Nama Wiranto beberapa waktu terakhir mendapatkan sorotan publik. Saling tuduh antara dirinya dengan Kivlan Zein dan Prabowo Subianto terkait siapa dalang di balik kerusuhan Mei 1998, menjadi bab baru pertikaian politik jelang Pilpres 2019 ini. Nyatanya, the soft-spoken dan ambitious general yang disebut sebagai salah satu pendiri FPI itu – demikian dibahasakan oleh beberapa penulis – masih menjadi salah satu kekuatan politik utama di negeri ini.
PinterPolitik.com
“Big results require big ambitions”.
:: Heraclitus (535-475), filsuf Yunani Kuno ::
[dropcap]T[/dropcap]he man of destiny whom history passed by, demikianlah Martin Sieff – seorang koresponden senior internasional – menyebut Wiranto dalam salah satu tulisannya untuk United Press International (UPI) pada Oktober 1999.
Orang yang semula dianggap akan memenuhi takdirnya menjadi penguasa menggantikan Soeharto, namun akhirnya menjadi “sosok yang dilewati oleh sejarah”.
Kata-kata Sieff tersebut merupakan bagian dari ulasannya pasca Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat kala itu, mencopot Wiranto dari dua posisi penting, yakni Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Menteri Pertahanan. Pencopotan itu menjadi titik balik hubungan sipil-militer di negara ini pasca Reformasi 1998.
Pertanyaan besarnya adalah apakah hubungan Wiranto dengan ormas seperti FPI dan kedekatannya dengan Rizieq Shihab akan mampu membawa perubahan arah dukungan politik kepada Jokowi atau tidak. Share on XSetelah hampir 20 tahun tulisan Sieff tersebut terbit, kini Wiranto masih tetap memainkan peranan penting, setidaknya dalam konteks politik nasional. Pria kelahiran Yogyakarta itu menjadi salah satu tokoh penting di belakang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), dan kelihatannya masih akan berperan untuk pemenangan sang petahana di Pilpres 2019 ini.
Hal itu terlihat dari pertentangannya dengan dua mantan jenderal lain, Prabowo Subianto dan Kivlan Zein – dengan dua nama terakhir ada di satu kubu. Beberapa hari lalu Wiranto menantang Prabowo dan Kivlan untuk melakukan “sumpah pocong” terkait tuduhan yang menyebut mantan ajudan Presiden Soeharto itu sebagai dalang kerusuhan 1998.
Kivlan mengajak Wiranto untuk berdebat secara terbuka di televisi, namun nama terakhir justru menantang untuk melakukan sumpah pocong – sejenis sumpah yang dilakukan sambil mengenakan kain kafan, yang dalam keyakinan umat muslim (sekalipun tak ada hukum Islam-nya), orang yang berbohong dipercaya akan mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Dengan konteks persoalan ini, publik tentu bertanya-tanya mengenai posisi politik jenderal yang ternyata juga jago bernyanyi itu. Pertautan hubungannya dengan Prabowo – mengingat ia adalah salah satu sosok utama di balik pemberhentian Ketua Umum Partai Gerindra itu dari militer – membuat tanda tanya mencuat, akankah Wiranto bisa menjadi penentu hasil akhir Pilpres 2019?
Wiranto dan Tuah Jenderal Hijau
Banyak pengamat dan ahli Ilmu Sosial-Politik yang menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mengukur ambisi kekuasaan seseorang adalah dari seberapa sering orang tersebut mencalonkan diri dalam kontestasi elektoral, katakanlah untuk jabatan tertinggi yang ingin dicapainya.
Dalam konteks Wiranto, ambisi politiknya memang tidak bisa disebut kecil – hal yang tentu saja positif pada titik tertentu. Sebab, seperti kata Heraclitus di awal tulisan, hasil-hasil yang besar hanya bisa didapatkan dari ambisi yang besar pula.
Sejak akhir-akhir menjelang kejatuhan Soeharto, konteks peluang Wiranto untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia memang terbuka sangat lebar. Ia adalah pemimpin tertinggi militer kala itu.
Bahkan, jelang pengunduran diri Soeharto, disebutkan bahwa sang presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 16 tahun 1998 yang mengangkat Wiranto sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Dalam Inpres tersebut memang disebutkan bahwa Wiranto bisa mengambil alih kekuasaan jika kondisi negara dalam keadaan yang genting dan chaos. Namun, hal itu tidak dilakukannya – setidaknya itu yang ia katakan dalam wawancarannya pada acara Kick Andy di tahun 2006.
“Digunakan boleh, tidak ya tidak apa-apa”, demikian tutur Wiranto menirukan kata-kata Soeharto yang disampaikan padanya kala itu.
Wiranto menyebut dirinya tidak menggunakan Inpres tersebut demi tidak memperburuk situasi nasional yang kala itu makin panas, dan memilih untuk mengawal pergantian kekuasaan sesuai konstitusi – hal yang entah kini disesali atau tidak olehnya.
Kedekatannya dengan Soeharto yang terbangun hingga sempat menjadi ajudan sang presiden antara tahun 1987-1991, nyatanya belum memberikannya takdir untuk menjadi penguasa – mungkin karena pertimbangan tentang kepentingan nasional yang lebih besar, atau karena dinamika politik yang terjadi di internal militer, termasuk dengan Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden.
Yang jelas, keputusan itu membuat Wiranto mulai menjauh dari posisi puncak kekuasaan tertinggi di negara ini, apalagi pasca Gus Dur mencopot dua jabatan darinya pada tahun 1999. Tetapi, apakah hal itu membuatnya berhenti?
