“Ada juga satu kelompok yang juga merupakan keturunan ideologis dari Kartosoewirjo, namanya Ring Banten, yang lepas atau pecah dari DI (Darul Islam) pada waktu konflik Ambon. Nah, Ring Banten itu basisnya di Pandeglang di Banten, yang dulu juga basis DI. Dan orang-orang yang ikut dalam kelompok itu terdiri dari anak-anak yang bapaknya atau pamannya atau neneknya pernah bergabung dengan DI zaman dulu”. – Sidney Jones dalam wawancara dengan Mata Najwa
PinterPolitik.com
“Everybody’s worried about stopping terrorism. Well, there’s a really easy way: stop participating in it”.
:: Noam Chomsky, ilmuwan dan filsuf Amerika Serikat ::
Pasca insiden penyerangan yang menimpa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, isu terorisme mencuat kembali ke perdebatan publik.
Pihak kepolisian dan pemerintah secara cepat mengklaim bahwa pelaku penyerangan tersebut adalah bagian dari kelompok yang terpapar radikalisme – istilah yang hingga kini masih terdefinisikan secara abu-abu.
Secara spesifik bahkan polisi menyebut mereka bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) – kelompok teroris yang dituduh bertanggungjawab dalam serangan-serangan bom di Surabaya pada tahun 2018 lalu. Namun, beberapa pengamat meragukan hal tersebut.
Rektor Universitas Widyatama Bandung, Obsatar Sinaga misalnya, menyebutkan JAD selalu melakukan aksi terorisme dengan cara yang sistematis. Sementara, penyerangan terhadap Wiranto sulit untuk disebut sebagai aksi yang sistematis.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (MA), Sadeli Karim. Menurutnya daerah Menes yang menjadi tempat penyerangan Wiranto bukanlah markas JAD.
Bahkan, Karim juga menyinggung bahwa Menes dulunya justru adalah basis Negara Islam Indonesia (NII) atau yang juga dikenal dengan sebutan Darul Islam (DI) – gerakan yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Walaupun demikian, Karim kembali menimpali bahwa basis gerakan tersebut sekarang sudah tidak ada.
Pernyataan ini tentu saja sangat menarik. Pasalnya, beberapa pengamat dan peneliti terorisme di Indonesia menyebutkan bahwa kelompok teroris yang muncul pada tahun 1990-an hingga 2000-an, banyak di antaranya yang masih punya hubungan pertalian dengan gerakan macam DI.
Hal ini salah satunya disampaikan oleh peneliti terorisme dan penasehat senior International Crisis Group, Sidney Jones dalam salah satu wawancaranya di program Mata Najwa yang kala itu masih disiarkan oleh MetroTV.
Konteks tersebut tentu menimbulkan pertanyaan. Benarkah aksi-aksi terorisme yang saat ini masih ada di Indonesia adalah akibat tidak mampu terselesaikannya persoalan masa lalu dengan kelompok NII atau DI ini?
Mengingat bahwa TNI – katakanlah dulu lewat sosok seperti Ali Murtopo – punya Operasi Khusus untuk menanggulangi kelompok-kelompok ini, mengapa saat ini begitu sulit memberantas gerakan-gerakan semacam ini?
Terorisme: Berdamai Dengan Masa Lalu?
“Sampai sekarang jelas, kalau kita melihat keturunan dari setiap gerakan di setiap daerah. JI (Jemaah Islamiyah) dan Abu Bakar Ba’asyir, mereka selalu melihat diri sebagai orang yang akan melanjutkan program Kartosoewirjo yang dulu”. Demikianlah kata-kata Sidney Jones dalam wawancaranya dengan Najwa tersebut.
Pernyataan ini tentu menyiratkan bahwa DI sesungguhnya tidak pernah habis “dibasmi” – jika ingin disebut demikian. Nyatanya ideologi yang diwariskan oleh DI masih ada hingga kini. Kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang didirikan oleh Ba’asyir dan banyak melakukan aksi teror misalnya, menganggap diri mereka sebagai yang melanjutkan cita-cita Kartosoewirjo.
