dengan Pilpres 2024. Sebagai salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia, tentu penting bagi berbagai pihak untuk beramah-tamah dengan pucuk tertinggi kursi PBNU. Dan sekali lagi, ini penting bagi AS.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Washington akan Intervensi Pilpres 2024?, terdapat dugaan bahwa AS akan “bermain” di Pilpres 2024 mendatang. Jika benar demikian, memiliki hubungan baik dengan ormas Islam terbesar di Indonesia tentu saja sangat penting.
Namun, ada satu catatan penting. Jika benar diplomasi publik Tiongkok berhasil karena memberikan berbagai bantuan dan benefit, AS harus memberikan benefit yang lebih besar agar kecondongan yang diharapkan dapat terjadi. Ini adalah prinsip diplomasi sederhana. Tidak mungkin suatu pihak berpindah jika benefit yang didapatkan relatif sama, apalagi di bawahnya.
Well, kita lihat saja bagaimana kelanjutan persoalan ini. Benar tidaknya Yahya membawa PBNU lebih dekat ke Barat daripada Timur, mungkin hanya bisa dijawab oleh waktu. Bisa juga ini hanyalah asumsi teoretis semata. (R53)