Bergabungnya mantan Panglima ABRI Wiranto ke PAN mengindikasikan para petinggi militer era Orde Baru (Orba) masih akan bermain di perpolitikan 2024. Namun, pengaruhnya dinilai tak terlampau signifikan. Mengapa demikian? Serta, seperti apa proyeksi eks militer penerus Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Prabowo Subianto dalam perpolitikan Indonesia ke depannya?
Jika diamati lebih dalam, manuver eks Jenderal ABRI era Orde Baru (Orba) menjelang tahun politik 2024 tampaknya belum memantik simpati politik pemilih secara signifikan.
Tercatat, narasi seputar pencapresan ketiga Prabowo Subianto, kritik sporadis Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada pemerintah, hingga kepindahan Wiranto ke PAN seolah tak terlampau memikat.
Nama terakhir, yakni mantan Panglima ABRI (1997-1999) Jenderal TNI (Purn.) Wiranto yang berpindah partai dinilai tak akan membawa banyak efek elektoral positif bagi partai besutan Zulkifli Hasan.
Itu dikarenakan, selain jarang aktif bersuara dan tampil di politik nasional, Wiranto meninggalkan Partai Hanura dalam kepengurusan yang dikelola figur baru. Utamanya setelah tak lolos parlemen di 2019.
Setidaknya, alasan itu selaras dengan yang dikatakan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago.
Arifki menambahkan, loyalis Wiranto juga terpecah dan bahkan bergabung dengan partai politik (parpol) lain selepas Pemilu 2019.
Simpati politik kepada eks Jenderal ABRI lain, yakni Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra yang juga Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto juga seolah masih stagnan.
Kemungkinan besar kembali menjadi calon presiden (capres) untuk ketiga kalinya, strategi politik Prabowo yang kini ingin meneruskan visi kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru tampak “tak menggigit”.
Bahkan sebelumnya, sejumlah kalangan yang “dikhianati” Prabowo di 2019 telah menyatakan konsistensi tak akan mendukung eks Panglima Kostrad itu di 2024.
Sementara di sisi berbeda, gagasan perubahan yang dibawa Partai Demokrat melalui telaah kritis sporadis sang Ketua Majelis Tinggi, SBY, kepada pemerintahan Jokowi seakan tak mendapat sambutan signifikan dari khalayak secara luas.
Lalu, pertanyaannya, mengapa para purnawirawan ABRI itu masih bersikukuh untuk aktif di perpolitikan jelang 2024? Serta, bagaimana prospek mereka dan para penerusnya yang berlatar belakang militer di perpolitikan nasional mendatang?
Kesempatan Pamungkas, Percuma?
Dalam buku berjudul The Army and Politics in Indonesia, cendekiawan politik Australia sekaligus Indonesianis Harold Crouch mengatakan eks militer memiliki justifikasi yang dianggapnya sahih untuk berpartisipasi dalam politik nasional.
Menurut analisis Crouch, karena turut serta dalam perjuangan kemerdekaan, militer dan eks militer di era Orde Lama (Orla) merasa memiliki kewajiban untuk meneruskan aspirasi politiknya di roda pemerintahan.
Gagasan serupa kemudian tampak tak berbeda di sepanjang era Orba. Partisipasi pada sejumlah kampanye politik kekuasaan seperti meredam gejolak politik dan pemberontakan, perjuangan di Timor Timur, Papua, hingga Aceh disebut membuat sebagian besar pejabat tinggi militer merasa aspirasi politik mereka harus diakomodasi. Terlebih, saat mereka memiliki hak politik setelah purna tugas.
Selain itu, menurut pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, “semangat politik” menjadi DNA bagi militer Indonesia.
Kembali, itu disebabkan catatan historis nilai politik dan militer yang sudah begitu merekat dan wajar bila seorang purnawirawan mengartikan komitmennya pada politik sebagai suatu lanjutan perjuangan.