Pertanyaan yang kemudian mencuat adalah apakah warisan gerakan ini – baik secara ideologis maupun organisasi – murni bertahan atas kegigihan sendiri, atau memang “sengaja” tetap dihidupkan?
Wartawan Tempo, Nugroho Dewanto menyinggung hal ini. Ia membenarkan dugaan bahwa sebenarnya kelompok ini tidak pernah mati. Pasalnya, di masa Orde Baru, ada sebutan Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Murtopo yang justru bermain-main dengan kelompok ini.
Sebagai catatan, Ali Murtopo adalah salah satu sosok penting di lingkaran kekuasaan Soeharto. Ia pernah menjabat sebagai Asisten Pribadi Soeharto, Kepala Opsus, hingga Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) – lembaga yang kini dikenal dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Lembaga terakhir adalah salah satu yang dituduh “kecolongan” dalam kasus penyerangan terhadap Wiranto.
Nugroho Dewanto menyebutkan bahwa alasan gerakan-gerakan seperti ini tidak mati sangat mungkin karena kepentingan politik. Ia mencontohkan pertemuan antara petinggi-petinggi DI di Jalan Situ Aksan, Bandung pada tahun 1971 dengan Pitut Soeharto, punya kaitan dengan pemenangan Pemilu 1971 untuk Golkar. Pitut adalah “orangnya” Ali Murtopo dalam misi menginfiltrasi DI.
“Reuni pertama” DI ini menjadi salah satu awal perubahan perlakuan terhadap pentolan gerakan ini. Mereka yang tadinya tiarap semuanya dan merasa kalau berkumpul tidak aman karena takut ditangkap, justru kini merasa difasilitasi. Mereka bahkan diberikan uang dan diberi jaminan keamanan untuk kepentingan politik saat itu.
Selain itu, Orde Baru adalah rezim yang sangat keras terhadap komunisme yang pada saat yang sama juga menjadi musuh Islam. Artinya, pemerintahan Orde Baru dan DI punya musuh bersama kala itu. Pitut menjadi salah satu kunci infiltrasi militer kala itu ke sel-sel kelompok ini.
Pentolan-pentolan DI juga diberikan kemudahan berbisnis, bahkan ada beberapa di antaranya yang justru ditarik menjadi anggota BAKIN oleh Ali Murtopo. Salah satunya adalah Danu Muhammad Hasan yang merupakan ayah dari Hilmi Aminudin – salah satu pendiri Partai Keadilan Sosial (PKS).
Dari fakta-fakta tersebut, setidaknya bisa disimpulkan bahwa sesungguhnya militer – dalam hal ini ABRI dan kemudian TNI – sebetulnya punya jaringan ke kelompok-kelompok yang belakangan melakukan aksi teror jika ditelusuri satu persatu. Bahkan, BIN seharusnya punya pemetaan secara menyeluruh terhadap kelompok-kelompok ini. Lalu, mengapa hal itu tidak terjadi.
TNI, Kunci Terorisme Indonesia?
Pasca aksi teror yang terjadi di Surabaya pada tahun 2018 lalu, ada argumentasi yang menyebutkan bahwa masih kuatnya terorisme di Indonesia adalah karena kerja intelijen yang sudah dijalankan sejak era Ali Murtopo, tak lagi punya signifikansi – katakanlah jika menggunakan pandangan Sidney Jones bahwasanya kelompok teroris saat ini masih punya pertalian dengan gerakan-gerakan di masa lalu.
Kerja intelijen ini disebut tak lagi berjalan setelah reformasi ABRI terjadi, di mana Kepolisian kemudian berpisah dari TNI. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan untuk menempatkan penanganan terorisme di bawah Kepolisian, katakanlah dengan pendirian Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror.
Pendapat ini salah satunya diungkapkan oleh mantan Asisten dan Juru Bicara Kepala BIN, Muchyar Yara dalam wawancara dengan PinterPolitik.com. Menurutnya, aksi-aksi teror yang terjadi punya korelasi yang sangat kuat dengan tidak berjalannya revitalisasi kerja intelijen pasca reformasi.
