HomeHeadlineXi Jinping, Juru Selamat Ukraina?

Xi Jinping, Juru Selamat Ukraina?

Konflik Ukraina-Rusia tampak masih belum memiliki solusi. Di tengah kemelut, Presiden Tiongkok Xi Jinping untuk pertama kalinya terlihat terlibat langsung dalam meredam konflik dengan mengajak Prancis dan Jerman mencari solusi perdamaian. Mampukah Xi Jinping menjadi ‘juru selamat’ konflik Ukraina, sekaligus Eropa? 


PinterPolitik.com 

Konflik antara Rusia dan Ukraina sampai saat ini masih belum menemukan titik terang. Terakhir, pertemuan antara Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov dan Menlu Ukraina Dmytro Kuleba di Turki, untuk membahas perjanjian perdamaian, gagal mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, Lavrov mengatakan Rusia akan tetap melanjutkan serangan sampai tujuannya tercapai. 

Dari sejumlah pemimpin dunia yang sudah bersuara tentang invasi Rusia, terdapat satu sosok yang menarik untuk disorot, yakni Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pada awal Maret ini, pemimpin Negeri Tirai Bambu tersebut mengadakan pertemuan virtual dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz.  

Selesai pertemuan, Xi menegaskan bahwa Tiongkok mendukung adanya pembicaraan damai antara Moskow dan Kyiv. Ia juga mengatakan pihaknya akan berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Prancis, Jerman dan Uni Eropa (UE), termasuk bekerja sama secara aktif dengan masyarakat internasional untuk penyelesaian konflik Ukraina. 

Melihat Xi yang akhirnya ‘turun tangan’ ke konflik yang tengah menyita perhatian dunia ini, sejumlah pengamat kemudian berspekulasi tentang peran besar yang bisa dimainkan Tiongkok dalam politik luar negeri Eropa.  

Contohnya adalah Stephen Roach, seorang ekonom senior dari Amerika Serikat (AS), yang mengatakan bahwa keterlibatan Xi adalah apa yang ditunggu-tunggu oleh Eropa, khususnya Prancis dan Jerman. Hal ini karena Xi dianggap sebagai satu-satunya pemimpin yang akan didengar Presiden Rusia Vladimir Putin. 

Roach pun mengatakan, dari segi ekonomis, memang sudah saatnya bagi Tiongkok untuk meredam ambisi Rusia. Justru akan menjadi kesalahan besar bagi Beijing untuk mempertahankan kemitraannya dengan Moskow ketika dunia memberikan tekanan luar biasa pada Rusia, karena tidak ada jaminan, sanksi yang diberatkan dunia pada Rusia tidak akan ikut memberatkan dan bahkan mungkin merembet ke Tiongkok. 

Oleh karena itu, mulai muncul anggapan bahwa Xi adalah ‘juru selamat’ dari konflik Ukraina, dan jawaban atas dilema yang dihadapi oleh negara-negara Eropa dalam menghadapi ambisi politik Rusia. 

Lantas, mengapa sang Sekjen Partai Komunis Tiongkok tersebut bisa dianggap sebagai juru selamat? 

Tiongkok, Jawaban Eropa? 

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kita perlu mencari tahu mengapa Prancis dan Jerman bisa-bisanya ingin bertemu dengan Tiongkok, yakni salah satu negara rival terbesar dari sekutu dekat mereka, AS, di tengah panasnya politik internasional.  

Well, ketika kita bicara tentang Tiongkok, tentu alasannya pasti berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Berdasarkan temuan ekonom bernama Max Zenglein dari Mercator Institute for China Studies (MERICS), dalam 20 tahun terakhir, Tiongkok telah berkembang menjadi salah satu mitra dagang terbesar bagi UE. Nilai perdagangan antara Tiongkok dan UE dari tahun 2000 sampai 2019 ditemukan telah mencapai angka €560 miliar. 

Baca juga :  Global Strike on TikTok?

Peningkatan nilai dagang ini telah menjadikan Tiongkok sebagai negara mitra dagang terpenting kedua UE setelah AS. Banyak perusahaan di UE dan Tiongkok yang kemudian bergantung pada hubungan yang sehat antara dua entitas politik tersebut. Bahkan, Zenglein menyebutkan ada 103 kategori produk elektronik, kimia, mineral/logam, dan produk farmasi/medis, di mana UE memiliki ketergantungan strategis yang kritis terhadap impor dari Tiongkok. 

Dengan demikian, Zenglein menyimpulkan, mempertahankan hubungan ekonomi saling ketergantungan yang sehat telah menjadi kepentingan utama dari UE dan Tiongkok. Ikatan ekonomi yang kuat juga dinilai dapat menciptakan peluang untuk eksploitasi politik, yang bisa digunakan untuk mencegah munculnya sebuah eskalasi politik. 

Ini kemudian membawa kita ke pembahasan selanjutnya. Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, menduga bahwa Jerman dan Prancis, sebagai representasi de facto dari UE, sesungguhnya tengah berupaya memanfaatkan hubungan ekonominya yang kuat dengan Tiongkok untuk meredam ambisi militer Rusia yang semakin sulit dijangkau oleh negara-negara Barat. 

Seperti yang kita ketahui, Rusia pun merupakan salah satu mitra dagang paling penting bagi EU. Menurut data dari European Commission, hingga tahun 2020, sebanyak 26% impor minyak bumi UE berasal dari Rusia, sementara itu, jumlah impor gas UE 40% berasal dari Rusia.  