Akan tetapi, tak semuanya berujung indah. Tercatat, hanya SBY yang berhasil merengkuh posisi tertinggi sebagai Presiden ke-6 RI. Kepemimpinannya pun tak sedikit mendapat sorotan minor dan kerap diungkit kembali hingga kini.
Penyebabnya, selain bagian dari hakikat politik, kualitas ketokohan, dan tarik menarik daya tawar, kepemimpinan dan kontribusi militer dalam politik dan pemerintahan cenderung sama saja.
Memang, eks militer kerap disebut sosok yang lebih baik karena latar belakang profesionalnya menyiratkan nasionalisme hingga kedisiplinan tinggi sebagaimana dijelaskan Tom Kolditz dalam Why the Military Produces Great Leaders.
Akan tetapi, sebuah penelitian dari R.D. McKinlay dan A.S. Cohan yang dipublikasikan dalam Comparative Analysis of the Political and Economic Performance of Military and Civilian Regimes kiranya menegasikan postulat yang menyebut kepemimpinan sosok berlatar belakang militer lebih baik dibandingkan sipil.
McKinlay dan Cohan melakukan perbandingan kinerja di bidang politik, pertahanan, dan ekonomi di antara negara-negara yang “dikelola militer” dan negara-negara yang dikelola sipil.
Hasilnya, tidak terdapat banyak perbedaan antara sipil dan militer, sekaligus membantah persepsi pihak yang cenderung menginferiorkan kepemimpinan dari kalangan sipil.
Bahkan, konstruksi minor inheren pun kerap melekat pada sosok berlatar belakang eks Jenderal ABRI di Indonesia. Mulai dari dianggap kurang peka terhadap isu HAM, lebih bertangan besi, hingga asumsi keterlibatan politik demi meneruskan konsesi ekonomi-politik Orba.
Jika persepsi itu eksis dan berkembang di seputaran Pemilu 2024, kesempatan terakhir untuk berkontribusi bagi sosok seperti Prabowo, SBY, hingga Wiranto kiranya akan berujung antiklimaks.
Memang, para Jenderal ABRI memiliki “penerus” dalam diri, misalnya, Moeldoko, Gatot Nurmantyo, hingga Dudung Abdurachman.
Lantas, bagaimana proyeksi dan prospek “Jenderal ABRI” penerus Prabowo, SBY, Luhut, Wiranto, dkk itu?
Gagal Menyamai?
Menarik memang ketika Jenderal ABRI penerus Prabowo, SBY, hingga Wiranto yang sejauh ini muncul mayoritas berasal dari matra darat.
Dua mantan Panglima TNI, yakni Moeldoko dan Gatot Nurmantyo, plus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) aktif Jenderal Dudung Abdurachman bisa dikatakan memiliki kans lebih untuk menjadi suksesor elite politik berlatar belakang serdadu.
Mereka pun seolah masih memiliki karakteristik serupa karena lahir dan besar di era Orba.
Namun, baik Prabowo, SBY, dan Wiranto naik ke kasta tertinggi politik dan pemerintahan tanah air berkat privilese yang kiranya tak dimiliki penerusnya itu.
Seperti disiratkan Damien Kingsbury dalam buku berjudul Power Politics and the Indonesian Military Prabowo disebut memiliki kekuatan dan keistimewaan karena merupakan menantu Presiden ke-2 RI Soeharto.
Prabowo juga merupakan putra kandung dari mantan menteri di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Ihwal yang menjadikannya memiliki modal sosial, politik, plus ekonomi lebih dan wajar kiranya dapat meraih posisi saat ini, di samping sepak terjangnya di militer.
Sementara SBY pun demikian. Selain kiprah apik di ABRI dan peran mereformasi angkatan bersenjata, dirinya merupakan menantu dari Sarwo Edhie Wibowo, satu dari Jenderal yang sangat disegani di negeri ini.
