Hingga saat ini, obrolan tiga periode Presiden Jokowi masih terdengar. Isu yang sudah mencuat sejak bertahun-tahun lalu ini seakan tidak pernah ingin dimatikan. Mengapa demikian?
Tahun 2021 dan 2022 silam pemberitaan politik diramaikan oleh wacana Jokowi tiga periode. Sejumlah tokoh pemerintahan besar seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Mahfud MD, bahkan Jokowi sendiri, turut merespons gunjang-gunjing perpanjangan masa jabatan tersebut.
Namun, meski Jokowi dan jajarannya sudah berulang kali menyuarakan bahwa mereka tegas menolak wacana tersebut, banyak dari masyarakat yang masih merasa skeptis, pernyataan-pernyataan yang dibuat para pejabat kerap dianggap belum bisa menjamin pemerintahan yang sekarang memang mutlak tidak ingin memperlama “kekuasaan”-nya.
Tidak heran sebetulnya jika memang ada orang-orang yang berpikiran demikian, karena obrolan tentang tiga periode Jokowi tampak selalu dibunyikan dari waktu ke waktu. Jika terlalu ramai dibicarakan, isu tersebut terlihat mereda, tapi jika publik dan media sudah mulai melupakannya, isu ini kembali muncuat.
Gosipnya pun selalu muncul secara tiba-tiba dari berbagai penjuru, terkadang dari kelompok yang mengaku relawan Jokowi, dan juga terkadang muncul dari beberapa politisi.
Yap, hingga saat ini pun, perbincangan yang maha sensitif itu kembali hangat terdengar di media sosial dan lingkungan sekitar.
Saking “gigihnya” isu ini terus dihadirkan di tengah masyarakat, Didik J Rachbini, Guru Besar Ekonomi Politik Universitas Paramadina sampai menyebut pihak yang terus menggaungkannya sebagai “kecoak demokrasi” yang terus menjadi hama bagi keutuhan demokrasi itu sendiri.
Sejumlah politisi seperti Benny Kabur Harman dari Partai Demokrat dan Arsul Sani dari PPP yakin bahwa memang ada kelompok tertentu yang terus berikhtiar menggolkan wacana tersebut, beberapa bahkan diduga dari kelompok Istana sendiri. Hal yang terakhir itu juga turut dicurgai majalah Tempo dalam laporannya.
Umumnya, orang-orang langsung menunjuk jari ke Presiden Jokowi dalam persoalan ini, akan tetapi, penting untuk juga kita pertanyakan, bagaimana dengan perspektif politik dari mereka yang menginginkan Indonesia tidak memiliki presiden baru di tahun 2024 nanti?
Tidak Ada Jokowi Bisa Hancur?
Bagaimana seorang pemimpin bisa diberikan kewenangan untuk menjabat melampaui batasan jabatan yang seharusnya? Tentunya perpanjangan periode kepemimpinan bukanlah sesuatu yang sekonyong-konyongnya bisa terjadi, ada dinamika politik sedemikian rumit yang terjadi di belakang layar.
Salah satu hal yang kerap keliru dipersepsikan masyarakat tentang wacana perpanjangan jabatan adalah seorang pemimpin yang ingin berkuasa lama di negara demokrasi murni melakukannya hanya karena lapar akan kekuasaan. Padahal, faktor tersebut mungkin hanya berkontribusi sekian persen saja, ada hal-hal besar lain yang mendorong seorang pemimpin menginginkan dan diinginkan untuk berkuasa lama.
Alexander Baturo dalam tulisannya Democracy, Dictatorship, and Term Limits, menjelaskan bahwa setidaknya ada dua dorongan kuat bagaimana seorang presiden di negara demokrasi bisa menjabat lebih dari periodenya. Pertama, dari dorongan internal atau perspektif sang presiden, dan kedua adalah dari pandangan orang-orang yang bergantung padanya secara politik.
Dari pandangan yang pertama, Baturo menilai bahwa dorongan yang sangat kuat untuk mendobrak tatanan konstitusi hanya bisa terjadi bila sang presiden berada dalam kondisi risiko kehilangan jabatan lebih tinggi daripada manfaat yang diperolehnya selama menjabat sebagai pemimpin.
Yang dimaksud Baturo adalah, jika memang seorang pemimpin murni ingin menjabat lebih lama hanya karena untuk berkuasa, ia terlebih dahulu harus menghancurkan tembok besar konstitusi. Umumnya, hal itu tidak terjadi karena ada suatu hal yang disebut sebagai constitutional compliance atau kepatuhan konstitusi.
Hal ini persis seperti apa yang menghambat seorang warga negara melakukan tindakan yang di luar nilai dan norma yang berlaku, tentu kalian pun bisa merasakan ada semacam hambatan untuk berlaku demikian di kehidupan sehari-hari, tanpa perlu mengingat aturan pun, bukan?
