Bolsonaro memenangkan Pilpres Brazil, dan Whatsapp – dengan fabrikasi hoaks – berperan penting untuk memuluskan jalan sang “Trump Tropis”. Di Indonesia juga memiliki kans serupa, tergantung pada waktu dan momentum.
Pinterpolitik.com
“The future of fake news is messaging apps, not social media. And it’s going to be even worse.”
:: Nicholas Dias ::
[dropcap]B[/dropcap]razil telah mendapatkan presidennya. Jair Bolsonaro, kandidat dari Partai Liberal Sosial (PSL) menjadi presiden berikutnya setelah mengalahkan Fernando Haddad yang diusung oleh Partai Buruh (Workers Party).
Bolsonaro sukses meraup suara sebesar 57,79 juta atau 55,13 persen dari total perolehan suara. Kandidat yang memiliki wakil Jamilton Mourao itu mempecundangi Haddad dan Manuel d’Avila, yang meraih 47,04 juta suara atau 44,87 persen.
Berkiprah di Kongres Nasional dalam kurun waktu 26 tahun, Bolsonaro ajeg berada pada jalur konservatisme. Ia adalah sosok pendukung kebijakan ekonomi pro pasar dan seorang patriarkis.
Bolsonaro selalu bertentangan dengan ide-ide dari politikus partai tengah dan kiri, baik yang berhaluan sosialis maupun liberal. Ia menentang legalisasi pernikahan sesama jenis, misoginis, tidak setuju dengan kebijakan pro minoritas atau korban diskriminasi yang berbasis tindakan afirmatif, dan menentang reforma agraria.
Bolsonaro juga pendukung pemberlakuan hukuman mati. Ia memuji aparat keamanan yang bisa mengeluarkan pelurunya untuk pelaku kriminal.
Jair Bolsonaro menggunakan Whatsapp untuk menangkan Pilpres Brazil, dua kandidat d Indonesia punya peluang sama. Share on XSebagai pembenci political correctness (kepatutan politik), mulut Bolsonaro rajin memproduksi pernyataan-pernyataan kontroversial. Sikap inilah yang membuatnya disejajarkan dengan Donald Trump.
Selain itu, Bolsonaro juga dipersepsikan sebagai Dutertenya Brazil, sebab ia memiliki cara pandang yang sama dengan Duterte dalam hal pemberantasan pelaku kriminal dengan tangan besi.
Namun, salah satu unsur penting yang bertanggung jawab untuk memuluskan jalan Bolsonaro adalah hoaks alias fake news. Kemenangan Bolsonaro tak lepas dari penggunaan hoaks untuk menggembosi dukungan terhadap Haddad.
Media yang digunakan untuk beternak hoaks tersebut adalah aplikasi pesan instan, Whatsapp. Lantas apa yang membuat Whatsapp begitu penting bagi warga Brazil, terutama untuk memenangkan Bolsonaro?
The Power of Whatsapp
Peneliti dari First Draft News, Nicholas Dias pernah melakukan prediksi yang ditulisnya di situs Foreign Policy bahwa di masa yang akan datang propaganda lewat dunia maya tidak terjadi sosial media, melainkan bergeser melalui aplikasi pesan instan, utamanya Whatsapp.
Peneliti yang kerap disapa Nic itu beralasan bahwa peningkatan penggunaan aplikasi ini meningkat tiap tahun. Whatsapp digunakan sebagai medium untuk melakukan percakapan sekaligus penyebaran berita infomasi. Bahkan menurut Nic, Whatsapp kini hampir setara dengan Facebook sebagai sumber-sumber berita.
Lantas, mengapa Whatsapp? Layanan ini digemari karena platform ini membawakan ruang privat yang dibutuhkan oleh masyarakat. Whatsapp menggunkan enkripsi yang membuat orang merasa aman untuk melakukan percakapan.
Berdasarkan penelitian Radium One, mengungkap bahwa lebih dari sepertiga pengguna internet membagikan konten dan informasi tidak melalui kanal media sosial, melainkan lewat layanan perpesanan, forum, atau surel. Fenomena ini dikenal sebagai dark social.
Fenomena dark social ini akan menciptakan banyak lalu lintas langsung ke sebuah tautan. Sebab, lalu lintas dari saluran dark social ini tidak terdeteksi (dienkripsi) oleh perangkat lunak analisis web.