Tentu saja tidak. Pada Pilpres 2004, ia maju sebagai capres bersama Salahuddin Wahid dengan memakai kendaraan Partai Golkar. Begitupun di Pilpres 2009, ia maju sebagai cawapres mendampingi Jusuf Kalla (JK).
Hal yang makin menarik bahkan terjadi jelang Pilpres 2014. Pria yang oleh beberapa penulis disebut sebagai bagian dari “tentara hijau” itu – sebutan untuk faksi Islam di militer – justru sempat mendeklarasikan diri maju bersama pengusaha Tionghoa-Kristen, Hary Tanoesoedibjo (HT).
Kala itu, publik menyaksikannya tampil dan menyamar sebagai tukang becak hingga kernet bus kota bersama HT di acara-acara stasiun televisi milik HT untuk mengkampanyekan dirinya.
Sekalipun akhirnya keduanya tidak jadi maju bersama, namun pemandangan tersebut menjadi simpul ambisi politik Wiranto. Pasalnya ia disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Front Pembela Islam (FPI) dan juga menjadi salah satu sahabat dekat Imam Besar ormas garis keras tersebut, Habib Rizieq Shihab.
Dari pencalonan-pencalonannya tersebut, Wiranto memang jelas masih punya hasrat besar menjadi penguasa. Ini juga menjadi pembuktian konsep yang diungkapkan oleh David McClelland sebagai need for power (nPow). Pemahaman yang ada dalam ilmu psikologi ini menyebutkan bahwa memiliki power atau kekuasaan untuk mengontrol dan mempengaruhi orang lain adalah salah satu kebutuhan dasar manusia.
Pemikiran McClelland ini memang dipakai untuk mengembangkan argumentasi bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia secara konstan digerakkan oleh tiga hal, yakni kebutuhan akan afiliasi, kebutuhan akan pencapaian, dan kebutuhan akan power.
Hal ini juga mirip dengan pemikiran Friedrich Nietzsche tentang will to power – walaupun dalam tataran praktis, “kebutuhan” atau need punya tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan “keinginan” atau will. Menurut Nietzsche, keinginan atau kebutuhan atas power adalah insting yang menjadi faktor penggerak semua tingkah laku manusia.
Dalam konteks Wiranto, sangat mungkin sang jenderal masih menyimpan hasrat berkuasa tersebut. Keinginannya untuk maju setidaknya dalam “dua setengah” gelaran Pilpres – dengan 2014 sebagai bagian setengahnya – menggambarkan ambisi politik Wiranto, sekalipun dalam tataran yang masih positif.
Tantangan terbesarnya tentu saja adalah citra politik yang sudah terlanjut buruk. Sebagai pemimpin militer tertinggi pada tahun 1998, Wiranto dianggap bertanggungjawab terhadap berbagai kerusuhan yang terjadi kala itu. Hal inilah yang membuat namanya dianggap “tercoreng” secara politik karena bagaimanapun juga, kekuasaan politiknya saat itu sangat besar.
Membalikkan Sejarah
“Jenderal ini orang baik”, demikian kata-kata Presiden ke-2 RI, Bacharuddin Jusuf Habibie untuk menggambarkan Wiranto. Habibie mengaku dirinya terkesan dengan sikap Wiranto yang melaporkan padanya terkait Inpres Nomor 16 tahun 1998 – seperti yang disinggung sebelumnya – dan melihat sosok sang jenderal yang ingin terlibat aktif di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai tokoh yang berkesan.
Konteks tersebut memang menunjukkan bahwa Wiranto memainkan peranan perimbangan kekuasaan dengan cukup baik. Hal itu pun masih berlangsung hingga saat ini.
Keberadaannya dalam kabinet Jokowi disebut-sebut memang menjadi pertalian perimbangan kekuasaan oligarki politik. Masuknya nama Wiranto menjadi Menkopolhukam misalnya, disebut-sebut terjadi karena keinginan PDIP mengimbangi kekuasaan Luhut Binsar Pandjaitan yang dianggap terlalu dominan dan terlalu dekat dengan Jokowi.
Dengan segudang pengalamannya, Wiranto tentu akan menjadi booster politik yang besar bagi Jokowi, terutama untuk melawan sosok seperti Prabowo Subianto. Saat masih aktif di militer, Wiranto memang dianggap sebagai “rival sesungguhnya” dari Prabowo.
Tentu pertanyaan besarnya adalah apakah hubungannya dengan ormas seperti FPI dan kedekatannya dengan Rizieq Shihab akan mampu membawa perubahan arah dukungan politik kepada Jokowi atau tidak. Pasalnya, hingga detik ini publik masih menyaksikan Rizieq bersikap keras kepada pemerintahan Jokowi.
Selain itu, pertentangan besarnya juga melibatkan masih ada atau tidaknya ambisi Wiranto untuk berkuasa. Jika kembali menjadi bagian dari kekuasaan di periode berikutnya, ia masih akan menjadi sosok penting yang punya akses ke lingkaran dalam kekuasaan.
Yang jelas, Wiranto akan dikenang karena suaranya yang merdu, seperti ketika ia bernyanyi pada acara Konser Natal yang diadakan stasiun televisi milik HT.
Ia hijau, ambisius, tetapi juga soft-spoken. Mungkin sumpah pocong yang ia sebut hanya bagian dari gertakan-gertakan biasa. Sebab, publik tahu, bahwa baik dirinya maupun Prabowo sangat mungkin bukan penanggungjawab utama kerusuhan di 1998. Soalnya, saat itu Soeharto masih punya kuasa. (S13)