Ada indikasi kemiripan antara Jokowi dan Xi Jinping dalam mengonsolidasikan kekuatannya.
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]ak ada yang aman dari KPK. Sepertinya, itu yang menjadi tema utama dari berbagai tajuk pemberitaan di negeri ini. Komisi anti-rasuah ini kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa politisi. Teranyar, empat orang anggota DPRD Kalteng diciduk karena diduga terlibat perkara korupsi. Ada pula kasus serupa di mana Bupati Cirebon harus rela memakai rompi oranye.
Yang membuat langkah KPK ini menarik adalah dalam beberapa penangkapan terakhir, ada beberapa petinggi korporasi elite yang menjadi tersangka. Dalam kasus DPRD Kalteng tersebut misalnya, ada salah satu tersangka swasta yang berasal dari grup perusahaan ternama negeri ini.
Selain ada pola seperti itu, terdapat pula pola lain dalam penangkapan oleh KPK belakangan ini. Dua partai utama pendukung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), PDIP dan Golkar seolah menjadi buruan utama komisi tersebut.
Adanya pola-pola tersebut tergolong menarik. Meski secara formal tidak berhak mengintervensi, Jokowi seperti membiarkan KPK menjalankan aktivitasnya tersebut, terutama untuk pola yang berlaku pada kader partai. Lalu, mengapa sang presiden seolah memberi restu KPK untuk berburu?
Ada Pola
Sepanjang 2018, KPK lebih dari satu kali melakukan OTT terkait dengan kasus korupsi yang melibatkan aktor pelaku politik Indonesia. Dari kalangan kepala daerah misalnya, tercatat ada 19 orang yang harus menanggung malu digelandang ke kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan.
Di antara 19 orang tersebut, PDIP dan Golkar menjadi partai penyumbang terbanyak. Hingga Oktober 2018, terdapat 7 kader PDIP yang tertangkap tangan oleh KPK. Sementara itu, Golkar berada di urutan kedua dengan catatan 5 kader yang menjadi tersangka OTT KPK.
Di luar OTT terhadap kepala daerah, kedua partai ini juga menjadi bulan-bulanan melalui langkah lain. Salah satu yang teranyar, Ketua DPRD Kalteng yang berasal dari PDIP menjadi korban kesekian dari gerilya KPK dalam memburu pelaku korup di negeri ini.
Golkar boleh jadi punya nasib yang lebih sial. Salah satu tokoh sentral di partai beringin, Idrus Marham harus rela berpindah tempat tinggal ke penjara setelah terlibat dalam kasus korupsi PLTU Riau. Padahal ia merupakan salah satu tokoh cukup penting di Golkar dan bahkan ketika ditangkap sedang menjabat sebagai Menteri Sosial perwakilan dari Golkar.
Belum cukup kader-kadernya saja dibidik oleh KPK, kedua partai ini juga tengah dipantau untuk dijerat melalui pidana korporasi. PDIP menjadi sasaran pidana tersebut dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port. DPP partai berlogo banteng itu disebut-sebut menerima aliran dana sebesar Rp 5 miliar.
Sementara itu, pidana korporasi bisa saja menjerat Golkar dalam perkara korupsi PLTU Riau. Hal ini terkait dengan dugaan aliran uang sebesar Rp 2 miliar yang masuk ke penyelenggaraan Munaslub partai tersebut melalui kader mereka Eni Maulani Saragih.
Terlihat seolah ada pola di mana kedua partai ini menjadi incaran KPK. Hal ini tergolong ironis karena kedua partai ini adalah dua partai besar yang menjadi tulang punggung utama pemerintahan dan pemilihan ulang Jokowi.
Adanya pola tersebut tampaknya mulai dirasakan oleh kader-kader partai. Beberapa kader Golkar misalnya, sebagaimana ditulis oleh John McBeth di Asia Times, merasa Jokowi seharusnya bisa melakukan usaha yang lebih baik agar kader-kader partai beringin itu tidak menjadi bulan-bulanan KPK.
Mengonsolidasikan Kekuatan
Jika diperhatikan, PDIP dan Golkar yang dianggap sebagai pendukung utama Jokowi boleh jadi punya indikasi gerak-gerik yang membahayakan sang presiden. Boleh jadi, ada langkah-langkah dari kedua partai yang membuat Jokowi harus mengikat mereka secara khusus.
PDIP misalnya memiliki riwayat dalam melakukan dikte terhadap kekuatan Jokowi sebagai presiden. Lontaran istilah petugas partai sudah lebih dari satu kali keluar dari mulut sang ketua umum, Megawati Soekarnoputri, kepada mantan Wali Kota Solo tersebut. Patronase Megawati terhadap Jokowi ini diungkapkan misalnya oleh Profesor Vedi Hadiz dari University of Melbourne.
