Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berencana menggelar Hari Pers Nasional (HPN) 2020 di Papua. Bukan hanya jurnalis dalam negeri, dalam HPN 2020 nanti PWI juga berencana mengundang jurnalis asing se-Asia-Pasifik.
PinterPolitik.com
PWI mengatakan bahwa Papua dipilih sebagai tuan rumah untuk menunjukkan bahwa Papua dalam kondisi baik dan aman.
Rencana PWI ini disambut baik oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto yang mengatakan bahwa HPN di Papua nanti merupakan bentuk kerja sama kementeriannya dengan PWI.
Namun, rencana ini nampaknya bertolak belakang dengan fakta pembatasan kebebasan pers yang selama ini terjadi di Papua.
Lalu, seperti apa kondisi kebebasan pers di Papua? Kenapa pemerintah mendukung HPN 2020 di Papua?
Belenggu Kebebasan Pers di Papua
Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada tahun 2017, Papua adalah wilayah dengan kebebasan pers terburuk di Indonesia. Masih di tahun yang sama Media Freedom Committee Indonesia (MFCI), yang beranggotakan sembilan jurnalis dari sembilan media di Indonesia, juga menemukan rendahnya kebebasan pers di Papua.
Berdasarkan survei lapangan MFCI di Papua, rendahnya kebebasan pers ini terlihat dari adanya atmosfir pengawasan, intimidasi, dan kekerasan yang dilakukan oleh otoritas.
Permasalahan kebebasan pers di Papua juga nampaknya masih terjadi pada tahun 2018, di mana berdasarkan Indeks Kemerdekaan Pers yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, Papua menjadi provinsi dengan peringkat terendah.
Buruknya kebebasan pers di Papua juga mendapat sorotan dari pihak asing.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan pemerintah Indonesia membatasi kebebasan pers di Papua, khususnya terhadap jurnalis asing.
Hal ini terlihat dengan adanya syarat bagi jurnalis asing yang harus mengantongi izin dari Tim Monitoring Jurnalis Asing, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Clearing House” jika ingin melakukan liputan di Papua.
Clearing House ini terdiri dari 12 kementerian dan lembaga pemerintah termasuk Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Nasional (BIN), Polri, dan TNI. Menurut pemerintah, penyaringan jurnalis asing di Papua ini diperlukan karena alasan keamanan terkait dengan resistensi masyrakat dan konflik berkepanjangan yang masih berlangsung di Papua.
Pandangan negatif kebebasan pers di Papua juga datang dari pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menyoroti adanya upaya pembatasan akses jurnalis asing ke Papua oleh pemerintah Indonesia.
Pandangan-pandangan tersebut bukan tanpa alasan. Fakta memang memperlihatkan banyaknya kasus pembatasan kebebasan pers yang terjadi di Papua, baik terhadap jurnalis asli Indonesia maupun asing.
Pada Februari 2018, tim jurnalis BBC Indonesia diusir dari Papua ketika sedang meliput wabah campak di Asmat. Menurut TNI, cuitan salah satu jurnalis di media sosial twitter dianggap mencemarkan nama baik dan menjurus kepada fitnah terhadap TNI dan negara Indonesia.
Jauh sebelum itu, pada tahun 2014, dua jurnalis asal Perancis ditangkap karena tuduhan penyalahgunaan visa kunjungan oleh kepolisian Papua. Hal ini mengundang kecaman dari AJI yang melihat bahwa penangkapan yang diikuti dengan pengambilan dan penghapusan hasil jurnalistik kedua jurnalis asing tersebut sebagai bentuk penghalangan tugas jurnalistik.
Bukan hanya pengusiran, tindak kekerasan juga dialami oleh jurnalis di Papua.
Saat meliput penangkapan aktivis Komite Nasional Papua Barat, jurnalis tabloid dan koran Jubi, Yance Wenda, dipukul dan ditendang oleh anggota kepolisian setempat.
Oknum polisi dari Polres Mimika juga pernah mengancam akan membunuh wartawan setempat dengan senjata api sambil mencaci maki tugas wartawan.
Bukan hanya intimidasi di lapangan, pembatasan kebebasan pers di Papua juga diduga terjadi di dunia digital.
Pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, pernah memblokir situs berita Suarapapua.com tanpa alasan yang jelas.
