Pencapresan Ganjar Pranowo oleh PDIP memantik diskursus mengenai sejumlah isu agraria dan lingkungan yang belum terselesaikan selagi dirinya menjabat Gubernur Jawa Tengah. Mulai dari kasus Kendeng, Desa Wadas, PLTU Batang dll tampaknya cukup menjadi isu yang mencoreng nama Ganjar. Lalu, sejauh mana isu itu akan kontraproduktif bagi pencapresan Ganjar? Serta, bagaimana rival Ganjar memanfaatkan isu tersebut sebagai modal politik mereka di Pilpres 2024?
Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri akhirnya mengumumkan bakal calon presiden (bacapres) partainya pada tanggal 21 April 2023 lalu di Istana Batutulis, Bogor. Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo secara resmi ditasbihkan sebagai capres dari PDIP.
Ditunjuknya Ganjar sebagai calon presiden kemudian mendapatkan respons dari berbagai kalangan, tak terkecuali pemerhati lingkungan. Bagi kalangan pemerhati lingkungan Ganjar dianggap sebagai sosok yang kontroversial.
Hal itu dikarenakan selama menjabat sebagai Gubernur Jateng, Ganjar dianggap tidak memiliki perhatian terhadap isu agraria dan lingkungan.
Misalnya, LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengkritik komitmen Ganjar terhadap usaha pelestarian lingkungan serta keberlangsungan hidup masyarakat yang masih jauh dari harapan. Ganjar dianggap lebih mementingkan kepentingan para investor yang ingin membuka proyek di lahan milik warga.
Deputi Eksternal Walhi Edo Rahman mengatakan dalam beberapa konflik atau sengketa antara warga dan korporasi, Ganjar kerap memposisikan diri hanya sebagai “fasilitator atau penengah”, alih-alih membela kepentingan warganya.
Selama masa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah, dia dihadapkan pada sederet konflik agraria, yaitu konflik lahan pabrik Semen Indonesia di Kendeng, pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas, hingga PLTU Batang Kedeng.
Penolakan masyarakat atas program pembangunan tersebut disebabkan karena potensi timbulnya kerusakan alam serta keberlangsungan hidup mereka dan keturunannya yang terancam.
Misalnya penolakan dari warga Desa Wadas atas pembangunan Bendungan Bener, yang disebabkan kekhawatiran rusaknya 28 titik sumber mata air yang selama ini digunakan untuk lahan pertanian.
Dalam menghadapi penolakan dari masyarakat, tidak jarang aparat kepolisian seringkali melakukan kekerasan.
Pada kasus Desa Wadas Sekitar 60 warga ditahan oleh polisi. Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan kemudian memunculkan gerakan-gerakan pemerhati lingkungan di internet, misalnya Gerakan Wadas Melawan.
Perlawanan yang dilakukan oleh para aktivis dan pemerhati lingkungan ini muncul atas praktik eksploitasi alam yang dilakukan para pemilik modal di desa Wadas dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap demonstran.
Di tengah munculnya partai yang memberikan dukungan kepada Ganjar, organisasi pemerhati lingkungan seperti Gerakan Wadas Melawan dapat memberikan pengaruh pada pemilu 2024.
Kelompok ini akan menjadi pihak yang dapat secara aktif mengkritik sehingga mencoreng branding politik Ganjar sebagai calon presiden yang pro terhadap wong cilik.
Berkaca pada sampel kasus agraria dan lingkungan itu, sejauh mana isu tersebut memengaruhi impresi dan simpati politik terhadap Ganjar di Pilpres 2024?
Lawan Politik Baru?
Sejarah keberadaan gerakan progresif di bidang lingkungan seperti Wadas Melawan dapat dilihat dari keterlibatan petani dalam kegiatan berpolitik saat masa kepemimpinan Presiden Soekarno.
Pada saat itu, PKI memanfaatkan dukungan dari kalangan petani dengan menjalin kerja sama dengan beberapa organisasi seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI). PKI akhirnya menjadi salah satu partai terbesar melalui basis dukungannya di daerah pedesaan.
Akan tetapi, di era reformasi keterlibatan para petani dan aktivis lingkungan tidak sekuat seperti pada masa demokrasi terpimpin.
Menurut Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya berjudul Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia, minimnya politik pedesaan progresif berbasis isu disebabkan masalah kelembagaan dalam sistem politik Indonesia itu sendiri.
Banyak partai hanya sekadar menjalin hubungan klientelisme dan patronase dengan para pemilih di pedesaan alih-alih berkampanye terkait isu lingkungan.
Meskipun kurang mendapatkan dukungan dari partai politik, berkat perkembangan internet gerakan aktivis lingkungan masih dapat bergerak meskipun secara terfragmentasi dan terlokalisir.
Penelitian yang dilakukan oleh Radita Gora Tayibnapis dan Muhammad Abdurrohim dalam judul Virtual Social Movement in a Wadas Citizens Support Network on Twitter menunjukan penggunaan hastag #WadasMelawan telah menciptakan emosi dan narasi imajinatif di kalangan netizen terkait ketidakadilan warga Wadas.
