HomeNalar PolitikWong Indo Depak Wilders

Wong Indo Depak Wilders

Kemunculan Jesse Klaver, seorang anak muda yang punya pemikiran progresif, menjadi semacam ‘cahaya’ bukan hanya bagi Belanda, tetapi juga bagi Eropa secara keseluruhan. Klaver adalah salah satu pemimpin partai di Eropa yang menolak pemikiran Geert Wilders.


pinterpolitik.com

[dropcap size=big]A[/dropcap]da keturunan Indonesia di pemilu Belanda? Pasti banyak yang akan bertanya-tanya: siapa dia? Beberapa hari yang lalu kita menyaksikan bagaimana warga Belanda – dan Eropa secara umum –menanti-nanti hasil pemilu parlemen yang diselenggarakan di negara ini. Pemilu ini juga akan menentukan siapa yang akan berkuasa sebagai Perdana Menteri (PM) di Belanda.

Geert Wilders, lijsttrekkers – istilah untuk pemimpin partai sekaligus calon terkuat untuk menjadi Perdana Menteri dari partainya – dari Party for Freedom (Partij voor de Vrijheid/PVV) harus mengakui keunggulan Mark Rutte, incumbent dari partai People’s Party for Freedom and Democracy (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie, VVD).

Namun, bukan mereka berdua tokoh yang mencuri perhatian, khususnya bagi kita di Indonesia. Tokoh itu adalah Jesse Klaver, seorang anak muda dan pemimpin partai GroenLinks (Partai Hijau-Kiri) yang memiliki darah Indonesia dari ibunya. Dalam usianya yang masih sangat muda (30 tahun) ia sudah menjabat sebagai lijsttrekkers atau pemimpin partai GroenLinks, bahkan berpeluang memimpin negara Belanda – tentu saja kalau partainya memenangkan pemilu.

Bahkan, politisi muda yang kharismatik ini dianggap sebagai tokoh utama yang membawa perubahan signifikan pada peningkatan perolehan suara GroenLinks pada pemilu kali ini. Partai GroenLinks mengalami peningkatan perolehan suara dari 4 kursi parlemen pada pemilu tahun 2012, menjadi 14 kursi pada 2017. GroenLinks memang tidak memenangkan kursi terbanyak di parlemen. Namun, peningkatan perolehan kursinya yang lebih dari tiga kali lipat merupakan kemenangan tersendiri bagi GroenLinks. Klaver juga tercatat sebagai pemimpin partai termuda sepanjang sejarah Belanda. Lalu, siapa sebetulnya anak muda ini?

Jesse Klaver Melawan Populisme

Banyak pihak menilai kekalahan Geert Wilders pada pemilu Belanda mendatangkan kelegaan tersendiri bagi masyarakat di Eropa. Geert Wilders adalah politisi sayap kanan yang sangat keras menentang Islam dan imigran. Ia menjadi salah satu simbol gerakan anti imigran dan Islam di Eropa, bersama dengan beberapa pemimpin partai sayap kanan di Jerman, Perancis, Italia, dan negara-negara Eropa lainnya.

Kemunculan Jesse Klaver, seorang anak muda yang punya pemikiran progresif, menjadi semacam ‘cahaya’ bukan hanya bagi Belanda, tetapi juga bagi Eropa secara keseluruhan. Klaver adalah salah satu pemimpin partai di Eropa yang menolak pemikiran Geert Wilders ini. Kolumnis-kolumnis surat kabar Belanda dan Eropa menyebut Klaver sebagai antidote Wilders.

“Stand for your principles. Be straight. Be pro-refugee. Be pro-European. We’re gaining momentum in the polls. And I think that’s the message we have to send to Europe. You can stop populism.”

Demikian salah satu kutipan kampanye Klaver sebelum pemilu Belanda.

