Site icon PinterPolitik.com

Waspada Restu AS, Pak Jokowi

Waspada Restu AS, Pak Jokowi

Presiden Jokowi dan Presiden Trump saat pertemuan G-20 di Hamburg. (Foto: Setkab)

Banyak orang menduga pemimpin beberapa negara di dunia perlu direstui Amerika Serikat agar langgeng kekuasaannya. Mungkinkah Jokowi tidak lagi direstui Paman Sam?


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]ebijakan pembatasan impor di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mengkhawatirkan. Beberapa waktu lalu, Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS)untuk Indonesia Joseph R Donovan memandang bahwa pembatasan impor yang dilakukan Presiden Jokowi saat ini bukanlah hal yang tepat. Perdangangan antara Indonesia dan AS bisa saja tak berlangsung lama akibat hal ini. Padahal kemitraan di antara keduanya terbilang strategis.

Faktanya, banyak negara di dunia berlomba untuk bermitra dengan Indonesia. Salah satu negara yang kerap ingin berhubungan dekat dengan Indonesia adalah AS – negara super power yang selalu berusaha menempatkan dirinya sebagai ‘polisi dunia’.

Upaya AS untuk menjaga pengaruh di Indonesia memang dapat dipandang secara rasional. Ada banyak kepentingan bisnis Negeri Paman Sam tersebut di Indonesia. Secara geopolitik, Indonesia juga sangat strategis bagi AS, terutama dalam hal jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Untuk itu sangat penting bagi negara adikuasa tersebut bahwa Indonesia dipimpin oleh orang yang bisa mengakomodasi berbagai kepentingannya.

Belakangan ini, beberapa praktisi yang pernah duduk di pemerintahan menyebut kebijakan Presiden Jokowi disinyalir tidak membuat Washington senang. Ada beberapa kebijakan yang dianggap berbahaya bagi kepentingan negara yang kini dipimpin Donald Trump tersebut.

Jika hal tersebut benar, Presiden Jokowi sebaiknya berhati-hati. Banyak yang menduga AS kerap memberikan restu kepada calon pemimpin di suatu negara. Jika kebijakan Jokowi terus kontraproduktif terhadap hubungan kedua negara, maka bisa saja restu Washington dialihkan kepada kandidat lain di 2019.

Kebijakan Jokowi Bikin AS Ngeri

Kebijakan Indonesia terutama dalam hal ekonomi dianggap mengarah kepada proteksionisme. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kebijakan ekonomi belakangan ini. Ada nuansa bahwa nasionalisme ekonomi yang tengah dibangun mengarah kepada proteksionisme.

Salah satunya nampak pada meningkatnya kewajiban penggunaan bahan atau produksi lokal dari suatu produk. Peningkatan kewajiban ini misalnya dapat dilihat pada industri telepon seluler dan juga otomotif melalui aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

Selain itu, terdapat pula pengetatan impor pada sejumlah produk. Pengetatan impor ini terutama terjadi pada produk pertanian Negeri Paman Sam. Kondisi ini mengkhawatirkan bagi AS. Negara asal apel Washington ini relatif terdampak melalui kebijakan pengetatan impor ini.

AS memiliki sejumlah produk ekspor unggulan ke Indonesia. Produk-produk tersebut adalah komponen pesawat terbang, permesinan, dan barang permodalan lainnya. Terdapat pula produk pertanian yang menjadi unggulan ekspor AS ke Indonesia yaitu kedelai, kapas, gandum, buah-buahan, daging ternak, dan produk susu.

Terkait kebijakan Jokowi, Dubes Donovan mengemukakan kekecewaannya terkait proteksionisme ini. AS memandang bahwa pembatasan impor bukanlah hal yang tepat. Membatasi keran impor justru akan memicu kelangkaan sejumlah produk. Hal ini terbukti pada langkanya beberapa produk pertanian seperti buah dan sayuran impor di pasaran. Beberapa jenis buah impor pun mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan.

Selain itu, Indonesia juga kini tengah gencar memungut pajak dari berbagai lini. Salah satu yang dikejar adalah pajak dari perusahaan-perusahaan asal AS. Raksasa internet asal AS, Google menjadi salah satu target pajak pemerintah Indonesia. Hal ini sempat menimbulkan perselihan antara perusahaan tersebut dengan Indonesia.

