Manuver walk out Partai Demokrat dalam rapat paripurna RUU Cipta Kerja cukup diapresiasi sebagian kalangan karena dianggap menjadi representasi kegusaran mereka ysng selama ini menolak regulasi tersebut. Lantas, apakah manuver itu dapat diartikan sebagai titik balik bagi keteguhan arah politik luhur Demokrat ke depannya atau hanya upaya meraup citra belaka?
Senin kemarin merupakan kulminasi dari riuh rendah perjalanan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang pada akhirnya disahkan wakil rakyat.
Sejumlah peristiwa, baik dari dalam dan luar parlemen pun turut mengiringi rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. Mulai dari intrik penghadangan massa buruh yang ingin menyampaikan aspirasi di Senayan, hingga drama-drama politik selama berlangsungnya sidang, termasuk momen mematikan mikrofon yang dilakukan oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Satu drama lainnya yang cukup disoroti publik ialah aksi walk out atau meninggalkan ruang rapat dari fraksi Partai Demokrat setelah menganggap pandangannya terhadap RUU tak direspon dengan baik.
Sebelum Benny Harman dan kawan-kawan meninggalkan ruang sidang, Demokrat menyatakan bahwasannya mereka tidak bertanggung jawab atas kesepakatan pengesahan RUU tersebut.
Demokrat memang tak sendiri karena fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) juga mengambil sikap penolakan yang sama, namun gestur ekspresif yang ditampilkan partai besutan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu tampaknya mendapat reaksi positif dari publik.
Meski terdapat nada sumbang berupa tudingan pencitraan belaka, aksi walk out Demokrat itu nyatanya tak sedikit mendapatkan simpati publik. Selain tajuk #MosiTidakPercaya yang ditujukan pada DPR, di lini masa memang jamak berseliweran apresiasi pada sikap tegas Partai Demokrat.
Meski secara substansial tak merubah esensi konkret dan filosofis dari palu yang telah diketuk Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, partai bintang mersi secara kasat mata dinilai menjadi partai politik (parpol) satu-satunya yang dengan tegas mengekspresikan kegusaran khalayak selama ini atas sejumlah kontrovesi dalam RUU Cipta Kerja.
Lantas, apakah makna sesungguhnya dari aksi walk out Partai Demokrat tersebut?
Miliki Sensitivitas Terbaik?
Untuk dapat memahami sikap ekspresif berupa aksi walk out Partai Demokrat kemarin secara komprehensif, sebuah tulisan dari Michael Mcdonald, Ian Budge, Dan Paul Pennings yang berjudul Choice Versus Sensitivity: Party Reactions to Public Concerns, tampaknya dapat menjadi pintu masuk yang sesuai.
Sebagian besar pembahasan teori demokrasi sendiri berasumsi bahwa parpol tak hanya harus menawarkan arah politik atau ideologi yang jelas kepada para pemilih dan publik, tetapi juga wajib menunjukkan diri mereka sensitif terhadap isu yang terkait erat dengan kepentingan masyarakat luas.
Namun realitanya, studi McDonald dan kawan-kawan di 16 negara demokrasi mulai dari Italia, Irlandia, Jerman, Inggris, hingga Kanada, menunjukkan bahwa sikap parpol yang ada ternyata lebih terkait erat dengan kepentingan pragmatis partai, sehingga jamak tak mengutamakan sensitivitas dan respon konstruktif atas kepentingan maupun tuntutan publik.
Realita politik itu pula yang tampaknya terjadi di Indonesia, khususnya pada proses perjalanan RUU Cipta Kerja hingga disahkannya pada Senin kemarin. Tujuh parpol yang bermufakat seolah tak memiliki sensitivitas atau kepekaan atas bombardir kritik publik dan desakan penolakan regulasi tersebut yang intensif dan cukup masif.
Kendati demikian, aksi walk out Partai Demokrat dinilai menjadi semacam anomali dari postulat tersebut, sekaligus memberikan impresi sebuah upaya pengembalian marwah ideal demokrasi beserta peran parpol di dalamnya yang pada hakikatnya memang harus mengedepankan sensitivitas terhadap suara publik.
Seperti yang jamak diketahui, RUU Cipta Kerja sepanjang perjalanannya mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang sangat luas, mulai dari para buruh, pekerja, pakar hukum, aktivis, mahasiswa, hingga dua organisasi islam terbesar yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Dan ekspresi walk out Partai Demokrat dalam rapat paripurna kemarin dinilai menunjukkan sebuah sensitivitas dengan signifikansi yang tak main-main atas konteks suara publik yang terwakilkan.
Oleh karenanya, menjadi lumrah ketika apresiasi dan simpati publik bermunculan kepada Demokrat, seperti halnya yang dikemukakan oleh peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus.