Di luar kasus-kasus intimidasi dan kekerasan di atas, masih banyak lagi kasus pembatasan kebebasan pers yang dialami oleh jurnalis domestik ataupun asing di Papua.
Lalu, dengan sejarah kebebasan pers yang cenderung buruk di Papua, kenapa baru sekarang pemerintah ingin mengubah hal tersebut?
Lagi-Lagi Jadi Panggung?
Hal ini mungkin terkait dengan popularitas Jokowi yang lima tahun ke belakang semakin meningkat di Papua. Melalui berbagai program, khususnya bidang infrastruktur, dan kunjungannya ke provinsi paling timur Indonesia ini, Papua dinilai beberapa pihak sebagai panggung pencitraan Jokowi.
Terlepas dari perdebatan mengenai apakah yang dilakukan Jokowi di Papua bentuk pencitraan semata atau benar-benar kepuasan masyarakat Papua, pada Pilpres 2019 lalu ia berhasil merebut 91 persen suara di Papua dan 80 persen suara di Papua Barat.
Selain karena popularitas Jokowi yang sudah meningkat di Papua, “keberanian” pemerintah untuk mendukung HPN 2020 di Papua juga mungkin dilatarbelakangi oleh kontrol pemerintah terhadap sebagian media arus utama (mainstream).
Perlu diketahui bahwa saat ini sebagian besar media TV dan cetak nasional di Indonesia dikuasai oleh delapan konglomerat bisnis. Dari delapan nama ini, tiga di antaranya yaitu Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, dan Erick Thorir, secara jelas masuk ke dalam barisan pendukung pemerintahan Jokowi.
Menurut Herman dan Chomsky, dalam bukunya yang berjudul Manufacturing Consent, media massa dapat digunakan sebagai alat propaganda oleh kelompok kepentingan, termasuk pemerintah. Hal ini dicapai salah satunya melalui kepemilikan dan sumber dana media massa tersebut.
Sebagai alat propaganda, media digunakan untuk mempromosikan sudut pandang dan dukungan publik sesuai keinginan pemilik media tersebut.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dewan Pers. Menurut lembaga tersebut, konglomerasi media yang terjadi di Indonesia menjadikan media hanya sebagai alat kepentingan eknomi dan politik dari pemiliknya.
Hal ini sepertinya sudah terjadi di Papua. Berdasarkan wawancara dengan Tirto.id, salah satu dewan media Jubi, Victor Mambor, menyebutkan bahwa 90 persen wartawan di Papua terlibat suap. Suap ini diberikan oleh pejabat daerah hingga perusahaan besar yang menyebabkan pemberitaan media di Papua cenderung hanya menulis hal-hal positif saja.
Melihat kondisi-kondisi di atas, bisa jadi dukungan pemerintah terhadap HPN 2020 nanti dilatarbelakangi keyakinan pemerintah yang dapat mengendalikan narasi pemberitaan media terhadap isu-isu seputar Papua. Dengan kata lain, HPN 2020 bisa digunakan sebagai propaganda pemerintah bahwa Papua “baik-baik saja”.
Hal ini juga dikhawatirkan oleh Ketua AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw. Di satu sisi ia mendukung renana HPN 2020 di Papua, namun di sisi lain ia juga menghawatirkan jika HPN 2020 nanti dipolitisasi dan dalam peliputannya, wartawan-wartawan yang datang ke Papua dibatasi pergerakannya.
Memang, sejauh ini kebebasan pers di Papua masih dinilai buruk oleh banyak pihak. Namun, bukan berarti tidak ada peluang untuk memperbaiki kondisi yang ada.
Keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi di Papua yang selama ini menghambat akses jurnalis dan informasi, khususnya di daerah pedalaman, mulai berkurang seiring dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Pun pemerintah pada 2015 sudah pernah mengutarakan janjinya untuk mendorong kebebasan pers di Papua. Kala itu Jokowi menyatakan bahwa wartawan asing akan diperbolehkan dan bebas datang ke Papua.
Kita tunggu saja apakah HPN 2020 nanti dapat menjadi batu loncatan perbaikan kebebasan pers di Papua atau hanya sekedar janji dan panggung pencitraan, hal yang tentu saja menjadi ironi dalam pernyataan-pernyataan Menkopolhukam Wiranto. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.