Hal ini ditunjukkan misalnya melalui laporan yang tulisan oleh John McBeth. Berdasarkan tulisan tersebut, Jokowi sempat “dipaksa” Megawati untuk memilih salah satu di antara Budi Gunawan atau Puan Maharani untuk menjadi cawapresnya. Padahal, kedua figur tersebut tidak akan banyak membantu pencalonan sang petahana.
Kader partai yg diberikan mandat oleh partai adalah petugas partai yg ditugaskan utk memperjuangkan rakyat. Bukan boneka!
— #TegasMerakyat (@Masinton) April 1, 2014
Bisa saja patronase ala Megawati ini belum benar-benar pudar jelang Pilpres 2019. Menurut Greg Fealy dari Australian National University, Megawati dan PDIP kerap kali memberi pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan dan juga penunjukan orang di posisi tertentu yang seharusnya dilakukan oleh Jokowi.
Sementara itu, Golkar merupakan partai yang memiliki riwayat panjang bermain politik dua kaki. Meski keputusan resmi DPP Golkar adalah memberikan dukungan kepada Jokowi, tidak ada jaminan bahwa pembesar-pembesar lain partai beringin ini akan all-out untuk pemenangan Jokowi dengan riwayat dua kaki tersebut.
Hal ini diindikasikan misalnya melalui manuver yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie beberapa waktu lalu. Ketua Dewan Penasihat Golkar tersebut melakukan kritik keras kepada pemerintah terkait dengan penanganan kasus #2019GantiPresiden. Selain itu, ada pula suara dari politisi senior Golkar Fadel Muhammad yang menyebut Golkar akan pecah dukungan.
Untuk mengamankan dua partai besar yang bergerak liar ini, Jokowi jelas membutuhkan cara khusus untuk mengikat mereka. Boleh jadi, penangkapan kader-kader PDIP dan Golkar ini menjadi salah satu caranya untuk menjinakkan kedua partai politik ini.
Setara Xi Jinping?
Jeratan hukum untuk menjinakkan lawan dan mengonsolidasikan kekuatan ini pernah dilakukan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pada periode pertama kepemimpinannya, Xi Jinping tergolong agresif melakukan pemberantasan korupsi di negeri tirai bambu itu. Operasi ini berhasil membungkam rival-rival potensial baginya dalam merebut kekuasaan.
Strategi Xi Jinping ini diungkapkan misalnya professor hukum dari Fordham Law School New York, Carl Minzner. Minzner menyebut bahwa Xi membangun kekuatan secara bertahap dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Sementara, menurut Victor Shih dari University of California San Diego, Xi merasa perlu untuk mengontrol setiap detail dalam upayanya mencapai tujuan. Oleh karena itu, ia akan membungkam anggota-anggota partai yang dianggap menghalanginya.
Salah satu rival yang menjadi langkah pemberantasan korupsi Xi adalah Bo Xilai. Ia dianggap sebagai salah satu politisi paling ambisius dan dipandang sebagai rival bagi Xi. Pada tahun 2013, Bo harus menghadapi kenyataan dirinya dipenjara seumur hidup karena kasus rasuah.
Hal serupa berlaku pada Sun Zhengchai. Sun dianggap sebagai salah satu pemimpin masa depan dan berpotensi mengisi posisi penting di Partai Komunis Tiongkok. Sayangnya, perkara korupsi membuatnya harus dipenjara dan kehilangan hak politiknya seumur hidup.
Meski tidak sama persis, terlihat ada kemiripan antara Jokowi dan Xi dalam mengonsolidasikan kekuatannnya. Keduanya sama-sama menggunakan kasus korupsi sebagai upaya untuk menjinakkan kekuatan yang berpotensi merongrongnya.
Jika benar Jokowi tengah melakukan langka serupa Xi Jinping, maka boleh jadi Pilpres 2019 akan menjadi perang yang cukup menarik di mana ada dua duplikasi pemimpin dunia yang akan bertarung di gelaran tersebut.
Kenapa ya Golkar dan PDIP seperti jadi incaran KPK? Apakah Jokowi tidak melindungi dua tulang punggungnya itu? Share on XPenantang Jokowi, Prabowo Subianto belakangan tengah membangun strategi yang nuansanya memiliki kemiripan dengan Presiden AS, Donald Trump. Ada beberapa indikasi bahwa Prabowo menggunakan strategi yang mirip dengan presiden negeri Paman Sam tersebut.
Prabowo misalnya belakangan terkenal dengan slogan Indonesia First, Make Indonesia Great Again, serupa dengan slogan America First, Make America Great Again milik Trump. Selain itu, strategi kampanye Prabowo juga dianggap mirip dengan firehose of falsehood yang dilakukan oleh Trump.
Berdasarkan kondisi tersebut, Pilpres 2019 nanti boleh jadi semacam arena bagi perang antara jelmaan pemimpin dunia. Lalu siapa yang akan keluar menjadi jawara antara duplikasi dua pemimpin dunia tersebut? (H33)