Walaupun yang memenangkan pemilu parlemen bukan GroenLinks, namun banyak pengamat politik yang menilai tampilnya Klaver yang menentang pemikiran-pemikiran Wilders menjadi salah satu alasan mengapa populisme Wilders kalah di Belanda. Klaver juga dianggap mampu membantu GroenLinks untuk pertama kalinya memenangkan persaingan di antara sesama partai-partai beraliran kiri. Ia juga untuk pertama kalinya mampu membawa GroenLinks berpeluang menjadi partai pemerintah – dengan membentuk koalisi tentunya. Klaver sendiri mengatakan dalam wawancara dengan CNN bahwa ia bangga karena partai populis Wilders tidak memenangkan pemilu Belanda.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Jesse Feras Klaver lahir di Rosendaal, Belanda pada 1 Mei 1986. Ayahnya adalah seorang keturunan Moroko, sementara ibunya adalah campuran Indonesia dan Belanda. Walaupun lahir di Rosendaal, saat ini Klaver tinggal di Den Haag – salah satu kota di Belanda yang dihuni banyak orang keturunan Indonesia. Awalnya Klaver tergabung dalam Christelijk Nationaal Vakverbond (CNV) – sebuah federasi dagang Kristen di Belanda. Pada tahun 2009 – dalam usia 23 tahun – ia menjadi anggota termuda pada Social Economic Council – sebuah lembaga penasihat ekonomi pemerintah Belanda.

Pada usia 24 tahun, ia bahkan sudah masuk dalam daftar anggota partai GroenLinks yang ikut dalam pemilihan anggota parlemen di tahun 2010. Klaver akhirnya terpilih menjadi anggota parlemen dan menjadi juru bicara GroenLinks untuk urusan sosial, pekerja, pendidikan, dan olahraga. Ia terpilih lagi menjadi wakil GroenLinks di parlemen pada pemilu 2012 – padahal saat itu hanya ada 4 kursi yang dimenangkan oleh GroenLinks di parlemen. Akhirnya pada tahun 2015 – pada usia 28 tahun – Klaver mengambil alih kepemimpinan GroenLinks dan menjadi lijsttrekkers pada pemilu 2017.

Akan menjadi cerita luar biasa kalau dalam usia yang begitu muda ini Klaver bisa memenangkan persaingan menjadi Perdana Menteri Belanda. Namun, kita mungkin harus menunggu beberapa tahun lagi untuk menyaksikan tokoh politik muda ini memimpin negeri Kincir Angin mengingat bukan partainya yang memenangkan persaingan.

Keturunan Indonesia yang Membela Imigran

Sesuai dengan ideologi partai GroesLinks yang progresif, peduli lingkungan, dan cinta damai demikian lah inti kampanye Jesse Klaver menjelang pemilu. GroesLinks merupakan hasil merger 4 partai politik, yakni Partai Komunis Belanda, Pacifist Socialist Party (Partai Pacifis), Political Party of Radicals dan Evangelical People’s Party. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa partai ini merupakan partai yang sangat progresif – menjunjung tinggi politik kebaruan.

GroesLinks juga adalah partai yang anti peperangan, anti kekerasan, serta – walaupun juga sedikit radikal – menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keberagaman. GroesLinks – karena namanya Partai ‘Hijau’ – juga konsen memperjuangkan isu-isu lingkungan, cinta pada hewan, kesejahteraan yang berkeadilan bagi semua orang (pendapatan, kesehatan dan pendidikan yang merata), serta menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Klaver selalu mengampanyekan keberpihakannya pada keragaman dan kaum imigran. Hal ini terlihat ketika Klaver berkampanye di depan 5.000 orang di Amsterdam Rock Arena – dengan 5.000 orang lainnya menyaksikan lewat facebook live – dan memberikan ‘secercah cahaya di tengah era politik yang mulai gelap’.

