Jokowi yang dinilai pro terhadap Tiongkok akan dijawab dengan usahanya membangun kedekatan dengan IMF dan Bank Dunia.
PinterPolitik.com
[dropcap]I[/dropcap]ndonesia akan kembali mendapat kucuran dana dari Bank Dunia. Dana dari lembaga keuangan internasional itu tidaklah diberikan cuma-cuma. Dana itu berbentuk pinjaman, atau biasa disebut sebagai utang luar negeri. Jumlah utang luar negeri dari Bank Dunia itu ditaksir mencapai 924,6 juta dollar atau setara 13,86 triliun rupiah.
Utang luar negeri itu akan dialokasikan untuk enam program pembangunan di Indonesia, mulai dari peningkatan pengelolaan limbah, peningkatan efisiensi pendidikan, hingga pembangunan infrastruktur.
Mendapat kucuran dana dari luar negeri, apalagi dalam bentuk utang, mungkin sekilas seperti sebuah langkah “bunuh diri” Jokowi. Apalagi dana itu datang di tahun-tahun politik. Hal ini bisa saja akan menjadi celah bagi kelompok oposisi untuk menuduh bahwa pemerintahan Jokowi memang pro terhadap investasi asing.
Yang jadi pertanyaan lebih penting: apakah akan terus pertahankan kebijakan neoliberal ala Bank Dunia yg gagal ini ?? Atau banting stir ?? https://t.co/wDMBpcDAtq
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) March 19, 2018
Dalam konteks politik Indonesia, selama ini kelompok oposisi kerap kali melontarkan kritik terhadap Jokowi. Model pembangunan ala Jokowi dianggap berhaluan neo-liberal dan tak berhasil mendatangkan kesejahteraan. Prabowo, Fadli Zon dan tokoh oposisi lain cukup sering melontarkan kritik tersebut.
Maka langkah Jokowi dalam mendatangkan kucuran dana Bank Dunia di tahun politik seperti sekarang terbilang nekat. Akan tetapi, bukan tak mungkin Jokowi pun memiliki alasan lain mengapa ia menerima dana pinjaman tersebut. Mungkinkah ada muatan politik tertentu?
Pertarungan Dua Kekuatan Dunia
Setelah Uni Soviet runtuh pada dekade 1990-an, Amerika Serikat tampil menjadi kekuatan tunggal dunia. Dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, intervensi Amerika ke berbagai negara hampir sulit dibendung karena tak ada kekuatan negara lain yang mampu menandingi kebesaran Amerika Serikat.
Akan tetapi, setelah Donald Trump berkuasa di Amerika, semua nampak berbeda. Kebesaran Amerika mulai disalip oleh Tiongkok. Pakar geopolitik Alan Dupont dalam Jakarta Gepolitical Forum pernah mengatakan mengendurnya kendali negara Barat yang dipimpin AS dalam politik global disebabkan oleh menguatnya nasionalisme Amerika di bawah Donald Trump.
Sejak menjadi presiden, Trump berusaha membuat Amerika menarik diri dari kancah politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan mundurnya Amerika dari Trans Pacific Partnership (TPP). Tak lama kemudian, Tiongkok muncul dengan kebijakan One Belt and One Road yang dinilai merupakan ambisi Tiongkok untuk menjadi kiblat baru dunia.
Ambisi Tiongkok untuk menjadi kekuatan baru dunia sudah mulai terdengar semenjak 2013, ketika itu Presiden Tiongkok Xi Jinping menggembar-gemborkan visi untuk membangun sebuah bank multinasional bernilai miliaran dolar untuk membiayai pembangunan jalan raya, rel kereta dan jaringan listrik di seluruh Asia.
Kepala biro The New York Times di Beijing, Jane Perlez, berpendapat bahwa Beijing bisa saja akan menggunakan bank sebagai alat untuk menyebarkan pengaruh ke berbagai negara.
Bank Pembangunan dan Bank Ekspor-Impor Tiongkok sudah membiayai proyek-proyek besar di Asia dan Afrika. Menurut perkiraan Tiongkok, gabungan aset luar negeri mereka berjumlah $ 500 miliar, lebih dari gabungan modal Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Manuver politik luar negeri Tiongkok kini telah menjadi ancaman baru bagi Amerika. The Straits Times menulis bahwa saat ini Washington sangat khawatir terhadap ekspansi Tiongkok di negara berkembang karena dianggap akan melemahkan pengaruh Amerika.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara penerima kucuran dana dari Tiongkok. Di bawah kepemimpinan Jokowi, Indonesia memang terlihat cenderung lebih dekat ke Tiongkok dibandingkan dengan Barat. Hal itu bisa diperkuat dari data kerjasama ekonomi Indonesia dengan Tiongkok yang meningkat sejak 2014 hingga 2017. Sementara di sisi lain, justru investasi Amerika di Indonesia menurun.
Selain Indonesia, masih ada negara-negara lain yang mendapat kucuran dana dari Tiongkok. Mulai dari Rusia, Sri Lanka, Pakistan, negara-negara di Amerika Latin hingga Afrika. Saat ini, Tiongkok telah menjadi kekuatan baru di dunia. Maka tak heran ketika Amerika begitu khawatir Tiongkok akan menggeser posisi Amerika sebagai kekuatan dunia.
