Terlihat aneh jika Partai Solidaritas Indonesia (PSI) memberikan komentar positif terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bagaimana tidak? PSI terlanjur dikenal dengan brand sebagai partai yang kritis terhadap Anies. Lantas, apakah komentar bernada positif baru-baru ini dapat dianggap sebagai wajah lain PSI untuk Anies?
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selama ini dikenal luas sebagai lawan politik dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bagaimana tidak? Hampir seluruh kebijakan Anies selalu menjadi sasaran kritik partai yang dipimpin Giring Ganesha tersebut.
Sebut saja soal balapan Formula E. Mulai sejak wacana hingga saat ini dalam tahap konstruksi sirkuit, semuanya menjadi bahan kritik para politisi PSI, baik ketua umum hingga para wakilnya yang duduk di gedung DPRD DKI Jakarta.
Namun, mendadak PSI kali ini berubah. Ketua DPW PSI Jakarta Michael Victor Sianipar membela Anies terkait video seorang pemuda yang mengatakan baliho bergambar Anies dengan sebutan ‘Orang Yaman’.
Lebih tegas disampaikan oleh Sekretaris Dewan Pembina PSI Raja Juli Antoni, dikatakan Anies dan Tsamara Amany bukan orang Yaman. Dan bukan hanya kepada tokoh politik keturunan Timur Tengah, pihaknya juga menolak perilaku rasisme yang dilakukan terhadap siapapun.
Jika dilihat secara umum, gelombang rasialisme marak terjadi di media sosial. Serangan rasialisme dilancarkan terhadap sejumlah tokoh politik keturunan Timur Tengah, seperti Anies dan Tsamara. Khusus Tsamara, serangan rasial terlihat setelah keluar dari PSI.
PSI meminta semua pihak untuk berpikir berdasarkan konsep negara-bangsa. Konsep ini yang akan melahirkan konsekuensi logis dari cara berpikir tentang kependudukan (citizenship), karena landasan itu akan mengatasi perbedaan identitas suku dan agama para warga negara.
Argumen PSI punya dasar sosio-politik yang kuat bahkan rasional. Tapi jika dilihat dari pendekatan dinamika relasi politik antara PSI dan Anies, maka terkesan sikap PSI ini tidak biasa. Seolah PSI menampilkan wajah lain untuk Anies.
Lantas, seperti apa memahami perilaku di balik sikap PSI yang berbeda terhadap Anies?
Meraba Politik Dua Wajah
Dalam politik menampilkan dua wajah yang berbeda merupakan sesuatu yang lumrah. Seolah istilah hipokrit atau kemunafikan ternormalisasi dalam dunia politik. Sehingga sering ditemukan para aktor politik menampilkan wajah-wajah yang berbeda.
Ilmuwan sosiologi politik, Maurice Duverger dalam bukunya The Study of Politics, mengatakan politik ibarat dewa Janus, dewa perang mitologi Romawi Kuno yang memiliki dua wajah. Konon satu wajahnya tersenyum, dan wajah lainya memperlihatkan ekspresi kemarahan.
Banyak tafsiran tentang simbolisasi wajah Janus (Janus face) ini, salah satunya melihat bahwa dalam menyelesaikan sebuah konflik politik, sebuah kelompok jika ingin unggul maka harus mempunyai dua karakter sekaligus dalam dirinya. Karakter ini dapat kita ibaratkan dengan istilah dovish dan hawkish.
Dovish berasal dari kata dove yang artinya burung merpati, sedangkan hawkish berasal dari kata hawk alias burung elang. Dua simbol yang terinspirasi dari karakter hitam-putih kehidupan alam liar yang juga terpancar pada kehidupan politik manusia.
Dua binatang tersebut merepresentasi dua hal berlawanan. Dovish adalah simbol binatang jinak, penurut, dan identik terbang sampai ke titik tertinggi. Sebaliknya hawkish adalah simbol menyerang dan terbang menukik ke bawah untuk meraih mangsanya.
Dengan cara pandang ini, kita akan masuk pada dimensi kesadaran baru tentang arti politik, sehingga kata politik telah melahirkan dua persepsi yang berbeda. Dualisme ini hadir dalam kehidupan awam masyarakat tentang politik.
Seorang awam yang hidup dalam sebuah negara dengan situasi politik yang baik akan berpersepsi bahwa politik adalah segala daya upaya dengan menggunakan kekuasaan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Sedangkan orang awam yang hidup dalam situasi politik yang sebaliknya akan berpersepsi yang sebaliknya pula. Negara tak lain merupakan alat bagi para penguasanya untuk mengeksploitasi dan menindas rakyat.