Kekalahan Geert Wilders ini menjadi hal yang menarik untuk dilihat, mengingat dalam 6 bulan terakhir persoalan agama dan pengungsi menjadi topik politik utama di negara-negara Eropa. Greet Wilders juga anti terhadap keberadaan Uni Eropa – hal yang membuatnya sejalan dengan politisi-politisi yang menyukseskan Brexit di Inggris. Pemerintah Belanda sendiri sedang mengalami konflik lain dengan Turki terkait larangan kampanye pro referendum kekuasaan Presiden Turki – Recep Tayyip Erdogan. Hal yang bisa berdampak terhadap keberadaan imigran Turki di Belanda ini juga menjadi salah satu momentum bagi melonjaknya perolehan suara GroenLinks.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Klaver dan GroenLinks menganggap Wilders dan gerakan populisme di Eropa sedang berusaha untuk menghancurkan nilai-nilai yang menjadi inti kepribadian masyarakat Eropa, yakni toleransi, empati dan kebebasan. “The values the Netherlands stands for – for many, many decades, centuries actually – its freedom, its tolerance, its empathy … [the populists] are destroying it,” demikian kata Klaver dalam sebuah wawancara di televisi.

Kalau saja pemilu ini dimenangkan oleh Wilders, maka bisa dipastikan akan ada guncangan pada Uni Eropa. Saat ini pun, Uni Eropa sedang dihadapkan pada persoalan kehilangan soliditas. Untuk beberapa saat, banyak pula yang menganggap masa depan politik Eropa akan dibayang-bayangi oleh ‘kegelapan’ – meminjam istilah para satiris untuk situasi yang terjadi di Amerika Serikat saat ini. Merebaknya gerakan populisme di Eropa juga dikhawatrikan akan membawa dunia ke dalam era perang baru. Maka, posisi dan kemunculan tokoh muda seperti Klaver seolah menjadi harapan baru untuk politik yang progresif dan manusiawi.

Darahku Indonesia!

Jesse Klaver menjadi salah satu dari sekian banyak tokoh terkenal atau politisi di negara lain yang memiliki darah Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan pernah menjadi presiden, misalnya Yusof Ishak yang menjadi presiden pertama Singapura. Berikut ini beberapa tokoh politisi berdarah Indonesia yang pernah memegang jabatan atau menduduki posisi penting di negara lain.

Politik Dunia Berdarah Indonesia

Di Belanda sendiri tercatat ada beberapa orang berdarah Indonesia yang pernah menduduki jabatan politik penting. Johan Jehosefat Lilipaly adalah orang berdarah Indonesia pertama yang menjadi anggota senat Belanda pada tahun 1986. Lilipaly menjadi anggota senat mewakili Partai Buruh. Puterinya – Caroline Lilipaly – adalah seorang model dan pembaca berita terkenal di Belanda. Selain Lilipaly, ada juga Sam Pormes – seorang keturunan Maluku – yang pernah menjadi anggota senat dari partai GroenLinks antara tahun 2001-2005.

Jesse Klaver menjadi salah satu orang keturunan Indonesia yang saat ini sedang menjadi perhatian. Ia kerap disamakan dengan Justin Trudeau – Perdana Menteri Kanada – mungkin karena rupa wajahnya yang mirip. Yang jelas, tokoh muda ini memberikan harapan bagi politik kebaruan yang toleran di tengah maraknya radikalisme dan isu populisme gerakan kanan. Sebuah kebanggaan bagi orang Indonesia karena Klaver juga berdarah Indonesia.

Justin Trudeau (kiri) dan Jesse Klaver (Foto: istimewa)

Rene Descartes (1596-1650) – seorang filsuf berkebangsaan Perancis – pernah mengatakan: “It is not enough to have a good talent, the main thing is to apply it well”. Jesse Klaver jelas punya talenta untuk menjadi seorang pemimpin dunia yang besar. Semua tergantung bagaimana ide-idenya diaplikasikan. Yang jelas, hasil pemilu Belanda membawa harapan untuk dunia yang lebih baik. (S13)

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.