Disatu sisi, menurut Hendri Satrio, Peneliti Kedai Kopi, menganggap masalah Desa Wadas hanya memberikan dampak yang bersifat temporer terhadap turunnya elektabilitas Ganjar.
Menurutnya, hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan melupakan sesuatu. Misalnya pada kasus konflik agraria yang lebih besar, pembangunan P.T. Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, sebagian masyarakat tetap tak terpengaruh dengan kinerja Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah.
Pada isu lain, masalah pelanggaran HAM seolah juga menunjukan pemilih di Indonesia memiliki karakteristik serupa. Hal ini dibuktikan dengan tingginya elektabilitas Prabowo sewaktu ia mencalonkan diri di Pilpres 2019.
Menurut peneliti Indonesia Public Institute Karyono Wibowo, para pemilih, terutama dari kalangan menengah ke bawah menganggap isu HAM tidak begitu penting karena bukan bagian dari hajat hidup mereka.
Karakteristik pemilih Indonesia yang mudah melupakan sesuatu ini dijelaskan oleh Christopher Achen dan Larry Bartels dalam bukunya Democracy for Realist. Dijelaskan bahwa masyarakat seringkali memilih pemimpin hanya berdasarkan pada loyalitas partisan dan kepentingan identitas sosialnya sendiri.
Kurangnya informasi yang terjadi diluar identitas tiap individu membuat timbulnya pilihan-pilihan bersifat bias.
Hal ini mengindikasikan bahwa gerakan pro lingkungan seperti Gerakan Wadas Melawan mungkin hanya hype sejenak dan hilang di kemudian hari. Ini dikarenakan masalah lingkungan seperti di desa wadas memilih efek yang bersifat terisolir dan hanya berdampak langsung pada warga aslinya.
Melihat “faktor lupa” plus keberhasilan Ganjar mendapat sentimen positif sebagai Gubernur Jawa Tengah meskipun di tengah catatan buruk terkait masalah agraria dan lingkungan seperti yang terjadi di Kendeng, Wadas, maupun Batang, apakah para rival politiknya akan tetap menggunakan isu agraria dan lingkungan sebagai “senjata” politik mereka di pemilu 2024?
Agrarian Populism di Pemilu 2024?
Berbeda dengan Pilpres sebelumnya, di tahun 2024 isu lingkungan kemungkinan menjadi arena kontestasi politik yang cukup menarik perhatian. Citra ganjar mungkin saja akan diserang habis-habisan oleh pihak oposisi dengan mengangkat kasus agraria seperti Wadas, Kendeng dan sebagainya.
Hal itu kemudian akan memunculkan wacana yang disebut sebagai agrarian populism yang dapat digunakan oposisi untuk menyerang Ganjar dan menarik dukungan dari kalangan masyarakat pedesaan khususnya petani miskin.
Borras dalam jurnalnya Agrarian Social Movements: The Absurdly Difficult but not Impossible Agenda of Defeating Right‐Wing Populism and Exploring a Socialist Future mendefinisikan agrarian populism sebagai gerakan progresif yang terdiri dari berbagai kelompok dan kelas sosial dengan orientasi memperjuangkan hak-hak petani.
Agrarian Populism melihat bahaya dari sistem kapitalisme yang mengancam kedaulatan pangan para petani lokal. Kapitalisme juga dianggap sebagai sumber kemiskinan yang dialami para petani akibat pengambilalihan sumber daya alam oleh para investor.
Akibat kasus agraria dan lingkungan, wacana agrarian populism kiranya secara jelas menggambarkan Ganjar sebagai pihak yang pro terhadap kapitalis dan warga wadas sebagai korban kejahatan lingkungan.
Wacana agrarian populism tampaknya semakin efektif untuk digunakan lantaran dukungan partai pengusung Ganjar, PDIP, terhadap produk hukum seperti UU Cipta kerja.
Selain memengaruhi lingkungan, produk hukum tersebut dianggap merugikan kalangan masyarakat kelas bawah akibat sistem pengupahan kerja yang tidak adil.
Kendati demikian, di sisi lain, politisasi isu lingkungan yang akan dilakukan para rival Ganjar agaknya tidak membuat mereka lebih baik.
Kandidat capres dari kalangan “oposisi”, Anies Baswedan, misalnya, juga memiliki catatan buruk terkait isu lingkungan selama menjadi gubernur DKI Jakarta. Misalnya pada bulan Juni 2022 lalu, situs AQ Index menyebut kualitas udara DKI menjadi yang terburuk di dunia.
Tanpa adanya solusi konkrit yang ditawarkan oleh para rival Ganjar, isu lingkungan di Pilpres 2024 kemungkinan hanya menjadi debat kusir semata.
Wacana agrarian populism pun boleh jadi akhirnya hanya digunakan untuk menarik dukungan politik selama kampanye alih-alih menjawab permasalahan lingkungan. Tentu ini yang tidak diharapkan. (F92)