Para politisi yang sedang berkuasa dipandang sebagai struktur yang bekerja untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Tapi karena secara faktual kekuasaan politik sering diselewengkan, maka persepsi negatif tentang politik, seperti politik itu jahat, politik itu buruk, dan semacamnya semakin menguat dan menjadi lebih kuat dibandingkan persepsi positifnya.
Begitu pula dengan aktor politik yang menampilkan wajah yang berbeda dari kebiasaan, akan memunculkan sikap prejudice dari masyarakat. Sebuah sikap yang muncul dari prasangka yang lahir dari pandangan stereotip negatif tentang sebuah kelompok.
Dalam konteks sikap PSI, mereka memiliki alasan mengapa memilih mengeluarkan sikap demikian di muka publik. Bahkan jika dilacak, sebenarnya sikap PSI mengapresiasi Anies bukan hanya kali ini saja, beberapa kebijakan Anies juga sempat disukung oleh PSI.
Sebagai contoh, saat banyak pihak menyayangkan keputusan Anies menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di kawasan reklamasi Teluk Jakarta. Alih-alih bersikap vokal seperti biasanya, PSI justru mengapresiasi kebijakan Anies menerbitkan IMB tersebut.
PSI juga sempat melontarkan pujian kepada Anies yang mengambil air dari enam tempat ibadah untuk dibawa ke lokasi Ibu Kota Negara (IKN) baru dalam acara Kendi Nusantara. Dan yang terbaru, PSI tegas membela keputusan Anies mengangkat eks Menteri ESDM Sudirman Said sebagai Komut PT TransJakarta.
Meski PSI mengklaim punya alasan, tetap saja sikap mereka ini tergolong tidak lazim. Pertama, mereka sejak lama membangun citra sebagai oposisi Anies. Kedua, sikap pujian kepada Anies lebih sering pada tema-tema yang dinilai publik menguntungkan PSI itu sendiri.
Lantas, mungkinkah ketulusan pujian PSI terhadap Anies bukanlah sesuatu yang murni, melainkan bagian dari strategi politik PSI?
PSI Curi Pandang?
PSI dikenal dengan brand partai yang kritis terhadap Anies. Sangking kritisnya, PSI sering diplesetkan sebagai ‘partai seputar ibu kota’, karena fokusnya dianggap hanya terbatas di ibu kota dan mengabaikan masalah-masalah nasional yang lebih krusial.
Perubahan sikap PSI yang tiba-tiba menjadi manis kepada Anies jelas membuat banyak orang bertanya-tanya. Pertanyaan itu pasti bermuara pada kepentingan tersembunyi seperti apa yang ingin diperoleh dari sikap tersebut.
Dikarenakan politik adalah salah satu bentuk perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, tidak heran jika ada asumsi ini demi kepentingan kekuasaan.
Tidak sering tapi sesekali memuji Anies, sikap PSI bisa disamakan dengan sikap curi-curi pandang yang ditemukan dalam perilaku manusia kebanyakan. Ditambah derasnya dukungan banyak pihak terhadap Anies belakangan membuat nilai tawar sang DKI-1 semakin besar.
Sikap curi-curi pandang yang ditampilkan oleh PSI bisa diinterpretasikan dalam konteks psikologi. Psikolog Harrison dan Shortall, mengatakan perilaku curi pandang merupakan bentuk perhatian tersembunyi yang dilakukan oleh seseorang.
Menurut Harrison dan Shortall, perubahan sikap ini biasanya dikarenakan seseorang bingung harus bertindak seperti apa untuk mencoba mendekati seseorang. Oleh karenanya, pilihan yang paling memungkinkan dilakukan adalah curi-curi pandang.
Mungkin saja ini tanda ketertarikan PSI kepada Anies. Jika sebelumnya PSI menampilkan wajah hawkish dengan cara menyerang dan mengkritik setiap kebijakan Anies. Maka saat ini sebaliknya, PSI memperlihatkan wajah dovish sebagai simbol binatang jinak, penurut, dan juga simbol kemesraan.
Jika benar, maka wajah lain PSI ini mungkin saja baru awalnya. Akan masih banyak cerita yang perlu direkam sampai dengan pertarungan puncak pada Pemilihan Presiden 2024 nanti. Di sana lah wajah sebenarnya setiap aktor politik akan terlihat. (I76)