Perselisihanantara pemerintah Indonesia dengan perusahaan AS tidak hanya terjadi dengan Google saja. Masalah lain juga muncul dalam proses perpanjangan kontrak perusahaan tambang asal AS, yaitu Freeport. Perusahaan tersebut harus mengurangi operasinya di daerah kaya tembaga yaitu Grasberg setelah pemerintah menarik ulur perpanjangan kontrak karya (KK).

Kementerian ESDM menghendaki konversi dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ini merugikan bagi Freeport karena mereka tidak lagi dapat mengekspor konsentrat tembaga, hanya produk yang sudah dimurnikan yang boleh diekspor.

Sebelumnya, Indonesia juga mengakhiri kemitraan dengan bank investasi asal AS yaitu JP Morgan. Indonesia menilai hasil riset lembaga tersebut berisiko mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional.

Jika dilihat secara keseluruhan, ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan kelas kakap asal AS. Perselisihan dengan ketiganya tentu meningkatkan tensi antara Indonesia dengan AS. Disinyalir, persoalan terkait ketiga perusahaan itu menjadi salah satu agenda yang dibahas oleh Wapres AS Mike Pence saat berkunjung ke Indonesia.

Ditambah lagi, usaha gencar pemerintah mengejar pemasukan dari sektor pajak juga memicu kekhawatiran lain. Pada program amnesti pajak misalnya, banyak negara yang khawatir uang yang semula disimpan di negaranya akan ditarik kembali ke Indonesia. Pemerintah memang gencar memburu simpanan WNI di negara surga pajak seperti Singapura, Kepulauan Virgin Britania Raya, dan Kepulauan Cayman. Wilayah-wilayah tersebut diketahui merupakan sekutu bagi AS.

Kekhawatiran AS terhadap pemerintahan Jokowi juga disinyalir bersumber dari kian mesranya hubungan Indonesia dengan Tiongkok. AS menduga bahwa Indonesia kini berkiblat ke Negeri Tirai Bambu tersebut. Hal ini misalnya dapat dilihat dari berbagai proyek infrastruktur Indonesia yang banyak menggandeng negara di Asia Timur tersebut.

Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping saat napak tilas KAA. (Foto: Antara Foto)

Ada tren kenaikan penanaman modal asing (PMA) atau Foreign Direct Investment dari Tiongkok ke Indonesia. Di tahun 2014, realisasi PMA dari Tiongkok berjumlah 800 juta dolar. Angka ini melonjak pada tahun 2016 yaitu mencapai 2,6 miliar dolar AS.

Kian eratnya hubungan Jakarta dan Beijing muncul akibat momentum yang tepat. Saat ini Tiongkok tengah gencar melakukan investasi ke seluruh dunia melalui kebijakan One Belt One Road (OBOR). Salah satu negara yang dilewati program tersebut adalah Indonesia.

Di saat bersamaan, Indonesia kini tengah haus investasi. Berbagai proyek infrastruktur tengah digenjot di bumi pertiwi. Bak gayung bersambut, Tiongkok hadir dengan dana miliaran dolar untuk membangun proyek infrastruktur tersebut.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi juga terlihat akrab dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Pada forum internasional seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC, Jokowi dan Xi Jinping kerapkali berjalan beriringan atau duduk berdampingan. Hal ini rupanya tidak begitu disukai oleh AS.

Pentingnya Restu AS

Berbagai kebijakan tersebut bisa saja menarik restu AS dari pemerintahan Jokowi. Beberapa praktisi pemerintahan yang PinterPolitik mintai keterangannya menyebutkan bahwa banyak pemimpin dunia harus terlebih dahulu direstui oleh Negeri Paman Sam. Ada ungkapan bahwa jika restu AS telah diraih, maka 50 persen kemungkinan menang Pemilu telah diraih. Sisa 50 persen lainnya bergantung pada pilihan rakyat.

Banyak pemimpin dunia yang harus berhenti dari jabatannya karena hilangnya restu AS ini. Pemimpin-pemimpin dunia ini harus kehilangan kursinya baik secara demokratis maupun non-demokratis. Jika ditelusuri, ada banyak operasi Central Intelligence Agency (CIA) yang telah dideklasifikasi menjadi petunjuk dari hal ini.