Di sudut lain, Wiranto mendapat reputasi saat mengawal stabilitas negara di krisis politik 1998 sebagai Panglima ABRI.
Prabowo, SBY, dan Wiranto juga sama-sama memiliki kisah heroik saat bertempur di berbagai palagan saat Indonesia menghadapi tantangan pertahanan, termasuk di Timor Timur.
Jenderal ABRI lain yang kini eksis di politik dan pemerintahan pun demikian. Sebut saja nama A.M. Hendropriyono hingga Luhut Binsar Pandjaitan yang memiliki reputasi melegenda saat mengemban posisi strategis di militer.
Sayangnya, meski berada di era dengan tantangan yang berbeda, Moeldoko, Gatot, hingga Dudung agaknya lebih banyak dikenal karena hal yang berbau kontroversi.
Tercatat, Moeldoko sempat menghebohkan perpolitikan tanah air berkat manuver yang disebut sebagai “kudeta” Partai Demokrat dan berakhir kegagalan. Sementara itu, John McBeth dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics menyebut Gatot merupakan Jenderal yang sejak masih aktif telah menunjukkan ambisi politiknya dengan merangkul kelompok Islam konservatif.
Manuver Jenderal Dudung saat menertibkan Front Pembela Islam (FPI) pun kerap dinilai memiliki tendensi politis yang sayangnya mendapat respons kurang baik.
Kiranya, tinggal tersisa satu nama lain, yakni mantan Panglima TNI Andika Perkasa yang tampak punya peluang dengan “kerendahan hati politiknya”. Tetapi, ambisi politiknya hingga kini seolah tak sebesar tiga nama lainnya.
Satu hal lain, bukan tidak mungkin terdapat pula adanya “kebosanan politik” terhadap para Jenderal ABRI dalam dimensi politik mendatang.
Lantas, bagaimana proyeksi peran sosok berlatar belakang militer dalam perpolitikan Indonesia di masa yang akan datang?
Menanti “Jenderal Milenial”?
Kendati memiliki impresi yang tak sepenuhnya positif, harapan bagi eks militer atas peran yang lebih konstruktif bagi politik dan pemerintahan tanah air kiranya tak akan pudar begitu saja.
Di titik ini, ekspektasi kepada para perwira yang lahir menjelang dan pasca Reformasi tak berlebihan kiranya untuk dinantikan. Tentunya setelah mereka purna tugas kelak.
Memang, itu membutuhkan waktu paling tidak satu sampai dua dekade lagi untuk dapat terlihat. Akan tetapi, literasi politik yang lebih terbuka dan inklusif bisa saja membuat kiprah positif mereka bagi pemerintah dapat terwujud.
Satu sampel yang mungkin sedikit dapat dijadikan titik tolak ialah pemetaan pengikut PinterPolitik di Instagram. Hasilnya, mereka yang berlatar belakang para perwira menengah dan perwira pertama TNI cukup banyak. Bahkan, tak sedikit yang berasal dari pasukan khusus.
Tak hanya itu, mereka kerap menyukai infografis maupun konten politik yang bernuansa kritis dan cukup sensitif.
Dengan kata lain, para perwira generasi baru atau “milenial” ini kiranya telah memiliki keterbukaan pemikiran dalam hal bertendensi politik.
Di samping itu, masih terdapat pula nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang telah terjun ke politik saat ini. Dan, tak menutup kemungkinan dirinya bisa memperbaiki kekurangan para “Jenderal ABRI” di kancah politik mendatang.
Akan tetapi, harapan positif bagi para Jenderal ABRI yang masih memiliki kesempatan di Pemilu 2024 kiranya tetap harus dikedepankan. Momen pamungkas untuk berkontribusi membawa negara ke arah yang lebih baik tentu masih dinantikan dari para legenda hidup militer seperti Prabowo, SBY, Wiranto, Luhut, Moeldoko, dan seterusnya. (J61)