Sejumlah pengamat menilai, saat ini Indonesia terlalu diikat oleh kebijakan organisasi perdagangan dunia yang merugikan petani dan peternak dalam negeri. Akibatnya, ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia menjadi terancam.
PinterPolitik.com
“Soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa!” ~ Bung Karno
[dropcap]I[/dropcap]tulah pekikan Presiden Pertama Republik Indonesia pada 27 April 1952 di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian melepaskan diri menjadi Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada saat itupun, Bung Karno sudah menekankan pentingnya kedaulatan pangan, salah satunya dengan tidak bergantung pada beras impor.
Hingga kini, permasalahan kedaulatan pangan masih menjadi topik rumit. Apalagi November lalu, organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO) menyetujui gugatan Amerika Serikat (AS) dan Selandia Baru terkait kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya yang diberlakukan Indonesia.
Padahal menurut sejumlah pengamat, kebijakan pembatasan tersebut diperlukan demi melindungi para petani dan peternak dalam negeri dari persaingan harga produk-produk impor, terutama impor daging sapi dan beragam sayuran serta buah-buahan dari dua negara tersebut.
Demi kedaulatan para petani sudah sepatutnya Indonesia keluar dari WTO agar petani dan pedagang lokal lebih mandiri dan sejahtera. Cuma heran sama Wakil Rakyat @fadlizon masih ngotot dan mendesak pemerintah menerima tawaran Polandia untuk impor daging sapi murah.
cc; @jokowi
— Husein Alwi (@HusinShihab) November 24, 2017
Seperti yang dilansir portal Bisnis, Selasa (21/11) lalu, Rachmi menyatakan kalau Indonesia mau tidak mau harus menyesuaikan kebijakan pangannya dengan aturan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 yang akan bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani.
Bila memang kebijakan WTO merugikan kemandirian bangsa, karena harus mengikuti aturan yang ditetapkan. Mengapa hingga kini, Indonesia belum memutuskan keluar dari organisasi tersebut? Dan bagaimana pula posisi ketahanan pangan Indonesia sesungguhnya?
Posisi Indonesia di WTO
“Kebutuhan akan keamanan pangan akan dapat menjadi musuh bersama yang mengikat kita pada beragam tantangan ke depan dan membantu membangun keberlangsungan masa depan.” ~ Jose Graziano Da Silva, Direktur Umum FAO
Desakan agar Indonesia keluar dari WTO sebenarnya sudah terbetik sejak beberapa tahun lalu. Walau termasuk pendiri, namun kemandirian pangan Indonesia kerap diintervensi dengan sejumlah peraturan perdagangan bebas yang ditetapkan organisasi ini. Akibatnya, mau tidak mau Indonesia ikut terjerat dalam sistem neoliberalisme dunia.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana bahkan menilai, keputusan Indonesia masuk ke dalam sistem WTO, sejauh ini tidak memberi dampak positif bagi sektor perekonomian Indonesia. Sebab delegasi Indonesia di perundingan internasional masih belum mampu memperjuangkan masalah ekonomi dan perdagangan yang menunjukkan realitas di Indonesia.
Menurut Juwana, WTO yang awalnya dibentuk dari GATT ini kerap dijadikan sebagai instrumen politik negara maju untuk menguasai pasar negara berkembang. Akibatnya, hukum internasional yang terkait dengan ekonomi dan perdagangan telah membungkus kepentingan negara maju, tanpa bisa ditentang oleh negara berkembang.
Salah satu contohnya, adalah keputusan Appelate Body WTO yang memenangkan gugatan AS dan Selandia Baru tersebut. Padahal bila dilihat dari volumenya, keduanya bukanlah importir daging sapi terbesar di Indonesia. Sehingga disinyalir, mereka sengaja menggugat sebagai alat tekan untuk meningkatkan volume impornya.
Importir daging sapi terbesar Indonesia sebenarnya Australia, namun dalam kenyataannya, Australia bahkan tidak keberatan dengan adanya pembatasan impor yang dilakukan Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri, sejauh ini telah beberapa kali melakukan banding atas keputusan tersebut, namun selalu berujung pada penolakan.
Juwana bahkan menyimpulkan, mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan melalui Dispute Settlement Body (DSB) antara negara maju dengan negara berkembang, jika diteliti, putusannya selalu menguntungkan negara maju. Sebab dalam jangka waktu tertentu, pemenang dapat melakukan pembalasan (retaliatory measure) terhadap pihak yang kalah untuk memaksa menjalani putusan.
Terlebih, putusan ini hanya efektif dilakukan bila yang berhadapan adalah negara besar dengan negara yang relatif lebih kecil, namun tidak sebaliknya. Kurangnya solidaritas antar negara-negara berkembang juga menyebabkan posisi tawar Indonesia menjadi rendah. Juwana melihat, solidaritas tersebut sulit dibangun karena negara-negara maju seolah mempunyai cara untuk memecah-belah solidaritas kelompok negara berkembang.
Dilema Keanggotaan WTO
“Saya menentang WTO.” ~ Pat Buchanan
Kebijakan pasar bebas yang diterapkan WTO, sebenarnya juga mendapat tentangan di negara adidaya, seperti AS. Bahkan Presiden Donald Trump sendiri pernah mengancam kalau AS akan keluar dari WTO bila kebijakan pasar bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA) tidak dihapus atau direvisi ulang.
