HomeNalar PolitikWillow Project, Biden Tiru Jokowi?

Willow Project, Biden Tiru Jokowi?

Pengesahan Willow Project oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden agaknya cukup serupa dengan apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2020 lalu terkait pengesahan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau Omnibus Law. Lantas, mengapa pemimpin negara terlihat mengabaikan ancaman lingkungan? 


PinterPolitik.com 

Pengesahan Willow Project oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada tanggal 13 Maret 2023 kemarin menjadi sorotan karena kebijakannya yang kontroversial dan berdampak pada ancaman lingkungan. 

Singkatnya, Willow Project merupakan salah satu proyek pengeboran minyak terbesar di AS yang diinisiasi oleh ConocoPhillips. Pengeboran ini nantinya akan dilakukan di Alaska, salah satu negara bagian AS yang berada di bagian utara. 

Area tersebut diprediksi bisa menampung hingga 600 juta barel. Namun, angka itu sepertinya terdengar tidak mudah untuk dicapai. Pasalnya, untuk mencapai angka tersebut, proyek ini harus dibangun dengan jumlah produksi yang sangat besar.  

Dampaknya, pengeboran minyak besar-besaran itu dapat menimbulkan ancaman terhadap alam liar, dan memicu perubahan iklim yang serius. Maka tak heran jika Willow Project ditentang oleh banyak pihak khususnya aktivis lingkungan.  

Direktur Kampanye Aksi Iklim AS Margie Alt menyampaikan jika keputusan Biden menyetujui Willow Project di Alaska sangat berbahaya selama beberapa dekade dan menenggelamkan peluang lingkungan serta ekonomi yang luar biasa.  

Selain itu, penasihat Natural Reseources Defense Counsel atau Pertahanan Sumber Daya Alam menyatakan dalam sebuah cuitan di Twitter bahwa mereka akan terus melawan proyek tersebut.  

pindah ibu kota eh malah banjir

“Ini akan meningkatkan krisis iklim dan mengunci kita selama beberapa dekade ketergantungan pada eksekutif Big Oil yang bertekad menghancurkan planet ini. Pertarungan belum berakhir dan kami akan mempertimbangkan setiap alat yang tersedia untuk menghentikan bom iklim ini.” Begitu  pernyataan organisasi tersebut.  

Menariknya, permasalahan Biden dan Willow Project seolah memiliki pola yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau Omnibus Law pada tahun 2020 lalu.  

UU Ciptaker juga mendapat kecaman dari banyak pihak karena berdampak pada kerusakan lingkungan yang serius. Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo menyampaikan, ada resiko tinggi bagi lingkungan dibalik efisiensi investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan oleh UU Ciptaker.  

Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas yang menyampaikan bahwa banyak pasal-pasal dalam UU Ciptaker yang dapat mempercepat deforestasi.  

Salah satunya terlihat dari perubahan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dalam UU Cipta Kerja.  

Ayat yang berbunyi “luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional” berubah. Batasan minimal 30 persen tersebut dihapus dalam UU Ciptaker.  

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional menyampaikan bahwa ini adalah ancaman paling mendasar dari perlindungan kawasan hutan. 

Perppu Ciptaker yang juga baru disahkan pun seakan tak banyak mengubah substansi “ancaman” di sektor lingkungan. Ihwal yang tercermin dari masih masifnya penolakan terhadap pengesahan regulasi itu. 

IG POTRAIT SIZE SQUARE

 

Padahal, Biden dan Jokowi sama-sama pernah menyampaikan komitmennya untuk mencegah krisis iklim.  

Pada saat masa sebelum terpilih sebagai presiden AS, Biden pernah menyampaikan komitmennya untuk mengatasi krisis iklim. Sekaligus akan mempersiapkan rencana paling progresif untuk mengatasi perubahan iklim.  

Begitu juga dengan Presiden Jokowi yang pernah menyampaikan komitmen Indonesia dalam penanganan perubahan iklim di COP26, salah satu konferensi yang diadakan oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).  

Di dalam forum tersebut, RI-1 menyampaikan Indonesia akan selalu berkontribusi untuk mengurangi emisi gas karbon sekaligus menekan krisis iklim. 

Lantas, yang menjadi persoalan adalah mengapa Biden dan Jokowi sama-sama melanggar ucapannya sendiri? Lalu, apakah persetujuan ini merupakan keterbatasan rasionalitas Biden dan Jokowi dalam mengambil keputusan? 

Kejadian Tak Terduga? 

Pelanggaran ucapan seperti yang disampaikan oleh pemimpin negara sebenarnya bukan permasalahan baru, apalagi konteksnya adalah untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. 

Cendekiawan Indonesia mendiang Prof. Azyumardi Azra dalam publikasi berjudul Janji Politik sempat menyinggung mengenai pelanggaran ucapan pemimpin tersebut.  

Azyumardi mengutip adagium dalam sandiwara komedi karya William Shakespeare bertajuk As You Like It, yakni “Dia menulis ungkapan berani, bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan berani, dan melanggarnya dengan berani.” 

Tentu, yang dimaksud Azyumardi ditujukan kepada janji yang kerap tak ditunaikan oleh pemimpin di negeri ini. 

Hal seperti itu dapat dipastikan membuat masyarakat kesal, yang pada akhirnya berujung kesepakatan bersama untuk menagih janji para pemimpin mereka.  