Seperti tak mau kalah dengan Tiongkok, Bank Dunia sebagai representasi kekuatan Amerika pun tak berhenti mengucurkan dana ke negara-negara berkembang. Total di tahun 2018, beberapa negara telah menerima dana pinjaman dari Bank Dunia. Sebagian besar negara seperti di Tanzania, Republik Dominika hingga India menggunakan dana pinjaman tersebut untuk membangun infrastruktur.
Tidak terkecuali di Indonesia. Sekalipun dianggap sangat dekat dengan Tiongkok, Indonesia tak menutup diri dengan kucuran dana dari Bank Dunia. Di tahun 2018, Indonesia sudah menerima pinjaman sebesar 300 juta dolar dari Bank Dunia untuk pariwisata dan 7,4 miliar dolar untuk 50 proyek di Indonesia.
Seperti disinggung pada pembahasan di awal, Bank Dunia berencana akan mengucurkan dana lagi untuk pembangunan di Indonesia. Uniknya, Jokowi tak sama sekali menolak kucuran dana tersebut, padahal selama ini dia diserang dengan isu-isu ekonomi oleh kelompok oposisi.
Jika dilihat dalam konteks global, Indonesia masuk dalam pusaran kepentingan dua kekuatan ekonomi dunia, yaitu Tiongkok dengan Amerika. Maka mungkinkah alasan Jokowi menerima kucuran dana dari Bank Dunia adalah cara Jokowi untuk menjawab tuduhan bahwa ia hanya pro terhadap Tiongkok?
Bebas Aktif Ala Jokowi
Selama memimpin Indonesia, Jokowi dianggap sangat pro terhadap Tiongkok. Survei Indo Barometer pada tahun 2017 memperlihatkan bahwa salah satu alasan masyarakat Indonesia tak puas dengan Jokowi karena dinilai terlalu dekat dengan Tiongkok.
Pemerintahan Jokowi kerap disebut cenderung berkiblat kepada Beijing. John McBeth berpendapat pengelompokan muslim dan non-muslim, tionghoa dan pribumi mungkin saja sengaja dibentuk oleh lawan politik Jokowi sebagai rencana permainan untuk Pilpres 2019.
Apalagi, Jokowi tercatat pernah melontarkan kritik terhadap IMF dan Bank Dunia pada KAA tahun 2015. Jokowi secara terang-terangan mengatakan bahwa pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang.
Jokowi berpendapat pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan hanya pada tiga lembaga keuangan internasional itu. Menurut dia, negara-negara Asia dan Afrika wajib membangun tatanan ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan dunia baru.
Mungkinkah karena alasan itu, Jokowi cenderung lebih dekat dengan Tiongkok? Jika benar, lalu mengapa dalam beberapa tahun terakhir, Jokowi justru masih menerima dana pinjaman dari Bank Dunia? Adakah maksud lain di balik hal itu?
Bisa saja langkah Jokowi dalam menerima kucuran dana dari Bank Dunia adalah cara Jokowi untuk menjawab tuduhan bahwa dia antek Tiongkok. Jokowi seperti ingin menegaskan bahwa Indonesia di bawah kendalinya masih berpolitik bebas aktif, alias tak memihak salah satu kekuatan dunia manapun.
Selain menerima utang luar negeri dari Bank Dunia, Jokowi juga seperti mengambil momentum pada perhelatan konferensi tingkat tinggi IMF-Bank Dunia di Bali. Jokowi telah memberikan karpet merah kepada lembaga keuangan internasional yang dulu pernah ia kritik. Bukan tak mungkin Jokowi akan diuntungkan dengan manuver politik seperti ini.
Di titik ini, Jokowi seperti sedang menunjukkan bahwa ia bersikap seimbang terhadap dua kekuatan besar dunia yaitu dunia Barat yang diwakili oleh IMF dan Bank Dunia dan juga Tiongkok sebagai lawan kekuatan tersebut.
Jokowi seperti sedang menunjukkan bahwa ia bersikap seimbang terhadap dua kekuatan besar dunia yaitu dunia Barat yang diwakili oleh IMF dan Bank Dunia dan juga Tiongkok sebagai lawan kekuatan tersebut. Share on XMenurut John McBeth pemerintah juga pernah berupaya untuk mencari investor dari Korea Selatan dan Jepang pada tahun 2017 untuk memberikan keseimbangan dari isu antek-Tiongkok.
Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa ada ketergantungan Jokowi kepada kedua kekuatan dunia, meski belakangan lebih dekat dengan Tiongkok. Terlihat bahwa ada interdependensi yang menurut Joseph Nye adalah saling ketergantungan antar aktor-aktor di negara lain yang menjadi rekan.
Maka pendapat umum tentang Jokowi yang dinilai pro terhadap Tiongkok akan dijawab oleh Jokowi dengan pagelaran KTT IMF-Bank Dunia dan pinjaman dari Bank Dunia. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah hal ini cukup untuk menghilangkan citra pro-Tiongkok terutama di dunia internasional? Menarik untuk ditunggu. (D38)