Oleh karena itu, dengan menggunakan kedekatan ekonomi dengan Tiongkok, dan mengandalkan kedekatan politik Beijing dan Moskow, Prancis dan Jerman bisa disebut sedang mencari jaminan agar kepentingan ekonomi mereka bisa terjaga di balik ketidakpastian konstelasi politik akibat konflik antara Ukraina dan Rusia ini. 

Xi Jinping di sisi lain, memiliki alasan yang kuat untuk mendengarkan permintaan tolong dari Prancis dan Jerman, karena seperti yang diungkapkan ekonom Stephen Roach, Tiongkok perlu menyadari bahwa sanksi ekonomi yang dijatuhkan sejumlah negara pada Rusia bisa kapan saja merembet ke Tiongkok. Xi Jinping pun sepertinya menyadari bahwa ia harus mendapatkan kepastian hubungan ekonominya dengan Eropa tidak ikut terancam.

Tentunya, kesepakatan antara Prancis, Jerman, dan Tiongkok bisa dipastikan tidak semata-mata terjalin hanya dengan motivasi perdamaian saja. Khairul Fahmi menyebutkan, pasti ada perundingan yang tentunya menguntungkan multipihak, terlebih lagi, Tiongkok dikenal sebagai negara yang sangat mementingkan hubungan ekonomi. 

Lantas, apakah Tiongkok memang satu-satunya jawaban bagi Eropa, khususnya Prancis dan Jerman? 

infografis putin pernah ingin gabung nato

Jawaban Akibat Kesalahan NATO? 

Filsuf Slovenia, Slavoj Žižek dalam tulisannya What Does Defending Europe Mean? menilai bahwa saat ini, satu-satunya cara bagi UE untuk mempertahankan dirinya adalah dengan mempersuasi negara-negara untuk dapat berkontribusi lebih besar bagi Eropa, daripada apa yang sanggup ditawarkan oleh Rusia dan Tiongkok. Melihat fenomena sekarang, tampaknya mustahil bila ada negara yang mampu berperan seperti itu. 

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Meskipun AS masih memiliki peran politik yang besar di kawasan UE, bisa dipastikan AS tidak akan bisa berbuat banyak dalam memastikan kepentingan UE tetap berjalan dengan lancar jika AS semakin melibatkan dirinya dalam konflik Rusia-Ukraina. 

Kita bisa lihat sendiri, setelah Presiden Joe Biden melemparkan wacana untuk menyetop impor energi dari Rusia, Eropa langsung menggeliat kepanasan, Jerman dan Hongaria secara spontan menolak wacana tersebut. Menteri Ekonomi (Menkeu) Jerman Robert Habeck bahkan mengatakan bahwa jika pelarangan impor disetujui, maka itu akan membuat Jerman jatuh dalam krisis ekonomi, dan ini tentu juga akan berimbas pada keseluruhan aktivitas ekonomi Eropa. 

Dari sisi Rusia pun terlihat bahwa Putin kapan saja siap untuk mengeskalasi keadaan jika AS ataupun NATO mulai terlihat ingin campur tangan langsung dalam konflik Ukraina. Karena hal itu, meski Prancis, Jerman, atau negara UE manapun sangat ingin meminta pertolongan ke AS, maka pilihan itu sesungguhnya akan menghasilkan kerugian lebih dari apa yang terjadi sekarang. 

Dengan demikian, secara rasional, Xi Jinping sepertinya memang menjadi jawaban mutlak bagi Jerman dan Prancis untuk meredam ambisi Putin, sekaligus untuk mencari jalan agar kepentingan ekonomi Eropa bisa mendapatkan kepastian. 

Sangat menggelitik untuk kemudian merefleksikan kesimpulan ini dengan apa yang dikatakan oleh John J. Mearsheimer dalam tulisannya Why the Ukraine Crisis Is the West’s Fault, di mana di dalamnya Mearsheimer mengatakan bahwa sejarah ekspansi NATO telah mewariskan sejumlah variabel-variabel yang bisa dijustifikasi oleh negara rising power seperti Rusia, untuk menggaungkan kepentingan-kepentingan keamanannya, tapi di sisi lain telah mengakibatkan NATO sendiri memiliki ruang gerak politik yang sempit.

Padahal, NATO seharusnya berupaya menjadikan Ukraina sebagai wilayah neutral buffer zone atau zona penyangga yang netral antara kubu Barat dan Rusia, bukannya bertindak seakan-akan mereka masih memiliki kepentingan di sana, tapi terlihat malu-malu untuk bertindak apapun. Tetapi saat ini kesempatan untuk itu sepertinya sudah jauh terlambat. 

Maka dari itu, bisa kita maknai, dinamika merapatnya Tiongkok dengan Rusia, lalu Eropa, sesungguhnya menjadi tamparan nyata pada AS bahwa mereka telah melewatkan sejumlah kesempatan untuk memantapkan hegemoninya.  

AS pun seharusnya bisa lebih mengantisipasi kemungkinan Rusia dan Tiongkok “beraliansi”, dengan tidak memosisikan Rusia sebagai antagonis utama di Eropa. Tidak terlihatnya strategi yang efektif dalam meredam ketergantungan Eropa pada negara-negara besar Timur juga pada akhirnya membuat sekutu-sekutu AS di Eropa terjebak dalam dilema besar. 

Ini lalu mengantarkan kita pada pertanyaan besar, apakah AS justru malah merelakan Rusia dan Tiongkok semakin kuat di panggung internasional? Well, itu akan jadi topik yang menarik untuk kita diskusikan selanjutnya. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?