Itulah mengapa penyebaran berita hoaks di Whatsapp digemari dan bisa menjadi senjata yang efektif, sebab sumbernya sulit dilacak.
Cara ini lebih efektif lantaran konten yang dibagikan secara personal tentu lebih tepat sasaran. Karena seseorang cenderung berbagi informasi kepada orang yang memang tertarik atau berkepentingan dengan konten tersebut.
Untuk generasi yang lebih tua, berbagi konten online menggunakan dark social bahkan lebih terasa efeknya. Sebab golongan ini memiliki atribusi terhadap penyebaran konten melalui saluran dark social.
Oleh karenanya, Whatsapp akan bekerja dengan efektif karena cara kerja layanan aplikasi percakapan instan merupakan hal yang lebih sering dilakukan orang-orang ketimbang jejaring sosial.
Selain itu, pertumbuhan pengguna layanan ini juga turut menyumbang terhadap masifnya perkembangan berita-berita di Whatsapp. Berdasarkan laporan We Are Social, pengguna layanan perpesanan bertumbuh tujuh belas persen pertahun dibanding dengan pertumbuhan pengguna media sosial yang hanya sepuluh persen per tahun.
Pada tahun 2017, ada sekitar 1,5 miliar pengguna Whatsapp aktif bulanan alias monthly active users (MAU). Pengguna aktif hariannya alias daily active users (DAU) berada di kisaran satu mliliar. Kondisi tersebut naik tiga kali lipat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Sementara itu, bagi warga Brazil, Whatsapp adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Seperti yang disebutkan dalam laporan Statista, pada kuartal ketiga tahun 2017, 56 persen dari total populasi negeri Samba menggunakan Whatsapp. Artinya dari 204.500.000 jiwa, ada 114.520.000 warga Brazil yang menggunakan Whatsapp.
Oleh sebab itu, Whatsapp adalah salah satu media yang efektif untuk melakukan kampanye. Kondisi inilah setidaknya yang terjadi di Brazil. Modus penggunaan hoaks untuk kampanye di Brazil salah satunya diungkap oleh asisten profesor di School of Information Science di University of Kentucky David Nemer.
Untuk mengetahui dengan lebih jelas, Nemer melakuan penelitian dengan bergabung ke empat grup Whatsapp pro Bolsonaro. Setiap hari selama empat bulan, ia menerima rata-rata 1.000 pesan per grup. Nemer menemukan tiga jenis pengguna WhatsApp dalam konteks pemilu Brazil yakni, Ordinary Brazilians, Bolsominions, dan Influencers.
Ordinary Brazilians jadi anggota terbanyak dan berasal dari beragam kelas sosial. Mereka menggunakan pengalaman hidupnya membenarkan dukungan kepada Bolsonaro. Mereka tak percaya media arus utama. Whatsapp dianggap tempat terbaik untuk mengenal Bolsonaro.
Bolsominions adalah barisan relawan yang siap mendepak anggota anti Bolsonaro. Mereka bertindak tegas bahkan kepada yang hanya mempertanyakan Bolsonaro. Tiap kali pertanyaan muncul, mereka tidak menjawab, melainkan membombardir balik lewat pesan-pesan bergelora dari Bolsonaro.
Terakhir Influencers, ialah pencipta konten-konten hoaks. Pengaruh mereka amat besar meski persentasenya hanya lima persen dari total anggota. Meski lebih pasif dibanding dua jenis anggota sebelumnya, influencers amat aktif dalam kerja-kerja mencipta hoaks di belakang layar, menyebarkannya di berbagai kanal, sampai mengkoordinasikan protes anti pemerintah baik di ranah online maupun di dunia nyata.
Retorika anti komunis juga digunakan. Contohnya saat tokoh ultra-kanan Perancis Marine Le Pen menyebutkan bahwa beberapa komentar Bolsonaro terdengar “sangat tidak menyenangkan”. Mereka bekerja dengan cepat untuk mempublikasikan meme yang menuduh Le Pen sebagai komunis.
Beberapa konten hoaks ciptaan triumvirat Bolsonaro amat menakjubkan. Bahkan, menurut Nemer, mereka pernah membagikan kabar bahwa Haddad, jika terpilih berencana untuk menandatangani keputusan presiden yang memungkinkan pria berhubungan seks dengan anak berusia 12 tahun.