Karus menyebut bahwa selain memang pantas diganjar apresiasi publik atas sikap politiknya, Demokrat juga mampu memberikan contoh bagaimana menjadi oposisi yang baik dan sikap semacam itulah yang seharusnya ditunjukkan sebagai penyeimbang dalam fungsi check and balance.
Lalu, mengapa Partai Demokrat memilih menunjukkan sikap “mencolok” berupa walk out tersebut pada momentum puncak pengesahan RUU “panas” itu?
Gantikan Posisi Gerindra?
Kendati menampilkan semacam sikap heroik atas aksi walk out-nya, sebagai parpol, sikap politik Demokrat itu dinilai tak semata-mata berlandaskan sensitivitas yang disebutkan oleh McDonald sebelumnya.
Presumsi tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Kaare Strøm dan Wolfgang Müller dalam Policy, Office, or Votes? How Political Parties in Western Europe Make Hard Decisions yang menjelaskan lebih lanjut bahwa apapun sikap yang ditunjukkannya, parpol secara inheren memiliki visi meraup suara dan dukungan publik yang bermuara pada tujuan final berupa perengkuhan kekuasaan.
Pascal Gautier dan Raphaël Soubeyran dalam Political Cycles: The Opposition Advantage menjabarkan bagaimana pola interaksi dan dinamika politik yang terjadi antara parpol yang sedang berkuasa dan parpol oposisi dalam apa yang disebut sebagai sebuah siklus politik.
Ketika parpol petahana yang sedang berkuasa berusaha menepati janji politiknya, pada saat yang sama acapkali tercipta ruang bagi parpol oposisinya untuk menawarkan dan mengimplementasikan gagasan dan sikap politik yang terlihat lebih memuaskan dan mewakili aspirasi publik.
Pada konteks memaknai aksi walk out Demokrat sebagai sebuah siklus politik, aksi yang serupa namun tak sama juga kerap dilakukan PDIP di parlemen ketika partai mersi berkuasa di masa lalu.
Tak jarang pula tersaji drama seperti ketika walk out PDIP atas ketidaksepahaman Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan tahun 2012 silam diiringi isak tangis dari sejumlah kader partai banteng.
Dan di dalam sebuah siklus dan ekosistem persaingan politik, Gautier dan Soubeyran mengatakan bahwa keputusan maupun manuver yang dilakukan parpol juga selalu berorientasi dan tidak terlepaskan dari kalkulasi elektoral yang akan datang.
Pada konteks pihak oposisi, mereka dikatakan memiliki keunggulan dalam memanfaatkan gagasan dan manuver yang lebih “memuaskan” di mata publik, tentunya bagi keuntungan citra positif, simpati, dan dukungan.
Oleh sebab itu, pada titik ini sikap walk out Partai Demokrat di Senayan kemarin dinilai tak hanya merepresentasikan sensitivitas atas kegusaran publik terhadap RUU Cipta Kerja belaka, melainkan juga sebagai upaya konstruksi citra positif, simpati, dan dukungan dalam siklus politik dan peran yang dijalani partai mersi di luar kekuasaan saat ini.
Hal ini senada dan melengkapi pernyataan Karus sebelumnya bahwa aksi politis Partai Demokrat dapat dibaca sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan simpati publik.
Selain itu, signifikansi isu RUU Cipta Kerja yang mendapatkan perhatian masif, menjadikan narasi memperjuangkannya tampak begitu ideal dan strategis bagi kalkulasi politik Demokrat untuk membranding ulang partainya sejak awal di mata publik, tentu yang paling dekat dan relevan ialah demi Pileg dan Pilpres 2024.
Hal ini dikarenakan, sejak merapatnya Gerindra ke gerbong pemerintah, barisan oposisi praktis hanya diisi PKS yang dinilai sikap penyeimbangnya acapkali dinilai hanya relevan bagi ceruk tertentu, yakni kalangan religius Islam.
Di sini, Demokrat tampaknya berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Gerindra, di mana kini tampaknya memiliki ceruk elektoral yang cukup besar di tengah koalisi pemerintah yang kian tergerus popularitasnya akibat sejumlah kebijakan dan eksistensi regulasi yang dianggap kontraproduktif bagi kepentingan publik.
Sekarang tinggal apakah Partai Demokrat memiliki konsepsi alternatif konkret yang lebih baik dan dapat diartikulasikan secara konsisten. Tidak hanya pada konteks RUU Cipta Kerja, namun juga pada isu-isu yang berpihak pada kepentingan publik lainnya.
Lantas, mampukah Demokrat mempertahankan konsistensi untuk terus berpihak pada kepentingan publik hingga kontestasi 2024? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.