Ia menuturkan bahwa ada dampak yang sangat besar ketika penanggulangan aksi-aksi teroris tidak lagi melibatkan TNI. Pasca Kepolisian mengambil alih tugas ini, dampaknya terasa pada ketersediaan informasi intelijen.
Menurut Muchyar, informasi dan data base terorisme yang dimiliki oleh Kepolisian tidaklah selengkap apa yang dimiliki oleh TNI. Faktanya, TNI – khususnya Angkatan Darat – telah mengumpulkan data base jaringan dan segala potensi atau riak yang mungkin muncul dari gerakan yang berbasis fundamentalisme agama ini sejak era DI.
Data base terorisme ini punya fungsi yang sangat penting untuk mendeteksi potensi teror yang mungkin muncul. Menurut Muchyar, aksi-aksi terorisme yang terjadi saat ini punya hubungan yang sangat erat dengan gerakan sejenis di masa lampau, baik secara biologis maupun ideologis.
Secara biologis, sebagian besar pelaku teror saat ini punya hubungan darah atau kekerabatan dengan tokoh-tokoh gerakan serupa di masa lampau, sama halnya juga secara ideologis atau spiritualis. Kelebihan ini juga dapat terjadi karena dalam kurun waktu yang cukup lama, TNI telah “menginfiltrasi” organisasi atau kelompok yang berpotensi mendatangkan teror. Dengan demikian, pendeteksian aksi-aksi teror tentu saja lebih mudah dilakukan sejak dini.
Persoalannya, hal tersebut kini tidak lagi berkontribusi terhadap penanggulangan teror dalam negeri karena Kepolisian mendominasi pemberantasan terorisme. Sementara, TNI sangat sedikit dilibatkan di dalamnya.
Ini kemudian diperparah dengan berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Terorisme di DPR yang salah satu poin pembahasannya adalah terkait pelibatan TNI ke dalam gerakan pemberantasan terorisme tersebut.
Padahal, sudah saatnya TNI kembali dilibatkan dalam gerakan pemberantasan terorisme ini karena ancaman teror yang ada saat ini bukan lagi hanya berhubungan dengan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) saja, tetapi sudah jauh lebih luas.
Konteks ini beralasan dari sudut pandang bahwa TNI seharusnya yang menjadi institusi terdepan untuk menanggulangi terorisme yang punya akar masa lalu ini.
Persoalannya bertambah rumit jika menilik bahwasanya pemberantasan terorisme di Indonesia juga melibatkan perdebatan terkait anggaran. Sejauh ini, anggaran ini memang paling banyak dinikmati oleh Kepolisian sebagai institusi yang menangani terorisme.
Besaran bantuannya juga tak kecil. Antara 2008-2012 misalnya, total bantuan dari Australia yang salah satunya diperuntukkan untuk gerakan kontra-terorisme di Indonesia mencapai US$ 1 miliar (sekitar Rp 13 triliun. Demikianpun sumbangan yang diberikan oleh negara-negara lain, yang tentu saja tidak kecil.
Bahkan, setiap tahunnya bantuan untuk pemberantasan terorisme yang selalu mengalir ke dalam negeri sering kali menjadi sumber dana “panas” bagi pihak-pihak tertentu.
Dalam film dokumenter buatan stasiun TV SBS Australia berjudul Do Indonesian Terrorists Have Friends in High Places? yang dirilis tahun 2005, persoalan pendanaan ini dianggap sebagai salah satu hal yang menjelaskan “keuntungan” yang didapat pihak-pihak tertentu dari aksi pemberantasan terorisme di Indonesia.
Pada akhirnya, persoalan terorisme ini memang menjadi sangat kompleks. Yang jelas, penyerangan terhadap Wiranto sangat mungkin menjadi gambaran kisah sejarah yang belum selesai. Jika tak mampu menemukan ujung penyelesaian yang tepat, bukan tidak mungkin persoalan ini akan terus ada sampai kapan pun. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.