Mereka juga pernah menyebarkan video hoaks tentang kerusakan mesin pencatat suara untuk mengobarkan propaganda bahwa Pemilu telah dicurangi. Cyber army Bolsonaro menjajaki YouTube hingga Facebook untuk menantang orang-orang anti Bolsonaro, bahkan merisak kehidupan personal mereka.
Ketiga jenis grup yang aktif di Whatsapp itu memiliki tugas berbeda untuk mengkampanyekan Bolsonaro. Namun ketiganya memiliki kesamaan yakni mereka sama sekali tidak percaya terhadap institusi demokratis di Brazil dan mereka menyimpulkan bahwa sistem hanya melayani mereka yang ada di atas.
Serupa di Indonesia
Jika Brazil adalah negara ke empat dengan persentase 56 persen pengguna Whatsapp, Indonesia menempati urutan ke delapan dengan persentase 40 persen.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pernah memuat laporan yang bertajuk Survei Penggunaan Teknologi Informasi Tahun 2017 menyebutkan bahwa 84,76 persen responden menyatakan mereka pengguna aktif percakapan instan.
Ditilik berdasarkan wilayah, jumlah pengguna aplikasi percakapan instan di daerah rural dan urban hampir sama. Sementara itu untuk aplikasi percakapan instan yang paling diminati adalah Whatsapp. Baik di wilayah rural maupun urban, Whatsapp jadi pilihan pertama responden terbanyak yang berada di usia 20-29 tahun yakni sebanyak 65,10 persen.
Kepopuleran Whatsapp sebagai aplikasi percakapan instan pilihan juga terlihat dalam survei daring Mobile Instant Messaging Survei 2017 yang dilakukan DailySocial.
Sebanyak 97,24 persen responden survei mengaku pernah menggunakan Whatsapp dan 61,81 persen mengatakan bahwa Whatsapp adalah aplikasi yang paling sering mereka gunakan.
Sementara itu aplikasi lain sejenis yang menjadi pilihan responden adalah LINE (88,49 persen), BBM (85.82 persen), dan Facebook Messenger (77,26 persen).
Dari jumlah pengguna aplikasi percakapan instan tersebut, 40,19 persen memisahkan penggunaan aplikasi berdasarkan jenis komunikasi – untuk pekerjaan dan untuk keluarga – sedangkan 59,81 persen sisanya tidak.
Adapun, di antara responden yang berpartisipasi dalam survei DailySocial, hanya ada kurang dari 1 persen yang menyatakan tidak menggunakan aplikasi percakapan instan sama sekali.
Oleh karenanya, Whatsapp saat ini menjadi primadona di era Internet of Things (IoI). Kondisi tersebut berbanding lurus dengan pemanfaatan bagi penyebaran berita hoaks.
Bagi masyarakat Indonesia, tentu tidak sulit untuk mengatakan bahwa mereka sering mendapatkan informasi hoaks. Informasi hoaks yang tersebar melalui Whatsapp bisa cepat menyebar melalui percakapan personal maupun di grup-grup yang dikuti.
Setiap hari pesan berantai dengan informasi tidak benar tersebar di Whatsapp, mulai kisah kehidupan para selebritis hingga isu-isu politik. Pesan tersbut memiliki pola yang sama, selalu dakhiri dengan permintaan untuk menyebarkan ke orang lain atau suatu hal buruk akan terjadi jika pesan tersebut tidak disebarkan. Salah satu metode yang memungkinkan berita palsu mudah tersebar.
Yang membahayakan ketika informasi palsu mudah tersebar adalah publik tidak tahu fakta yang sebenarnya.
Kondisi ini semakin meningkat pada masa tahun-tahun politik. Fabrikasi hoaks, fitnah, dan glorifikasi menyebar di antara grup-grup Whatsapp pendukung kedua kandidat pada Pilpres 2019. Pada masa Pilpres kali ini, setidaknya ada beberapa berita yang tidak benar alias hoaks.
Beritanya pun beragam, dari sentimen terhadap institusi negara, hingga konspirasi seperti Jokowi adalah antek asing, atau Prabowo tidak bisa salat.
Berita hoaks telah mengantarkan Bolsonaro ke kursi nomer satu di Brazil. Sedangkan saat ini berita hoaks juga digunakan oleh para kandidat yang bertarung dalam Pilpres di Indonesia. Hoaks dianggap ampuh untuk mengeksploitasi dan mempengaruhi sensitivitas perilaku pemilih.
Jadi, apakah keduanya akan ikut dimenangkan melalui berita hoaks? Menarik untuk ditunggu. (A37)