Dalam konteks Biden dan Jokowi, keduanya sama-sama mendapat protes dari masyarakat luas akibat mengesahkan kebijakan yang salah satunya berdampak pada krisis lingkungan. 

Tetapi, pelanggaran ucapan dari para pemimpin juga kerap disebabkan konteks lain. Di satu sisi, terdapat kemungkinan bahwa mereka memang benar-benar ingin mencoba untuk menerapkan janji yang telah disampaikan, namun terpaksa tertunda akibat adanya kejadian yang tak terduga.  

Wisnubrata dalam artikelnya tentang Janji Politik, Janji yang Tak Perlu Dipercayai menyampaikan alasan dibalik ingkar janji manis politikus.  

Ada beberapa hal yang menyebabkan pemimpin melanggar janji mereka, salah satunya adalah adanya faktor eksternal.  

Misalnya, seorang pemimpin mengatakan untuk mengurangi angka kemiskinan. Namun ternyata krisis ekonomi terjadi sehingga sulit mewujudkan janji tersebut.  

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Dalam konteks Biden, keputusan Biden menyepakati Willow Project agaknya salah satu keputusan Biden yang mendesak, karena AS sedang dilanda krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina.  

Selain itu, alasan AS membentuk pengeboran sendiri adalah untuk menekan krisis ekonomi, dan membuka peluang kerja. Maka dari itu Willow Project dianggap sebagai solusi alternatif bagi AS.  

Selanjutnya, dalam konteks Jokowi, pengesahan Omnibus Law oleh DPR adalah salah satu solusi atasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat Pandemi Covid-19.  

Omnibus law dibuat agar investasi semakin mudah, sehingga masyarakat dapat terus bekerja dan mendapat pendapatan. Oleh karenanya, pemerintah memberikan akses kemudahan izin berusaha kepada masyarakat untuk berinvestasi demi menunjang perekonomian negara.  

Tetapi, bagai pisau bermata dua, alih-alih menunjang perekonomian negara, disamping itu tampaknya justru ada ancaman yang lebih buruk karena minimnya perhatian dan kajian mendalam terhadap aspek lingkungan dalam kebijakan mereka.  

Lantas, apakah persetujuan kebijakan ini bisa dikatakan merupakan keterbatasan rasionalitas Biden dan Jokowi dalam mengambil keputusan? 

infografis opec tinggalkan biden demi putin 1

Tidak Ada Jalan Keluar? 

Manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu melakukan kegiatan ekonomi. Pada dasarnya, manusia selalu berupaya untuk memaksimalkan keuntungan melalui kegiatan ekonomi.   

Anindra Guspa dalam tulisannya Bounded Rationality menyampaikan bahwa manusia adalah Homo Economicus yakni makhluk yang rasional. Maka dari itu, manusia akan selalu mengandalkan rasionalitas untuk meraih keuntungan materiil sebesar-besarnya.  

Tetapi, pengambilan keputusan yang cenderung mengabaikan solusi alternatif akan menimbulkan bounded rationality atau rasionalitas terbatas. 

Peneliti di bidang psikologi kognitif dan filsafat Herbert A Simon menyampaikan bahwa manusia terbatas untuk mengambil, menyimpan, dan memproses informasi.  

Menurut Simon, manusia merasa “cukup puas” atau “puas” mencari solusi terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi, sehingga mereka cenderung mengabaikan orang lain.  

Dalam pengambilan keputusan, manusia akan cenderung mendasarkan pada aspek psikologis dan emosional.  

Contoh konkret perilaku individu yang tidak bisa dijelaskan oleh rasionalitas adalah ketika seseorang yang jatuh cinta, maka akan terlihat “gila” dalam mengejar cintanya.  

Dalam konteks Jokowi dan Biden, keduanya terlihat mengabaikan pertimbangan kebijakan dan informasi secara komprehensif bahwa kebijakan mereka akan berdampak serius pada lingkungan.  

Mereka terlihat “irasional” dengan perekonomian dan investasi sampai-sampai mengabaikan ancaman lingkungan.  

Meskipun terdapat kemungkinan lain dari  latar belakang ingkar  janji Biden dan Jokowi dalam kebijakannya masing-masing, dampak minor isu lingkungan kiranya memang tak bisa dipandang sebelah mata oleh pemimpin negara. 

Perlu keberanian dan komitmen kuat untuk tak menjadikan pertimbangan kelestarian lingkungan sebagai barikade yang mudah ditabrak demi kepentingan tertentu ataupun pertimbangan lainnya. (R86)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

More Stories

Seandainya Kasus Mario Tidak Viral

Kasus penganiayaan yang dilakukan anak pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo menjadi titik awal terkuaknya transasksi keuangan janggal fantastis. Pejabat negara Sri Mulyani...

Piala Dunia U-20, Pemerintah Tak Termaafkan?

FIFA secara resmi telah membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Keputusan FIFA membuat seluruh Tim Nasional (Timnas) U-20 dan masyarakat Indonesia kecewa....

Saudi-Iran, Tiongkok Numpang Eksis?

Tiongkok seolah berhasil menjadi penengah dalam pemulihan hubungan di antara Arab Saudi dan Iran. Pemulihan ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian yang dilaksanakan di Beijing,...