Sebelumnya, politikus Pat Buchanan juga pernah menentang masuknya AS menjadi anggota WTO. Ia berpikir, penerapan NAFTA akan menyebabkan negara-negara maju kalah bersaing dengan negara-negara berkembang. Sehingga, ia menilai kebijakan WTO hanya akan menguntungkan negara berkembang.
Sebagai negara berkembang dan salah satu penghasil pangan terbesar, Indonesia memang diuntungkan dengan terbukanya kesempatan ekspor ke negara-negara maju. Bergabungnya Indonesia ke dalam WTO, secara langsung meningkatkan keberadaan dan pengakuan di tingkat internasional. Di akui atau tidak, negara maju juga telah menjadi sumber pemasukan ekspor terbesar bagi Indonesia.
Di sisi lain, sebagai negara berkembang, Indonesia dapat mengambil banyak pelajaran dari negara-negara maju. Sejauh ini, industri dan regulasi pangan Indonesia terbukti mampu belajar dari sebagian anggota WTO yang terkategorikan sebagai negara maju, seperti AS, Jepang, Jerman, Prancis, dan lainnya.
Melalui perjanjian dan kebijakan WTO, sejauh ini, mampu menguntungkan Indonesia karena negara-negara maju ikut menutup kekurangan Indonesia dalam mencukupi kebutuhan nasional. Mau tidak mau, mereka juga harus ikut mentransfer pengetahuan dan teknologinya pada negara-negara berkembang, agar kualitas barang yang dihasilkan sesuai standar Internasional.
Keamanan Ketahanan Pangan Indonesia
“Ke depan, bukan politik lagi yang jadi panglima, mungkin bukan hukum lagi yang jadi panglima, tapi pangan yang bisa menjadi panglima. Siapa yang memiliki pangan, dia yang mengendalikan.”
Pernyataan ini disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dihadapan mahasiswa IPB, September lalu. Menurutnya, negara yang memiliki ketahanan pangan kuat, akan menjadi negara yang kuat. Tanpa ketersediaan logistik yang baik, suatu negara akan mudah ditundukkan. Sebab di masa mendatang, negara-negara di dunia akan saling berebut tak hanya pangan, tapi juga air dan energi.
Sebagai salah satu kekuatan negara, ketahanan pangan memang telah menjadi salah satu prioritas Pemerintahan Jokowi dan tercantum sebagai salah satu program utama Nawa Cita. Melalui tangan Kementerian Pertanian (Kementan), pemerintah melakukan berbagai terobosan agar para petani mampu meningkatkan produksi pangan.
Terobosan yang dilakukan ini, antara lain memberikan bantuan subsidi berupa alat mesin pertanian, subsidi pupuk, benih, perbaikan irigasi, hingga perbaikan tata niaga pangan – termasuk kebijakan dalam menerapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Upaya ini, menurut Anggota Komisi IV DPR O’o Sutisna, terbukti mampu memberikan kontribusi cukup besar dalam menekan angka kemiskinan.
Bahkan politikus Partai Gerindra ini, memberikan apresiasi tinggi atas kerja keras dan inovasi yang diterapkan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Perhargaan yang sama juga dilontarkan oleh Founder Lembaga Survei Kedai Kopi Indonesia Hendri Satrio. Menurutnya, Mentan telah memperlihatkan kerja keras dengan hasil yang bagus.
Pujian ini tak pelak berkat bukti yang diperlihatkan berbagai lembaga pangan internasional, akan kinerja pemerintah. Bank Dunia, misalnya, dalam outlook Perkiraan Produksi Beras 2018 yang dirilis Oktober lalu, menempatkan Indonesia sebagai negara yang mampu memasok kebutuhan pangan rakyat walau dunia tengah dilanda kekeringan.
Sedangkan Data Global Food Secirity Index The Economist menunjukkan ketahanan pangan Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jika pada 2016, ketahanan pangan Indonesia berada diperingkat 71 dari 113 negara. Di tahun ini, peringkatnya melompat menjadi diposisi 21. Tertinggi bila disandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara.
Kemampuan Indonesia meningkatkan ketahanan pangannya ini, menurut Mentan, memberikan rasa optimis kalau Indonesia mampu menjadi lumbung pangan dunia di tahun 2045 nanti. Salah satunya dengan mengubah peran Indonesia yang sebelumnya sebagai pengimpor, menjadi pengekspor.
Sikap yang sama juga diperlihatkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, apalagi pada Oktober lalu DPR telah mengesahkan Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh (PPPPM) mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia menjadi Undang-Undang. Menurutnya, amandemen ini akan memperkuat posisi Indonesia di WTO.
Salah satu keuntungannya, Indonesia dapat mengajukan berbagai keberatan ke WTO mengenai berbagai peraturan yang dapat merugikan Indonesia. Hak yang sebelumnya tidak bisa dilakukan dan membuat posisi Indonesia menjadi lemah.
Sehingga Enggartiasto yakin, saat ini posisi Indonesia akan jauh lebih kuat dalam bernegosiasi dengan WTO. Apalagi jumlah keberatan Indonesia masih sangat sedikit dibandingkan dengan Uni Eropa dan AS yang mencapai ribuan.
Jadi, selama Indonesia masih mampu memanfaatkan peluang dan mempertahankan sikap atas regulasi yang memproteksi kepentingan serta ketahanan pangan nasional, keluar dari WTO sepertinya masih belum menjadi pilihan yang tepat. (R24)