Merujuk pada dokumen CIA tersebut, rasa gerah AS pernah ditunjukkan kepada presiden pertama Indonesia Soekarno. Washington saat itu memiliki pemikiran untuk mencoba menggulingkan Soekarno dari tahtanya.

Para sejarawan menilai bahwa rasa gerah AS pada Soekarno ini bersumber dari kebijakan Indonesia. Indonesia yang baru merdeka saat itu ingin menunjukkan nasionalisme ekonominya melalui konsep Berdikari. Soekarno cenderung tidak terbuka pada investasi asing. Dapat dikatakan Soekarno cenderung mengadopsi proteksionisme.

Dikisahkan bahwa ada seorang pengusaha asal AS yang ingin berinvestasi di Papua. Akan tetapi Soekarno menolak tawaran tersebut. Ia berpikiran belum saatnya perusahaan asing masuk sementara orang Indonesia belum mengenal kekayaan alamnya sendiri.

Kekhawatiran AS pada Soekarno juga terkait keengganan pemerintahannya untuk berafiliasi dengan AS. Mulanya Indonesia memilih menggalang kekuatan netral melalui gerakan non blok. Lama kelamaan Indonesia semakin mesra dengan kekuatan anti-Amerika yang digawangi Uni Soviet dan Tiongkok.

Kedekatan Soekarno dengan kedua negara tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi AS. Saat itu AS tengah gencar membendung perkembangan paham komunis terutama di Asia. Jika Indonesia terlalu dekat dengan Soviet dan Tiongkok, maka perkembangan komunisme di Asia akan sulit dibendung.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, ada kemiripan antara kebijakan Soekarno dan Jokowi. Kondisi-kondisi ini bisa saja membuat AS gerah pada Jokowi dan memikirkan langkah serupa seperti pada Soekarno. Hal ini ditambah dengan kebijakan swasembada pangan Jokowi yang dapat menyingkirkan produk pertanian AS dari pasar Indonesia.

Ada Calon Potensial yang Lebih Disukai?

Jika AS benar-benar berpaling dari Jokowi, maka Negeri Paman Sam ini perlu menentukan pemimpin baru yang lebih bersahabat. Apalagi kini Indonesia tengah menghadapi periode yang disebut-sebut sebagai tahun politik.

Apabila hasil survei terakhir yang menjadi acuan, salah satu nama yang potensial digandeng AS adalah Anies Baswedan. Ada dugaan bahwa Gubernur DKI Jakarta ini kini semakin mesra dengan AS.

Ada dokumen kawat diplomatik AS yang dibocorkan Wikileaks yang menjadi petunjuk hal ini. Kawat bertanggal 25 September 2009 ini dikirimkan Kedubes AS ke CIA, Defense Intelligence Agency, dan National Security Council serta Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Kawat tersebut berisi permohonan dengan sangat agar Anies diberikan visa. Anies saat itu harus pergi ke Northern Illinois University untuk menerima penghargaan. Ia juga mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di beberapa pertemuan.

Anies Baswedan (Foto: Tempo)

Pada dokumen tersebut disebutkan bahwa Anies bersahabat dengan AS. Anies digambarkan sebagai tokoh Islam moderat yang dapat menjadi sahabat bagi Amerika. Gubernur DKI tersebut dipandang dapat memajukan tujuan-tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Indonesia.

Jika kawat tersebut dan hasil survei yang menjadi acuan, maka nama Anies memang relatif lebih ramah bagi AS. Namanya cenderung lebih dapat diterima Washington ketimbang nama tenar lain seperti Gatot Nurmantyo atau Prabowo Subianto yang pernah bermasalah dengan mereka.

Terlepas dari apapun, Jokowi agaknya harus benar-benar waspada. Indonesia memang tidak harus benar-benar berpihak kepada AS seperti negara Sekutu saat Perang Dunia II. Akan tetapi, Jokowi tetap harus memperhatikan kebijakan yang dapat menyebabkan negara tersebut gerah. Jika tidak hati-hati bisa saja restu Washington beralih ke kandidat lain yang lebih ramah. (Berbagai sumber/H33)

Exit mobile version