Nah, karena ini, Baturo menilai bahwa dorongan yang paling kuat bagi seorang presiden untuk memperlama jabatannya sesungguhnya adalah sesuatu yang bisa membuatnya bertindak “nekat”, salah satunya adalah risiko ancaman yang begitu besar bila ia mengikuti aturan konstitusi dan turun jabatan sesuai ketentuan. Bisa saja, ketika ia melepas jabatannya ada kelompok tertentu yang “memburunya”.
Menurut Baturo, hal seperti ini umumnya terjadi di sebuah negara yang memiliki persaingan kekuatan yang begitu keras dengan adanya orang-orang kuat yang bisa sewaktu-waktu bertindak di atas aturan hukum.
Lalu, dorongan kuat kedua adalah dorongan yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa diuntungkan, sekaligus ketergantungan, dengan seorang pemimpin.
Mungkin di sini kita langsung masuk ke pembicaraan yang praktikal saja, jika memang Jokowi didorong oleh sekelompok orang tertentu untuk tetap menjabat sebagai presiden, besar kemungkinannya orang-orang tersebut merasa terancam bila Jokowi sudah tidak lagi menjadi pemimpin mereka.
Dan yang dimaksud orang-orang tersebut tidak hanya dari kalangan politisi saja, tetapi juga menyangkut kalangan pebisnis yang bisa saja selama ini aktivitas bisnisnya bergantung pada perlindungan kabinet dari presiden yang jabatannya ingin diperpanjang.
Apabila hasil pemikiran yang rasional membuat para pebisnis ini tidak memiliki jawaban lain untuk mempertahankan bisnisnya jika presiden turun, maka tentu wajar bila mereka turut ikut andil mendorong wacana perpanjangan jabatan.
Yap, penjelasan dari Baturo ini intinya lebih menekankan ke bahaya risiko sebagai pendorong paling kuat, bukan kerakusan untuk memperlama kekuasaan.
Kalau mengacu pada pelajaran yang diambil dari kepemimpinan Presiden Amerika Serikat (AS) ke-7, Andrew Jackson, hal seperti itu akarnya bisa terjadi akibat penerapan spoils system atau sistem rampasan, di mana posisi kekuasaan diberikan pada orang-orang hanya dengan alasan imbalan hasil perang demokrasi (pemilu) semata.
Jika faktor-faktor tadi benar memang terjadi, maka pendobrakan hambatan konstitusi bisa saja dipaksakan, dan narasi tiga periode yang selalu kita dengar bisa jadi bukan hanya sebuah wacana.
Namun, di balik itu semua masih ada satu pertanyaan menggelitik. Kalau memang permainan wacana tiga periode ini hanya bisa “diotak-atik” oleh para orang-orang besar, kenapa isunya selalu muncul di masyarakat? Apa yang diharapkan dari pendorong isu tersebut?
Memaksakan Persetujuan?
Satu hal paling krusial tentang wacana tiga periode adalah, meskipun mayoritas fraksi di lembaga legislatif setuju untuk memperpanjang jabatan, mereka masih perlu berhadapan dengan mimpi buruk komunikasi publik. Jelas sekali mayoritas rakyat akan menolak wacana tersebut karena dianggap hal itu “melecehkan” konstitusi.
Karena itu, apa yang terjadi adalah para pegiat gerakan wacana tiga periode perlu berputar otak sedemikian rupa untuk menemukan cara yang tepat agar apa yang disampaikannya akhirnya mendapatkan persetujuan dari rakyat.
Bisa jadi, motif pemunculan kabar perpanjangan jabatan yang selalu dimunculkan namun dilakukan dalam waktu yang fluktuatif adalah strategi yang memang disengaja. Bagaimana maksudnya?
Well, dalam dunia psikologi, ada suatu hal yang disebut sebagai illusory truth effect atau efek kebenaran ilusi. Lynn Hasher dan kawan-kawan dalam jurnalnya yang berjudul Frequency and the conference of referential validity, menilai bahwa pengulangan suatu pernyataan membuatnya lebih mudah diproses, relatif dengan pernyataan baru yang tidak diulang.
Pada akhirnya, hal itu membuat orang percaya bahwa kesimpulan yang diulang berkali-kali lebih benar suatu pernyataan yang lebih terdengar rasional sekalipun.
Dan kalau kita perhatikan, pernyataan yang muncul setiap kali pembahasan wacana tiga periode muncul adalah Jokowi dinilai sebagai presiden yang dibutuhkan untuk membenahi keadaan negara yang saat ini sedang dihadapi ancaman krisis, mulai dari dampak pandemi Covid-19 sampai akibat Perang Rusia-Ukraina.
Walau pada awalnya bisa saja hanya ada orang-orang tertentu yang setuju dengan pernyataan tersebut, jika sudut pandang yang demikian diulang secara terus menerus, bukan tidak mungkin bila nantinya jumlah pengikut pepatah “Jokowi masih dibutuhkan” bertambah banyak.
Namun, tentu ini hanya interpretasi belaka. Kita tidak akan bisa tahu dengan pasti motif sebenarnya di balik pendorongan isu wacana tiga periode, tapi kita bisa cukup yakin bahwa di balik semua peristiwa politik pasti ada desain yang bermuatan agenda tertentu. (D74)